Mongabay.co.id

Ikan Hasil Destructive Fishing Tak Akan Pernah Lolos Sertifikasi

 

Penangkapan ikan dengan cara merusak (destructive fishing) sampai saat ini menjadi aktivitas yang dilarang oleh Pemerintah Indonesia. Aktivitas tersebut dilarang, karena merusak ekosistem laut yang ada di sekitar area tangkapan ikan. Meskipun, ikan yang didapat dari destructive fishing jumlahnya tidak sedikit dan akan menguntungkan pelaku aktivitas tersebut.

Akan tetapi, walau memudahkan pelaku untuk mendapatkan ikan, namun hasil tangkapan tersebut dipastikan tidak akan memiliki kualitas yang baik, terutama untuk dijadikan komoditas ekspor. Itu kenapa, Pemerintah Indonesia tidak akan pernah menerbitkan sertifikasi untuk ikan hasil tangkapan dengan cara destructive fishing.

Hal itu dikemukakan Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BKIPM KKP) Rina di Jakarta, pekan lalu. Menurut dia, KKP melarang dengan tegas penangkapan ikan dengan cara merusak yang bisa dilakukan siapa saja di perairan Indonesia.

Selama ini, penangkapan ikan dengan cara merusak banyak dilakukan dengan menggunakan bom dan racun. Kedua cara tersebut dilarang karena bisa merusak ekosistem laut, di antaranya akan membunuh terumbu karang dan juga biota laut yang lain.

“Ikan-ikan hasil destructive fishing, baik pengeboman maupun racun, tidak akan lolos sertifikasi. Ikan yang tidak lolos sertifikasi berarti tidak bisa dikirim ke daerah tujuan,” jelasnya.

baca : Destructive Fishing Masih Marak Terjadi di NTT, Kenapa?

 

Ikan hasil pengeboman nelayan Desa Waiwuring, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur NTT. Foto : Posmat TNI AL Flotim Lanal Maumere

 

Namun demikian, meski KKP sudah bisa mendeteksi ikan hasil tangkapan dengan cara menggunakan bom, Rina mengakui bahwa sampai saat ini pihaknya masih belum bisa mendeteksi ikan hasil tangkapan dengan cara menggunakan racun.

“Kalau kami bisa mendeteksi bahwa ikan-ikan ini diambil dengan cara menghancurkan terumbu karang atau menggunakan racun, maka kita bisa langsung tolak biar tidak boleh dilalulintaskan. Si pengusaha ini tentu tidak mau produknya tidak lewat, maka dia akan meneruskan ke suppliernya untuk tidak melakukan destructive fishing,” terangnya.

Agar ikan-ikan yang ditangkap dengan menggunakan racun bisa dideteksi, saat ini KKP sedang mengembangkan laboratorium uji untuk mendeteksi kondisi ikan, apakah berasal dari hasil kegiatan destructive fishing ataukah tidak.

Menurut Rina, pengembangan laboratorium tersebut menjadi bagian dari komitmen KKP untuk meningkatkan mutu produk perikanan Indonesia, sekaligus menjaga kelestarian alam di laut. Pengembangan laboratorium tersebut menjadi bagian dari peta jalan (road map) BKIPM untuk periode 2020-2024.

 

Deteksi Ikan

Rina menambahkan, pengembangan laboratorium uji untuk mendeteksi ikan hasil destructive fishing, memang sangat dinantikan untuk menjaga mutu produk perikanan. Pasalnya, walau BKIPM sudah bisa mendeteksi ikan yang ditangkap melalui pengeboman, tetapi ikan hasil penyemprotan racun itu bisa belum bisa dideteksi sampai sekarang.

“Sulitnya pendeteksian, karena ikan yang ditangkap menggunakan racun biasanya hanya pingsan dan akan pulih setelah dipindahkan ke air yang tak terkontaminasi. Sedangkan mendeteksi ikan hasil pemboman lebih mudah, karena dapat dilihat dari fisiknya seperti tulang dan punggung rusak, serta bagian dalam ikan hancur,” paparnya.

Adapun, untuk bisa melakukan pendetektisan ikan hasil tangkapan, Rina menyebutkan bahwa pengembangan uji laboratorium yang dilakukan adalah melalui darah. Untuk proses tersebut KKP bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PDSKP) KKP dan Institut Pertanian Bogor.

baca juga : Aktifitas Destructive Fishing Semakin Marak, Nelayan Flores Kian Merana. Apa Jalan Keluarnya?

 

Pelaku pengeboman ikan yang ditangkap personil Dit.Polairud Polda NTT di perairan Dambila dan Koja Doi dalam kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) gugus pulau Teluk Maumere. Foto : Dit.Polairud Polda NTT

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyatakan, pengembangan laboratorium uji deteksi ikan hasil tangkapan memang menjadi inovasi yang bagus bagi Indonesia. Terlebih, karena jika berhasil mendeteksi, maka upaya untuk menjaga kelestarian alam juga akan terwujud dan itu artinya akan memperpanjang umur industri kelautan dan perikanan Indonesia.

“Kita larang yang seperti itu. Jangan kasih tempat untuk destructive fishing. Perlu ketegasan agar praktik serupa tidak terulang dan kualitas produk perikanan Indonesia terjaga, begitupun alamnya,” ungkapnya.

Direktur Pengawasan Sumber Daya Kelautan KKP Matheus Eko Rudianto menjelaskan, walau aktivitas destructive fishing menjadi aktivitas terlarang di perairan Indonesia, tetapi sampai sekarang masih ada yang melakukan aktivitas tersebut. Bagi KKP, destructive fishing masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai.

Menurut dia, KKP saat ini sudah menetapkan langkah tegas untuk mengatasi persoalan destructive fishing, di antaranya dengan menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.114/KEPMEN-KP/SJ/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengawasan dan Penanggulangan Kegiatan Penangkapan Ikan yang Merusak Tahun 2019-2023.

Rencana aksi nasional itu, kemudian ditegaskan lagi dalam nota kesepahaman yang dijalin dengan Kepolisian RI Nomor 01/Men-KP/KB/II/2020 tentang Sinergitas Pengamanan dan Penegakan Hukum Bidang Kelautan dan Perikanan. Dalam nota tersebut, pemberantasan destructive fishing menjadi fokus kerja sama.

”Langkah-langkah pemberantasan destructive fishing ini tentu mengacu pada rencana aksi nasional yang sudah kita tetapkan,” ucap dia.

Agar pemberantasan destructive fishing bisa terus ditekan dan dihentikan, Pemerintah Indonesia juga menjalin kerja sama dengan Pemerintah Daerah, Kepolisian Air dan Udara, dan TNI Angkatan Laut. Melalui kerja sama tersebut, kegiatan patroli air bisa dilakukan dengan lebih cepat dan intensif, terutama untuk mengawasi kegiatan destructive fishing.

perlu dibaca : Pengebom Ikan Ditangkap di Flores Timur. Diduga Ada Jaringan Terorganisir

 

Pelaku pengeboman ikan dan perahu nelayan yang juga sebagai barang bukti disita dan dibawa ke kota Larantuka kabupaten Flores Timur,Nusa Tenggara Timur (NTT). Foto : Posmat TNI AL Flotim Lanal Maumere

 

Patroli Air

Eko mengatakan, sepanjang 2019 lalu pihaknya sudah melakukan patroli dan memeriksa sebanyak 952 kapal perikanan yang sedang beraktivitas menangkap ikan di perairan Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 33 kapal perikanan diketahui melakukan destructive fishing dan langsung ditangkap oleh tim gabungan.

Kapal-kapal pelaku destructive fishing itu diketahui berasal dari Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Kemudian, pada 2020 dilakukan patroli serupa dan diketahui ada empat lokasi yang masih memiliki kerawanan tinggi terhadap aktivitas destructive fishing, yaitu Kapoposang (Sulsel), Flores (NTT), Halmahera Selatan (Maluku Utara), dan Konawe (Sultra).

“Dari keempat lokasi tersebut, sebanyak 24 pelaku destructive fishing berhasil diamankan,” sebutnya.

Diketahui, praktik destructive fishing dengan menggunakan bom, memang menjadi perhatian penuh dari Pemerintah Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Penyebabnya, karena penggunaan bom akan merusak terumbu karang dan juga ekosistem lain yang ada di sekitar perairan laut yang dirusak.

Pada 2017, KKP pernah merilis informasi detil tentang kegiatan destructive fishing di Indonesia. Saat itu, diketahui kalau para pelaku yang biasanya adalah nelayan tradisional tidak bertanggung jawab, mendapatkan pasokan bahan kimia untuk melakukan peledakan ataupun menyebar racun dari toko kimia yang ada di sekitar kampung mereka.

Dengan menggunakan bahan kimia berbahaya, proses menangkap ikan dipastikan akan menjadi lebih mudah, cepat, dengan hasil tangkapan yang banyak. Tetapi, dampaknya memang akan dirasakan dalam waktu yang sangat lama dan merugikan ekosistem laut untuk waktu yang tak terbatas.

baca juga : Polda NTT Tangkap Pemasok Bahan Bom dan Pelaku Pengeboman Ikan, Bagaimana Selanjutnya?

 

Tim terpadu pengawasan laut kabupaten Flores Timur membawa pelaku pengeboman ikan di perairan laut Desa Ojandetun, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Dinas Perikanan kabupaten Flores Timur

 

Berdasarkan penelitian Bank Dunia pada 1996, penggunaan bahan peledak untuk kegiatan destructive fishing menunjukkan adanya kerusakan ekosistem laut. Dengan menggunakan bahan peledak seberat 250 gram saja, kerusakan yang disebabkan oleh ledakan akan merusak hingga 5,30 meter persegi.

Seluruh bahan kimia yang digunakan untuk peledakan, biasanya didatangkan secara ilegal dari Kinabalu dan Johor Bahru, Malaysia melalui jalur laut. Mendatangkan bahan dari Malaysia menjadi satu-satunya pilihan, karena dari dalam negeri akan sangat kesulitan untuk mendapatkannya.

 

Exit mobile version