Mongabay.co.id

Konservasi Mangrove, Ternyata Mampu Datangkan Rp650 Juta per Tahun

Kawasan hutan mangrove Segara Anakan, Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Perjuangan tanpa kenal lelah yang dilakukan Thomas Heri Wahyono (55) warga Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng) sejak 19 tahun silam, kini mulai membuahkan hasil. Kerja keras yang dilakukan bersama keluarganya untuk menghijaukan kawasan mangrove di Dusun Lempong Pucung secara konsisten, meski penuh nyinyiran orang pada awalnya, saat sekarang sudah berhasil membuat warga sekitar “kecipratan” penghasilan. Sebab, kini Wahyono bersama kelompoknya, Patra Krida Wana Lestari, memiliki omset hingga Rp650 juta/tahun. Bukan dari menebang pohon, melainkan dari usaha pembibitan mangrove yang digelutinya sejak belasan tahun silam.

Sejak 2001, Wahyono memantapkan diri untuk konsisten menanam dan membibitkan mangrove. “Sejak awal menanam dulu, bersama istri dan anak-anak, saya sudah bertekad, apapun yang terjadi, saya harus terus menanam. Apalagi, waktu awal-awal di lingkungan Dusun Lempong Pucung mengalami kerusakan parah akibat ditinggalkan para pelaku usaha yang membuka hutan mangrove untuk budidaya bandeng. Mereka gulung tikar pada saat krisis ekonomi 1998. Dan mereka meninggalkan begitu saja,” ungkapnya kepada Mongabay di Cilacap, Rabu (11/3/2020).

baca : Terbentuk Indonesian Mangrove Society, Apa Misinya?

 

Wahyono, Ketua Kelompok Patra Krida Wana Lestari dari Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dengan berbekal semangat itulah, Wahyono yang juga Ketua Kelompok Patra Krida Wana Lestari itu mulai merasakan manisnya perjuangan. “Sekarang ini, kami masih terus melakukan penghijauan di seluruh wilayah Kampung Laut. Jika dihitung luasannya, maka ada sekitar 160 ha hasil penanaman yang kami lakukan. Hutan mangrove tersebut tersebar di empat desa yakni Ujung Alang, Ujung Gagak, Panikel. Berbagai macam jenis yang kami tanam,” ungkapnya.

Bahkan, Wahyono yang autodidak mempelajari mangrove karena setiap hari bergelut dengan pepohonan bakau itu telah menerbitkan buku mengenai keragaman hayati mangrove di Cilacap. “Karena setiap hari bergelut dengan tanaman mangrove, alangkah sayangnya kalau tidak diidentifikasi. Kami diajak untuk membiat buku oleh tim dari Departemen Antropologi, Fisip, Universitas Indonesia (UI). Bukunya sudah muncul, berjudul ‘Kekayaan Potensi Mangrove Segara Anakan Cilacap: Dengan Latar Belakang Masyarakat Kampung Laut yang Gigih Berjuang’. Buku itu telah terbit pada 2017 lalu,” jelasnya.

Ia mengungkapkan kalau dirinya termasuk menjadi tim penulis, untuk mendata seluruh potensi pohon mangrove yang ada di Kampung Laut. “Sebetulnya, saya menemukan banyak sekali spesies pohon mangrove di Kampung Laut. Namun, dalam buku tersebut, saya melakukan identifikasi sebanyak 56 spesies yang merupakan keaneragaman hayati di wilayah hutan mangrove Cilacap. Kami tidak hanya mengidentifikasi saja, melainkan juga mendata lokasi. Jadi, setiap spesies dilengkapi dengan data lokasi plus koordinatnya. Sehingga sewaktu-waktu, ingin mengunjungi langsung bisa dicari melalui GPS,” jelasnya.

baca juga : Tanpa Harus Menebang, Hutan Mangrove dapat Dimanfaatkan, Seperti Apa?

 

Kegiatan pembibitan mangrove Kelompok Patra Krida Wana Lestari dari Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jateng. Foto : Wahyono/Kelompok Patra Krida Wana Lestari/Mongabay Indonesia

 

Menurut Wahyono, berbagai jenis spesies yang ada di hutan mangrove tersebut, tidak seluruhnya masih banyak. Ada beberapa spesies yang jumlahnya menipis, misalnya saja tanjan atau Bruguiera parvifiora. “Kami memang masih menemukan, pohonnya kecil, tetapi mampu tumbuh dengan ketinggian 20 meter. Kulit kayunya burik, berwarna abu-abu hingga coklat tua. Kayunya bisa dimanfaatkan untuk kayu bakar. Kalau dulu digunakan sebagai bahan pembuatan jembatan atau kayu rusuk untuk rumah. Jenis ini sudah mulai berkurang,” katanya.

Demikian juga Nyirih (Sxylocarpus granatum). Pohon itu juga terancam, karena kayunya sangat bagus, dan biasa dimanfaatkan untuk pembuatan perahu. “Pohonnya memiliki ketinggian 10-20 meter, memiliki akar papan yang lebar ke samping, meliuk-liuk dan membuat celahan-celahan. Kulit kayu berwarna coklat muda kekuningan,”jelasnya.

Jika yang berada di sekitar Lempong Pucung, aman-aman saja, karena mereka, para anggota kelompok dan masyarakat ikut menjaganya. Namun, untuk yang jauh dari jangkauan pemantauan, memang agak riskan. “Tetapi, kami juga terus melakukan sosialisasi, agar tidak ada penebangan mangrove. Sebab, tanpa menebang, justru mangrove akan mendatangkan pendapatan lebih baik,”ungkapnya.

Wahyono membuktikan dengan tekun melakukan penanaman, maka dirinya bersama kelompok harus terus membuat pembibitan mangrove. “Ternyata dari pembibitan itulah, mulai muncul penghasilan. Dari awalnya hanya sedikit, kini setiap tahunnya kelompok mampu membuat sekitar 500 ribu hingga 600 ribu bibit mangrove. Dengan pembibitan sebanyak itu, maka tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh anggota kelompok yang jumlahnya hanya 18 orang. Biasanya, kalau pesanan sedang banyak, pekerjanya berkisar antara 25-30 orang. Jadi, mereka yang biasa menjadi nelayan dan petani, akan memperoleh tambahan tambahan karena ikut serta kerja membuat pembibitan mangrove,” jelasnya.

Dengan menjual sebanyak 500-600 ribu/tahun bibit, omset penjualan sekitar Rp650 juta. Rata-rata, setiap bibit dijual dengan harga Rp1.200 hingga Rp4 ribu per batang. “Pembeli tidak hanya datang dari Cilacap saja, melainkan juga dari dari daerah lain seperti Yogyakarta, Pangandaran, Tasikmalaya, Cirebon, Tangerang dan lainnya. Kami selalui siap untuk melayani pesanan, dengan berbagai spesies yang ada di Kampung Laut,” katanya.

menarik dibaca : Mongabay Travel : Berkunjung ke Kawasan Wisata Mangrove Kampung Laut

 

Tempat untuk pembibitan di Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jateng. Foto : Wahyono/Kelompok Patra Krida Wana Lestari/Mongabay Indonesia

 

Selain pembibitan mangrove, kelompok itu juga mengelola wisata mangrove di wilayah setempat. Wisata Arboretum Mangrove dinamakan Kolak Sekancil, kependekan dari Konservasi Laguna Segara Anakan Cilacap.

“Wisata setempat berkonsep konservasi. Jumlah pengunjungnya memang belum banyak. Paling hanya 150-200 pengunjung setiap pekannya. Kami memang menarik tiket masuk, Rp5 ribu/orang. Tetapi sebetulnya, Rp5 ribu itu untuk membeli bibit yang ditanam di lokasi setempat. Inilah yang disebut sebagai wisata konservasi. Pengunjung datang membeli bibit untuk ditanam, tetapi bisa menikmati  Kolak Sekancil. Memang, kami tidak memaksa, karena bersifat sukarela. Tetapi, pada umumnya, mereka tetap membeli tiket masuk dan menanam bibit mangrove,” ujarnya.

Dengan konsep semacam itu, maka penghijauan hutan mangrove Cilacap diharapkan akan semakin luas. Sebab, hutan mangrove merupakan hutan yang mampu menyimpan karbon. “Berdasarkan literatur yang saya baca, mangrove mampu menyerap karbon cukup besar, lebih banyak jika dibandingkan dengan hutan yang berada di daratan. Selain itu, mangrove juga menyumbang kepada nelayan, karena sebagai tempat perkembangbiakandan perlindungan biota laut. Mangrove mampu menahan abrasi. Bahkan, dari mangrove banyak yang dapat dimanfaatkan menjadi makanan dan minuman,” katanya.

Menurut Wahyono, ada kelompok ibu-ibu di Dusun Lempong Pucung yang kini membuat berbagai makanan kecil dan minuman berbahan baku daun dan buah mangrove. “Jadi di Dusun Lempong Pucung ada kelompok ibu-ibu yang membuat berbagai macam makanan kecil dan minuman yang berasal dari hutan mangrove. Dengan begitu, maka ibu-ibu juga ikut serta melestarikan mangrove. Sebab, bukan pohonnya yang diambil, melainkan daun, batang dan buah. Rhizophora, misalnya, sekarang diambil bagian pucuknya yang menyerupai ‘pentol’. Bagian itu kemudian dikeringkan. Setelah kering, maka digoreng atau disangrai, sama seperti memasak kopi. Jadi, kami menyebutnya juga kopi mangrove, meski tanamannya bukan kopi, melainkan Rhizophora,” jelasnya.

Jerih payah yang dimulai sejak 2001, memang tidak mudah, apalagi pada awalnya banyak yang mencibir. Tetapi, kini Wahyono membuktikan bahwa rezeki dari hutan mangrove bisa datang, tanpa harus menebang.

baca juga : Foto: Ini Ragam Produksi Mangrove Si Api-Api

 

Bibit mangrove yang sudah siap dikirimkan Foto : Wahyono/Kelompok Patra Krida Wana Lestari/Mongabay Indonesia

***

Keterangan foto utama : Kawasan hutan mangrove Segara Anakan, Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version