Mongabay.co.id

Sungai di Bangka Rusak Akibat Tambang Timah dan Sedimentasi

Anak Sungai Baturusa yang mengering akibat sedimentasi parah yang terjadi karena penambangan timah liar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Pulau Bangka di Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung, yang luasnya sekitar 1.169.354 hektar, dialiri 67 sungai. Namun, aktivitas merusak alam seperti tambang timah ditambah penebangan liar serta perkebunan skala besar, mengakibatkan kondisi air di sejumlah sungai tercemar. Bahkan, airnya melebihi syarat baku mutu layak konsumsi.

Hasil pemantauan kualitas air oleh BPLHD Provinsi Bangka Belitung pada 2012 menyatakan, sejumlah sungai di Pulau Bangka seperti Sungai Mabet, Kayubesi, Limbung, Baturusa, Selindung, Pangkalbalam, dan Rangkui masuk kategori tercemar berat. Parameter atau senyawa kimia seperti TDS, DO, BOD5, COD, sulfida [H2S], sianida [CN-], fecal coli dan T. coliform telah melampui Baku Mutu Air Kelas II, berdasarkan PP. 82 Tahun 2011.

Masalah lainnya, intrusi air laut juga telah masuk jauh hingga ke hulu sejumlah sungai di Pulau Bangka. Berdasarkan Buku terbitan UNLAM PRESS tahun 2015 dengan judul “Nipah Indikator Degradasi Kawasan Pesisir” oleh Eka Iriadenta dijelaskan bahwa salah satu bioindikator tingginya intrusi air laut ke sungai adalah dengan melihat sebaran tanaman nipah.

Nipah merupakan vegetasi mangrove yang biasa tumbuh di zona paling belakang wilayah mangrove. Ini sebagai akibat penyesuaiannya dengan habitat yang payau dan cenderung berada pada batas antara pengaruh air asin [laut] dengan air tawar.

Baca: Saat Air Kolong Jadi Andalan Masyarakat Bangka

 

Anak Sungai Baturusa mengering akibat sedimentasi parah yang terjadi karena penambangan timah liar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pada sisi lain, sebaran nipah mungkin ditemukan pada bagian dalam daerah aliran sungai, dengan kecenderungan semakin bergerak tumbuh ke hulu. Hal ini juga mencerminkan adanya degradasi kualitas ekosistem setempat, sehingga berakibat pengaruh air asin atau laut pada saat pasang semakin jauh mencapai kawasan bagian hulu, dalam sistem daerah aliran sungai.

Sebaran nipah dalam jumlah besar dapat dilihat dengan jelas dari hulu hingga hilir Sungai Baturusa, sungai terpanjang di Pulau Bangka, sekitar 31,25 kilometer. Sungai ini juga menjadi titik sedimentasi terbesar jika dibandingkan wilayah sungai lainnya di Pulau Bangka. Hasil analisis Dirjen Sumber Daya Air Provinsi Bangka Belitung tahun 2013 menyatakan, laju sedimentasi di Sungai Baturusa mencapai 71.444.657,83 m3/detik.

“Sekitar tahun 1970-an, di sepanjang sungai ini banyak ditumbuhi pohon bakau. Ukurannya bisa dua hingga tiga pelukan orang dewasa. Tapi, sejak 1980-an, pohon bakau semakin berkurang bahkan mati dan berganti nipah hingga sekarang. Sungai juga semakin dangkal,” kata Rakib [60], warga Desa Baturusa.

Penelitian berjudul “Pengaruh aktivitas Penambangan Timah Terhadap Kualitas Air di Sungai Baturusa Kabupaten Bangka” yang dilakukan oleh Mentari, Umroh, dan Kurniawan dari Universitas Bangka Belitung [2017] yang diterbitkan dalam Jurnal Sumberdaya Perairan, menunjukkan kualitas air sungai ini tidak lagi optimal akibat pengaruh penambangan timah. Status airnya mengandung logam berat Zn [seng] dan Cu [tembaga] yang melebihi standar baku mutu air.

Baca juga: Sampah yang Merusak Pesona Pantai Bangka

 

Sungai Baturusa yang kini didominasi pohon nipah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ikan berkurang

Berubahnya lanskap hutan mangrove Sungai Baturusa yang kini didominasi nipah serta laju sedimentasi, membuat penghasilan nelayan dari Desa Baturusa dan variasi tangkapnya berkurang.

“Dulu, ketika hutan bakau masih lebat, mudah sekali mencari ikan. Di depan rumah bisa terlihat jelas gerombolan ikan belanak. Sepanjang tahun, bisa dapat ikan kakap dan juga kepiting, bahkan udang galah. Sekarang, meski seharian mencari belum tentu dapat. Udang galah semakin sulit didapat, paling hanya jenis udang windu, itupun tidak banyak, biasa dijual untuk umpan memancing,” kata Yusuf, nelayan dari Desa Baturusa.

Menurut Dr. Roby Hambali yang melakukan penelitian bersama Fadillah Sabri dengan judul “Kajian Imbangan Air Pulau Bangka” tahun 2013, terganggunya siklus hidrologi dapat berbuntut panjang dari hulu hingga ke hilir.

“Saat siklus hidrologi terganggu akibat degradasi hutan. Dampaknya bisa panjang, mulai dari sedimentasi sungai yang memicu intrusi air laut semakin masuk hingga ke hulu sungai yang mempengaruhi kualitas air permukaan maupun tanah. Bahkan, hingga pada tataran ekonomi warga di sekitar sungai,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Kamis [12/3/2020] lalu.

“Saya yakin, permasalahan air di Bangka dan Belitung akan semakin nyata dalam beberapa tahun kedepan jika tidak segera ditangani secara serius. Mengingat, degradasi hutan besar-besaran terus terjadi hingga sekarang,” tegasnya.

 

Aktivitas tambang timah di sekitar Sungai Baturusa mengakibatkan sedimentasi yang memicu intrusi air laut hingga ke hulu Sungai Baturusa. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kekeringan dan banjir

Pada 2015, Pulau Bangka mengalami kemarau panjang hingga lima bulan [Juni – Oktober]. Bencana ini membuat sejumlah petani lada dari daerah Mendo Barat, Kabupaten Bangka, mencuci lada di kolong atau kolam eks tambang Kacang Pedang, Pangkalpinang.

“Kondisi air Sungai Air Buluh sudah kering, susah cari air, tidak memungkinkan untuk merendam dan mencuci lada di sana. Jadi, saya membawanya ke Pangkalpinang, dan mencucinya di kolong Kacang Pedang,” kata Muklis, petani lada asal Air Buluh, Penagan, Kecamatan Mendobarat, Kabupaten Bangka, dikutip dari bangka.tribunnews.com.

Setahun kemudian, 2016, Pulau Bangka diterpa banjir besar yang merendam hampir seluruh wilayah kabupaten dan kota, termasuk pula di Pulau Belitung. Banjir saat itu bahkan memutus sejumlah akses jalan lintas antarkabupaten, dan menjadi salah satu banjir terbesar yang pernah terjadi.

Berdasarkan penelitian Dr. Roby Hambali dan Fadillah Sabri, tersedianya air di Pulau Bangka periode 2013- 2023, menunjukkan nilai surplus pada musim hujan [Nopember-April] dan terjadi defisit [kategori kritis] air pada musim kemarau [Mei-Oktober].

Kondisi imbangan air di seluruh wilayah Pulau Bangka tergolong baik hingga tahun 2023, kecuali Pangkalpinang. Kondisi imbangan air di Kota Pangkalpinang tergolong buruk dengan nilai 388,13 persen pada 2013, 454 persen pada 2018, dan 531,04 persen pada 2023.

 

Jejak aktivitas tambang timah yang membelah hutan Bukit Mangkol yang menjadi salah satu titik tampungan air bagi aliran Sungai Rangkui Kota Pangkalpinang. Foto: Nopri IsmiMongabay Indonesia

 

“Kondisi di Bangka dan Belitung sekarang, siklus airnya tidak seimbang, air yang keluar itu lebih banyak dari pada yang masuk atau tersimpan. Saat musim penghujan berpotensi banjir dan saat kemarau terjadi kekeringan. Hal ini tentu berkaitan dengan tutupan hutan di beberapa titik daerah penyangga yang terus mengalami degradasi akibat berbagai macam aktivitas merusak alam seperti tambang timah, penebangan liar, industri dan perkebunan skala besar,” kata Dr. Roby Hambali, peneliti hidrologi dari Universitas Bangka Belitung.

Berdasarkan data Walhi Bangka-Belitung, luasan hutan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 657.510 hektar. Tersisa 28 persen hutan yang dalam kondisi baik, sedangkan 60 persen dalam kondisi sangat kritis dan kritis, dan 12 persen dalam kondisi rusak kritis.

“Ketergantungan Bangka dan Belitung terhadap air permukaan seperti kolong atau kolam eks tambang, sebenarnya tidak menjadi masalah. Permasalahan seriusnya adalah, bagaimana kita selama ini tidak menjaga air permukaan ini agar terjaga sepanjang tahun, saat kemarau air permukaan akan berkurang, harapannya sumber air berasal dari air tanah hasil penyimpanan selama musim hujan. Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk menjaga kondisi hutan dari hulu hingga hilir,” lanjutnya.

“Pemerintah harus menindak tegas kegiatan merusak alam yang mengakibatkan terganggunya siklus hidrologi air di Bangka maupun Belitung. Masyarakat pun harus ikut sadar akan pentingnya menjaga hutan,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version