Mongabay.co.id

Para Pejuang Pangan Turut Menjaga Keragaman Hayati Indonesia

 

Cuaca hari itu sedikit mendung, Seliwati berjalan di depan sementara sejumlah jurnalis ikut di belakang, melintasi sungai yang agak keruh karena hujan sehari sebelumnya.

Di seberang sungai, Seliwati menghentikan langkah. Di sekeliling kami terhampar puluhan pohon jengkol yang sudah tinggi besar. Umurnya mungkin sekitar 7 tahun.

Seliwati adalah warga Dusun Likudengen, Desa Uraso, Kecamatan Mappadeceng, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Ia bukan petani biasa. Ia adalah salah satu penggerak warga dalam menanam jengkol di kebun masing-masing.

“Dulu di sini ditanami sawit, tapi kami kemudian mulai menanam jengkol sebagai bentuk perlawanan terhadap sawit, agar lahan kami yang telah diambil bisa dimiliki kembali,” ungkap Seliwati di sela-sela acara peringatan Hari Perempuan Internasional di Desa Uraso, Kecamatan Mapadeceng, Kabupaten Luwu Utara, pertengahan Maret 2020 lalu.

Pada acara itu, puluhan perempuan dan pemuda pejuang pangan dari seluruh Indonesia berkumpul berbagi pengalaman di komunitasnya masing-masing.

Desa Uraso memang menjadi salah satu kawasan HGU PTPN XIV, yang sebagian besar ditanami sawit. Seliwati dan warga Likudengen lainnya bertahan dan menanami lahan yang tersisa dengan jengkol. Kini terdapat ribuan pohon jengkol telah ditanami warga.

Menurut Seliwati, tanaman jengkol dipilih karena bernilai ekonomis dan ramah terhadap lingkungan. Tak butuh pupuk untuk perawatannya. Pemberian pupuk malah membuat hasil panen berkurang. Pasar pun tersedia luas. Sekali panen mereka bisa menghasilkan puluhan juta rupiah.

“Dari segi lingkungan, akar pohon jengkol kuat menahan longsor. Kita sudah buktikan. Di pinggiran sungai yang dulunya terjal dan mudah longsor kini sudah tidak lagi,” tambahnya.

baca : Mereka Perempuan Pejuang Pangan Hebat Indonesia

 

Seliwati, pejuang pangan dari Desa Uraso, Luwu Utara, sukses menggerakkan warga untuk bertanam jengkol. Mereka menanami lahan-lahan yang kosong sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasaan lahan dan ekspansi sawit PTPN XIV. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Inisiatif Seliwati menanam jengkol di tahun 2012 sempat diragukan warga dan pemerintah desa setempat, namun setelah melihat hasilnya, warga pun ramai-ramai ikut menanam jengkol.

Agar lebih maksimal dalam memanfaatkan lahan, Seliwati dan warga lainnya juga bertanam tumpang sari seperti cabai di sela pohon jengkolnya. Hasilnya bisa menambah pendapatan keluarga, apalagi jangka panen yang singkat.

Upaya Seliwati dalam mendorong penanaman jengkol ini bisa meningkatkan perekonomian warga. Bahkan kini mulai banyak ditiru oleh warga desa lain di Luwu Utara. Atas inisiatif ini Seliwati mendapat penghargaan sebagai Perempuan Pejuang Pangan dari Oxfam pada tahun 2016 silam.

Pada acara itu, juga ada Apni Olivia Naibaho, seorang pejuang pangan dari Pematang Siantar, Sumatera Utara, penggagas usaha sayuran organik yang bernama SISE atau Siantar Sehat.

Apni mampu menjembatani petani dengan pasar tanpa melalui tengkulak. Pemasaran dilakukan melalui media sosial, seperti Facebook dan Instagram, Whatsapp dan aplikasi yang bisa diunduh di Playstore. Ia juga bekerja sama dengan aplikasi Pak Tani Digital.

Sayur yang ditanam antara lain kangkung, sawi manis, sawi pahit, bayam merah, bayam hijau, dan pakcoy. Kualitas sayur organik dipilih karena lebih lembut, hijau, mudah dimasak, enak dan bergizi.

“Sayuran produk petani dampingan kami tidak akan ditemui di pasar-pasar besar, tetapi hanya secara online, media sosial dan aplikasi. Pagi hari panen kita umumkan, siangnya sudah diantar ke pembeli,” katanya.

baca juga : Sukses Silangkan Padi Lokal, Beatrix Rika pun Diganjar Penghargaan Perempuan Pejuang Pangan

 

Para perempuan dan pemuda penjuang pangan berkumpul di Desa Uraso, Luwu Utara, Sulsel, berbagi pengalaman di komunitasnya masing-masing. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Apni yang merupakan Duta Petani 2016 ini menuturkan kemitraannya pada petani adalah bentuk pembagian tugas, dalam hal ini petani memproduksi sayuran sementara Apni sebagai bagian pemasaran dan membangun jejaring.

Tidak hanya menjual sayuran segar, Apni juga menjual beragam produk olahan sayur.

”Kalau lihat di Instagram kami, bisa dilihat di situ ada bolu dari sayur, keripik sayur, nuget, bakso dan mie,” katanya.

Tidak hanya memberdayakan petani dari segi pemasaran, Apni juga berjuang agar petani bisa berdaulat atas produk dan harga. Salah satu upayanya adalah membatasi produksi agar tidak terjadi kelimpahan panen.

“Setiap minggu kami panen dua kali. Kami bisa atur petaninya tanam apa dan panen kapan, jadi tidak sekali panen langsung semua, yang bisa membuat harga tidak lagi ditentukan petani. Kami di Siantar Sehat bisa dibilang petani berdaulat. Kami yang menentukan harga, tidak tergantung pasar.”

Dengan kedaulatan mengatur harga, setiap tahun pendapatan petani bisa meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.

“Seperti orang kantoran, saya dan petani akan meningkat gajinya, karena diatur penanaman, maka kita yang berdaulat atas apa yang dilakukan petani, akhirnya petani bisa berdaulat dengan hasil tanamannya,” katanya.

Kesuksesan utama Apni adalah berhasil mengajak sejumlah petani beralih ke pertanian organik, meski penuh tantangan dan butuh waktu tiga tahun mewujudkannya.

Di awal, ia sempat sewa lahan di Simpang Kerang satu tahun lamanya, namun gagal karena tak ada petani yang mau ikut. Ia kemudian berpindah ke Tanjung Pinggir, namun ia menjumpai kondisi yang sama.

Percobaan ketiga ia lakukan di Blok Songo selama setahun menggarap pertanian organik. Di percobaan ketiga inilah dua petani mengikuti jejaknya, yang kemudian bertambah menjadi 7 petani di tahun-tahun berikutnya.

Ada juga Suparjiyem, perempuan pejuang pangan 2013 dari Gunung Kidul. Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia mampu menggerakkan komunitas di sekitarnya untuk memanfaatkan tanaman lokal di daerahnya yang identik dengan kemiskinan dan kekeringan.

Bersama komunitasnya, dia antara lain membudidayakan tanaman uwi, gembili, garut, gadung, singkong, ganyong, hingga sorgum dan beragam pangan lain sehingga bernilai ekonomi tinggi.

perlu dibaca : Eksotisnya Keberagaman Pangan Lokal Luwu Utara dan Peran Perempuan didalamnya

 

Mia Siscawati, pengajar Gender dan Lingkungan Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, mengapresiasi keberadaan perempuan dan pemuda pejuang pangan, yang berkontribusi dalam menjaga keberlangsungan keanekaragaman Indonesia yang mulai berkurang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Penjaga Keragaman Hayati

Mia Siscawati, pengajar Gender dan Lingkungan Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, mengapresiasi keberadaan perempuan dan pemuda pejuang pangan, yang berkontribusi dalam menjaga keberlangsungan keanekaragaman Indonesia yang mulai berkurang.

“Dengan adanya pejuang pangan ini mulai bergerak bolehlah kita sekarang berharap agar percepatan perusakan keanekaragaman hayati di Indonesia tidak berjalan seburuk apa yang diperkirakan,” katanya.

Menurutnya, para perempuan dan anak muda memiliki peran yang sangat besar dalam menyelamatkan keragaman hayati, terutama sebagai penjaga.

“Saya lihat bagaimana teman-teman memperjuangkan pangan di tempatnya masing-masing. Temanya mungkin pangan tetapi ini juga menjaga keaneragaman hayati kita,” tambahnya.

Mia mencontohkan tanaman dengen yang banyak ditemui di Dea Uraso, yang dalam pertumbuhannya pasti membutuhkan tanaman lain, sebuah ekosistem yang baik untuk tumbuh.

“Kalau ekosistemnya tidak dijaga maka habis dia. Jadi buat saya, teman-teman pejuang pangan yang sudah bergerak untuk memperjuangkan sumber-sumber pangan telah melakukan sesuatu yang luar biasa, dan itu menjaga keanekaragaman hayati Indonesia, walaupun dilakukan dalam skala kecil tetapi dilakukan bersama-sama maka dampaknya akan besar.”

Menurut Mia, Indonesia termasuk tiga besar di dunia yang keanekaragaman hayatinya tertinggi di dunia, namun sayangnya jumlahnya semakin berkurang. Penyebabnya, antara lain alih fungsi lahan dan penguasaan perusahaan.

“Kita bisa lihat pada ubi, kita punya banyak jenis ubi tapi kemudian mulai berkurang, seperti di Papua. Itu karena wilayah tanamnya diambil alih oleh perusahaan,” katanya.

Tidak hanya di Indonesia, semakin berkurangnya keanekaragaman hayati juga terjadi di tingkat global.

“Sebuah laporan dari PBB tahun 2019, badan khusus yang menangani keanekaragaman hayati menyebutkan bahwa hampir 1 juta spesies hilang. Para pejuang pangan ini mungkin bisa cerita bagaimana spesies lokal, seperti padi, jagung, dan umbi-umbian mulai berkurang, kini yang banyak adalah tanaman hibrid.”

 

Exit mobile version