Mongabay.co.id

Kisah Sungai di Sumatera, dari Kejayaan Menuju Kerusakan

 

 

Pulau Sumatera [Swarnadwipa, Perca, atau Andalas] luasnya mencapai 44.306.500 hektar. Pulau keenam terbesar di dunia setelah Greenland, New Guinea, Kalimantan, Madagaskar, dan Baffin. Topografi pulau ini kombinasi dataran rendah, perbukitan, dan pegunungan. Pulau ini pun dikenal sebagai “Pulau Seribu Sungai”.

Pernyataan “Pulau Seribu Sungai” disampaikan Gusti Asnan dalam bukunya “Sungai dan Sejarah Sumatera [2016]”. Ungkapan tersebut karena hampir semua wilayah di Pulau Sumatera terdapat sungai. Apakah sungai besar, sungai kecil, serta aliran.

Penyebutan struktur sungai di Sumatera digambarkan seperti sebuah pohon. Batang [sungai], dahan [anak sungai], cabang [anak air], ranting [aliran], tangkai [parit], dan tampuk [mata air].

Namun, tulis Gusti, sedikit sekali buku yang membahas tentang sungai-sungai di Sumatera. Di masa kolonial Belanda, para pengelana atau penulis buku seperti Maas [1905], Kohl [1914], Lekkerkerker [1916], Schrieke [1925], Bosch [1930], Parada Harapan [1927], dan Loeb [1935], lebih menekankan dinamika politik, keeksotisan alam, budaya dan masyarakatnya. Juga, potensi ekonomi Pulau Sumatera dalam pengembangan perkebunan, pertanian, dan perdagangan. Sungai-sungai nyaris tidak diungkap.

Baca: Kejayaan Bahari dan Kesadaran yang Hilang Merawat Sungai Musi

 

Masyarakat yang hidup di pinggiran Sungai Musi di Palembang, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Setelah kemerdekaan, para penulis “daerah-sentris” macam Dali Moetiara [1946], Ismail Yacoeb [1946], hingga Muhammad Ibnu Ibrahim [1977], nyaris tidak mengungkapkan tentang sungai terkait sejarah lokal.

Baru di era 1970-an mulai dikupas sungai di Sumatera, seperti Bennet Bronson [1977] yang menulis hubungan dagang dan politik antara pedalaman [hulu] dengan kawasan pantai [muara] di Asia Tenggara.

Dikutip dari “Atlas Bentanglahan Sumatera” yang dikeluarkan Badan Informasi Geospasial pada Desember 2015, dijelaskan beragam suku hidup di Sumatera. Misalnya Aceh, Batak, Melayu, Minangkabau, Pasemah, Ogan, Komering, Musi, Palembang, dan Lampung, yang hidup dengan 20 bahasa. Seperti bahasa Aceh, Alas, Angkola, Gayo, Kubu, Palembang, Lampung, Mandailing, Melayu, Orang Laut, Pakpak, Rejang Lebong, Riau, Sikule, dan Simulur.

Mereka hidup tak lepas dari keberadaan sungai. Terdapat enam sungai besar yang berhulu di Bukit Barisan dan bermuara di pesisir timur Sumatera, yakni Sungai Musi, Batanghari, Indragiri, Kampar, Siak, dan Rokan.

Baca: Berapa Jenis Ikan yang Hidup di Sungai Musi dan Pesisir Timur Sumatera Selatan?

 

Perahu ketek masih menjadi angkutan utama di Sungai Musi untuk jakur Palembang Ilir dan Palembang Ulu. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Peradaban bahari

Sejak ribuan tahun lalu, sungai-sungai tersebut membentuk peradaban manusia Sumatera. Dari masa purba [neolitik dan megalitikum], kerajaan, kesultanan, hingga hari ini. Sungai berfungsi sebagai sumber air bersih, pakan [ikan], pertanian, perkebunan, dan jalur transportasi.

Banyak kota tua atau permukiman di Sumatera yang bertahan saat ini, berada di sekitar sungai. Hubungan masyarakat di Sumatera dengan lautan dan sungai sangat kuat sehingga dikenal sebagai bangsa bahari.

Kedatuan Sriwijaya yang pusat pemerintahannya di Sungai Musi [Palembang] dapat dikatakan sebagai puncak peradaban bahari tersebut. Pada saat itu, berkembang teknologi perahu atau perkapalan yang mampu menjelajah Nusantara, Asia, Timur Tengah, hingga Afrika.

Namun tidak hanya Sungai Musi [750 kilometer] yang memiliki sejarah penting Kedatuan Sriwijaya, Sungai Batanghari [800 kilometer] dan Sungai Kampar [413,5 kilometer] juga. Di sekitar Sungai Batanghari terdapat peninggalan Kedatuan Sriwijaya yakni Candi Muaro Jambi [11-12 Masehi], dan Candi Muaro Takus [11 Masehi] di sekitar Sungai Kampar.

Kerajaan-kerajaan besar di Sumatera yang memanfaatkan sungai, bukan hanya Kedatuan Sriwijaya. Juga Kerajaan Melayu, Kerajaan Darmasraya, Kerajaan Minangkabau, dan lainnya.

Sungai Musi selain melahirkan Kedatuan Sriwijaya, juga Kerajaan Palembang dan Kesultanan Palembang. Sungai Batanghari selain Kerajaan Melayu juga Kerajaan Darmasraya. Lalu Kerajaan Minangkabau yang memanfaatkan sungai, seperti Batang Buo dan Batang Selo.

Selanjutnya Kerajaan Indragiri di tepi Sungai Indragiri, Kerajaan Siak Sri Indrapura di tepi Sungai Siak, Kerajaan Kuantan di tepi Batang Kuantan, Kerajaan Bila [Pane] di tepi Sungai Bila dan Batang Pane, serta Kerajaan Rokan di tepi Sungai Rokan.

Sama seperti Kedatuan Sriwijaya, teknologi perahu dan perkapalan merupakan andalan untuk kegiatan politik, ekonomi, dan lainnya, sebagai ciri peradaban bahari.

Baca: Foto: Melestarikan Sungai di Pasaman Melalui Arung Jeram

 

Kapal Kerajaan Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terukir di Candi Borobudur. Sumber: Wikipedia Commons/MichaelJ Lowe/Atribusi-Berbagi 2.5 Generik

 

Sungai-sungai kian rusak

Sebagian besar sungai-sungai di Sumatera saat ini kian terancam. Terjadi pendangkalan, penyempitan, terpotong, tercemar, bahkan ditimbun. Ini dampak illegal logging, pembangunan infrastruktur, aktivitas pertanian, perkebunan, pertambangan, industri, serta kegiatan manusia lainnya.

Penebangan pohon di wilayah DAS [Daerah Aliran Sungai] di Sumatera dimulai dari masa kolonial Belanda, baik untuk mengambil kayunya maupun pembukaan lahan untuk perkebunan. Rezim Orde Baru melanjutkan tradisi tersebut, dan masyarakat beserta pelaku usaha pun terlibat dalam kegiatan illegal logging.

Pertambangan batubara, emas, serta perkebunan skala besar yang terlihat cukup cepat mengubah sungai-sungai tersebut, seperti Sungai Batanghari [Sumatera Barat dan Jambi] Sungai Air Bengkulu [Bengkulu], Sungai Musi [Sumatera Selatan], termasuk Sungai Kampar, Sungai Sumpur-Sungai Rokan [Riau], hingga terancamnya Sungai Batang Gadis [Sumatera Utara] dan Sungai Alas [Aceh].

Penambangan emas liar dimulai dari kawasan hulu Sungai Batanghari yang berada di Sumatera Barat, yakni di Kabupaten Solok Selatan, Sawahlunto, Sijunjung dan Dharmasraya.

Baca: Kala Kondisi Sungai-sungai di Jambi Makin Memprihatinkan

 

Kegiatan arung jeram di Sungai Alahan Panjang, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dikutip dari kumparan.com, Dr. Muhammad Ridwansyah, pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis [FEB] Universitas Jambi, mengatakan kondisi mutu air Sungai Batanghari sudah tidak baik. Banyak mengandung E.coli dan coliform.

Salah satu penyebab, maraknya penambangan emas liar di Daerah Aliran Sungai [DAS] Batanghari. Jelasnya, dampak penambangan emas liar ini menyebabkan rusaknya 1,1 juta hektar dari 5,2 juta hektar DAS Batanghari. Sementara areal pertanian menjadi lahan penambangan emas seluas 2.071,5 hektar.

Komunitas Konservasi Indonesia [KKI] Warsi pada 2019 mencatat, Kabupaten Sarolangun dan Merangin merupakan daerah bukaan penambangan emas terluas. Sarolangun [14.126 hektar] dan Merangin [12.349 hektar]. Kerugian negara diperkirakan Rp2,5 triliun dari penambangan emas ilegal tersebut.

Baca: Perlu Upaya Serius Selamatkan Sungai di Sumatera Utara

 

Sungai Alas-Singkil termasuk sungai terpanjang di Aceh. Alirannya menuju Samudra Hindia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sungai Musi juga kondisinya hampir sama. Mutu air Sungai Musi terus memburuk atau tercemar berat. Kondisi ini tak lepas dari berbagai kegiatan ekonomi. Misalnya, penambangan batubara yang sebagian besar di wilayah DAS Musi ini luasnya mencapai jutaan hektar. Pada 2009 dikeluarkan izin seluas 1,2 juta hektar, pada 2010 [928.700 hektar], tahun 2011 [483.881 hektar], serta 2012-2013 [205.000 hektar]. Angkutan tongkang batubara juga mengganggu Sungai Musi.

Luas perkebunan sawit di Sumatera Selatan saat ini sekitar 1,18 juta hektar. Hampir semua perkebunan sawit tersebut sistem pengairannya pada akhirnya bermuara di Sungai Musi.

Kondisi ini diperparah dengan keberadaan berbagai industri, seperti PLTU Mulut Tambang, pabrik pengolahan getah karet, serta industri lainnya seperti PT. Pupuk Sriwidjaja dan Pertamina.

“Jika bentang alam di Sumatera [dataran tinggi, dataran rendah dan pesisir] rusak, kemungkinan besar sungai-sungai itu hilang. Hilangnya sungai-sungai di Sumatera, menghilangkan pula peradaban manusia Sumatera,” kata Dr. Husni Tamrin, budayawan Palembang, kepada Mongabay Indonesia.

Jika beranjak dari buku “Sungai dan Sejarah Sumatera [2016]” yang ditulis Gusti Asnan, bahwa lebih banyak buku yang menulis Sumatera sebagai “daratan” dibandingkan sungai. Ini yang mungkin mendorong pemikiran manusia Indonesia terhadap Sumatera pada hari ini lebih cenderung mengeksplorasi daratan sebagai sumber ekonomi dibandingkan menjaga sungai-sungainya.

Baca juga: Tidak Rela, Sungai Alas-Singkil Dibendung

 

Sungai-Alas Singkil merupakan urat nadi kehidupan masyarakat. Tidak hanya sebagai sumber penghidupan tetapi juga digunakan untuk jalur transportasi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pengetahuan identitas

Conie Sema, pekerja seni dari Teater Potlot, mengatakan penelusuran identitas budaya bahari yang kemudian dijadikan pengetahuan bagi manusia Sumatera saat ini, merupakan langkah utama untuk menyelamatkan sungai-sungai di Sumatera.

“Harus dijadikan pengetahuan bagai generasi hari ini, jika kebudayaan masyarakat Sumatera lahir dan tumbuh dari sungai-sungai tersebut. Jika sungai-sungai hilang, sejarah budaya masyarakat Sumatera pun hilang. Selain itu, sungai juga merupakan sumber pengetahuan yang harus dioptimalkan guna membangun peradaban manusia Sumatera ke depan,” kata Conie.

Gusti Asnan mengatakan, upaya tersebut sebagai “berdamai dengan sungai”. Upaya ini, katanya, mulai dilakukan pemerintah, seperti melakukan rehabilitasi kawasan hutan [DAS], serta berbagai kegiatan bersifat hiburan dan ekonomi, yang dilakukan sejumlah pemerintah daerah terhadap sungai.

Mulai dari Festival Krueng Aceh, Pesta Sungai Deli, Potang Balimau di Sungai Rokan dan Batang Mahat, Pacu Jalur di Sungai Kuantan, Lomba Perahu Tradisional dan Naga di Sungai Batanghari, Lomba Perahu Bidar dan Musi Triboatton di Sungai Musi, hingga Tradisi Belangekhan di Sungai Akar.

“Upaya berdamai dengan sungai [baru] dilaksanakan dalam kurun waktu relatif singkat. Hasil atau perubahan yang luar biasa tentu belum terlihat. Namun sikap optimis perlu dibangun. Perubahan akan muncul dan lingkungan sungai akan bersih. Sungai akan menjadi lebih ramah di masa depan. Bagaimana akhir dari upaya berdamai dengan sungai ini? Sejaralah yang akan membuktikannya,” tulis Gusti Asnan.

 

 

Exit mobile version