Mongabay.co.id

Setelah 28 Tahun, Kualitas Udara di Jakarta Membaik

 

Sejak teridentifikasi pertama kali di Kota Wuhan, propinsi Hubei, Tiongkok pada penghujung 2019, sampai saat ini, COVID-19 telah menyebar sangat cepat ke seluruh Dunia menjadi pandemi.

Sampai Senin 6 April 2020, sebanyak 208 negara terkena pandemi COVID-19 dengan 1.275.037 orang positif terkena virus corona, sebanyak 69.501 orang meninggal dan sebanyak 265.887 orang sembuh.

Sedangkan di Indonesia sampai Senin (6/4/2020) pukul 13.50, tercatat ada 2273 orang terkonfirmasi positif, virus corona, 1911 orang dalam perawatan, 198 orang meninggal dan 164 orang dinyatakan sembuh.

Satu persatu negara melakukan lockdown, menutup akses keluar dan masuk ke dalam wilayah di negaranya. Termasuk juga Indonesia yang telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bahkan di beberapa daerah menerapkan karantina wilayah.

Pemerintah telah menghimbau semua orang untuk tinggal di rumah. Kantor-kantor, sekolah dan banyak pusat perbelanjaan ditutup. Banyak pabrik juga menghentikan operasionalnya dan meliburkan karyawannya.

Semua itu, membuat pusat bisnis, pusat pemerintahan, dan jalanan menjadi sepi dan lengang di hampir seluruh kota di Indonesia. Dampak positifnya, polusi udara menjadi berkurang. Orang menjadi lebih mudah melihat langit biru dan kualitas udara yang semakin bersih.

baca : COVID-19, Isolasi Warga, dan Emisi Global

 

Kota Bogor, Jabar pada awal April 2020 yang sepi dan lengang karena pembatasan sosial saat pandemi COVID-19. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Kawasan Tugu Kujang Kota Bogor yang sepi dan lengang saat pembatasan sosial mencegah pandemi COVID-19. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Seperti yang terjadi di Kota Bogor, Jawa Barat, yang masuk dalam zona merah karena ada 28 orang positif virus corona, dan 7 orang meninggal per 2 April 2020. Suasana kota berjuluk kota sejuta angkot ini menjadi sepi. Jumlah angkot yang biasanya terlihat memenuhi jalan-jalan utama Kota Bogor, sudah berkurang jauh.

Demikian pula di Kota Jakarta. Berbagai jalan protokol, pusat pemerintahan, dan pusat bisnis di ibukota negara ini terlihat sepi dan lengang. Jalan MH Thamrin, Jalan Jenderal Soedirman dan kawasan Senayan yang biasanya ramai dan macet pada hari kerja, sekarang terlihat sepi. Kawasan yang biasanya ramai dan macet seperti di Setiabudi dan Kemang juga terlihat lengang. Semua itu membuat langit Jakarta terlihat lebih bersih dan biru.

 

Udara Jakarta Membaik

Kebijakan pembatasan aktivitas alias social distancing di ibukota negara, ternyata berhasil membuat udara menjadi bersih dengan kategori baik yaitu nilai PM2,5 rata-rata sebesar 18,46 µg/m3. Kualitas udara kota Jakarta menjadi baik ini pertama kali terjadi setelah 28 tahun.

“Nyaris setelah 28 tahun, kualitas udara di Jakarta pada kategori baik. Dengan catatan, tidak ada laporan kualitas udara Jakarta sebelumnya. Tahun 1994 baru ada laporan resmi dari UNEP (United Nations Environment Programme),” kata Direktur Eksekutif Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin, yang dihubungi Mongabay-Indonesia, Senin (6/4/2020).

baca juga : Nyepi 2020: Merehatkan Alam, Manusia, dan Pandemi Corona

 

Kawasan Kemang, Jakarta Selatan pada awal April 2020 yang sepi dan lengang karena kebijakan pembatasan sosial mengurangi penyebaran COVID-19. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Kawasan Kemang, Jakarta Selatan pada awal April 2020 yang sepi dan lengang membuat udara menjadi bersih. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Meski tidak ada laporan resmi sebelum tahun 1994, Puput sapaan akrab Ahmad Safrudin memprediksi 5 tahun sebelumnya atau sejak 1989, kualitas udara di Jakarta sudah buruk. Hal itu berdasarkan analisis perbandingan kualitas udara dari tahun ke tahun oleh KPBB. “Apalagi bensin bertimbal waktu itu gila-gilaan,” katanya.

Puput mengakui kualitas udara di Jakarta baru bisa terdeteksi setelah ada laporan resmi dari UNEP pada 1994. “Tahun 1992, ada beberapa kajian yang menyebutkan udara Jakarta buruk. Baru pada tahun 1994, dikeluarkan laporan dari UNEP bahwa kualitas udara Jakarta buruk. Praktis sejak saat itu, kualitas udara di Jakarta tidak pernah baik,” katanya.

Puput menjelaskan kondisi udara baik di Jakarta saat ini terjadi setelah diberlakukan social distancing selama 10 hari kedua. “Apabila pada 10 hari pertama social/physical distancing (16 – 25 Maret 2020) belum berhasil menurunkan pencemaran udara di DKI Jakarta, maka berbeda dengan pelaksanaan 10 hari kedua social/physical distancing (26 Maret – 4 April 2020), pencemaran udara di DKI Jakarta telah turun drastis sehingga kualitas udara mendekati kategori baik. Meski kondisi kualitas udara baik ini rentan, karena bisa jadi minggu ini mungkin bisa buruk lagi,” katanya.

menarik dibaca : Ketika Bumi “Istirahat” Gegara Corona: Langit Biru Terlihat di Tiongkok dan Beningnya Air Terpancar di Venesia

 

Kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat yang sepi dan lengang pada Sabtu (4/4/2020). Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Kawasan Jalan Jenderal Soedirman, Dukuh Atas, Jakarta Pusat yang sepi dan lengang pada Sabtu (4/4/2020). Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Saat ini, kata Puput sapaan akrab Ahmad Safrudin, kualitas udara di Jakarta relatif baik sesuai dengan standard yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No.41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

“Dengan kata lain, hibernasi atau meditasi alam sebagai akibat dari pandemi COVID-19 dengan seruan Pemerintah serta diikuti oleh masyarakat untuk melakukan social/physical distancing telah mampu menurunkan pencemaran udara secara signifikan, sehingga akan sangat membantu meringankan risiko bagi penderita terinfeksi COVID-19,” katanya.

Berdasarkan hasil pengukuran kualitas udara ambien (Ambient Air Quality Monitoring/AAQM) pada 10 hari pertama pelaksanaan social/physical distancing masih menunjukkan kategori Tidak Sehat dengan nilai PM2,5 rata-rata 44,55 µg/m3.

Berbeda dengan hasil pengukuran kualitas udara roadside (pinggir jalan) untuk rata-rata harian 6 parameter pencemaran udara (HC, CO, NOx, PM, SOx dan O3) di lima wilayah kota Jakarta yang menunjukkan nilai yang turun drastis dibandingkan hasil pengukuran serupa pada 2011 – 2019.

“Pada 10 hari pertama, ada partikulat yang 2,5 ke bawah, yang belum terbilas (flushing) dengan air hujan. Ada sirkulasi massif dari partikel PM2,5 atau total suspended partikulat (TSP) di udara yang sudah berubah bentuknya menjadi aerosol (senyawa berbagai unsur) dan melayang-layang di udara. Sebagai aerosol, ada potensi ketinggian TSP melampaui awan di Jakarta, dan pada 10 hari pertama tidak langsung bersih oleh hujan, meski jumlah kendaraan bermotor di jalanan tinggal 5 persen,” jelas Puput.

baca juga : Belajar dari Wabah Corona yang menjadi Perhatian Global. Bagaimana dengan Perubahan Iklim?

 

Kawasan Jalan Jenderal Soedirman Jakarta Pusat yang sepi dan lengang pada awal April 2020. Foto : Andreas Harsono

 

Kawasan Jalan Jenderal Soedirman Jakarta yang sepi dan lengang pada awal April 2020 karena kebijakan pembatasan sosial mencegah penyebaran COVID-19. Foto : Andreas Harsono

 

Penerapan di Kota Lain

Melihat kondisi tersebut, KPBB merekomendasikan pelaksanaan social/physical distancing dilanjutkan secara disiplin dan konsisten oleh masyarakat dengan tindakan tegas dan disiplin dari aparat pemerintah, sehingga mampu memutus potensi penularan COVID-19 dan meningkatkan kualitas udara di Jakarta. Hal serupa juga dapat terjadi di kota- kota lain kategori red-zone darurat COVID-19 yang selama ini padat dengan kendaraan bermotor dan industrialiasi.

Agar pelaksanaan social/physical distancing efektif, KPBB melihat perlu adanya kepastian fasilitasi yang memadai dari pemerintah seperti kemudahan akses kebutuhan pokok baik dari aspek harga maupun kuantitas pasokan, jaminan pemenuhan kebutuhan pokok oleh pemerintah bagi masyarakat berpenghasilan harian dan atau masyarakat berpenghasilan tidak tetap, serta para usia lanjut.

Masa social/physical distancing bisa menjadi momentum untuk melakukan redesign, menata ulang tata kelola pembangunan, industri, transportasi dan energy, sehingga lebih berorientasi pada pengendalian emisi dan konsumsi energi.

“Momentum 20 hari pelaksanaan social/physical distancing ini cukup kuat menanamkan pesan kepada seluruh masyarakat akan pentingnya perencanaan kerja secara efektif dan efisien baik dalam proses pembangunan, industry, transportasi dan penggunaan energy; sehingga ini adalah saatnya pemerintah memegang kendali dengan orientasi pada keseimbangan antara kepentingan masyarakat banyak (diukur dari terjaganya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup termasuk kualitas udara) berhadapan dengan kepentingan capital. Tidak seperti yang lalu, bahwa kendali pemerintah lepas dan diambil alih oleh kekuatan capital dan oportunis politik, baik berskala lokal, nasional maupun global,” kata Puput.

baca : Budaya Work from Home dan Perbaikan Kualitas Lingkungan

 

Kawasan Senayan, Jakarta Selatan pada awal April 2020 yang sepi dan lengang membuat udara menjadi bersih. Foto : Andreas Harsono

 

Kawasan Palmerah, Jakarta Barat pada awal April 2020 yang sepi dan lengang membuat udara menjadi bersih. Foto : Andreas Harsono

 

KPBB juga mendesak agar social/physical distancing diterapkan secara terintegrasi di wilayah Jabodetabek mengingat masyarakat wilayah Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi tidak patuh pada ketentuan social/physical distancing sehingga jalan raya masih dipenuhi oleh kendaraan bermotor, tempat wisaya masih ramai pengunjung, industri masih berjalan BAU (business as usual) dan tidak mengambil momentum social/physical distancing untuk perbaikan pola produksi barang dan jasa secara efektif efisien.

“Dampak dari aktivitas BAU ini adalah masih tingginya emisi kendaraan dan industri serta pembangkitan energi di Bodetabek yang sebagian terekspose juga ke Jakarta,” lanjut Puput.

Integrasi social/physical distancing di kawasan Jabodetabek, lanjutnya, perlu diterapkan juga di kawasan lain seperti Bandung Raya, Priangan Timur, Yogyakarta-Solo-Semarang (Joglosemar), Belawan-Medan-Tanjung Morawa (Belmera), Gresik–Bangkalan–Mojokerto–Surabaya–Sidoarjo–Lamongan (Gerbangkertosusilo).

 

Kawasan Semanggi Jakarta yang sepi dan lengang pada awal April 2020. Foto : Andreas Harsono

 

Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan pada awal April 2020 yang sepi dan lengang membuat udara menjadi bersih. Foto : Arrive

 

Sedangkan Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengatakan justru ada peningkatan nilai PM2.5 selama pelaksanaan social distancing di Jakarta pada 10 hari pertama, yang kemungkinan karena ada sumber pencemaran yang lain.

“Walaupun saat-saat sekarang ini banyak yang sudah melakukan WFH (work from home), yang asumsinya sumber pencemar dari transportasi sudah berkurang , tapi datanya justru terjadi peningkatan PM 2.5. Ini artinya bisa jadi ada sumber lain ( tidak bergerak ) yang masih berkontribusi pada pencemaran udara, semisal industri, PLTU Batubara, pembakaran sampah, dan yang lainnya,” kata Bondan ketika dihubungi Mongabay-Indonesia Kamis (26/3/2020).

Dia mengatakan perbaikan kualitas udara harus bersumber dari kebijakan jangka panjang yang kemudian juga mengubah kebiasaan masyarakat. “Dan ini akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh sebaran alat pantau udara yang memadai, riset inventarisasi emisi yang regular, upaya pengendalian sumber pencemaran udara berdasarkan hasil inventarisasi emisi, serta keterbukaan data tentang pencemar udara dari lembaga terkait,” tambahnya.

 

Exit mobile version