Mongabay.co.id

Perpres ISPO Terbit, Akankah Perkuat Perbaikan Tata Kelola Sawit?

Kebakaran di PT MAS, Muarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Setelah sekitar empat tahunan pemerintah menggodok aturan standar sawit berkelanjutan penguatan akhirnya terbit pada Maret lalu. Lewat Peraturan Presiden Nomor 44/2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia, mewajibkan perusahaan maupun pekebun atau petani mandiri sawit memiliki sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sampai 2025 alias dalam lima tahun ke depan.

Presiden Joko Widodo menandatangani perpres ISPO ini guna penyempurnaan penyelenggaraan sistem sertifikasi perkebunan sawit berkelanjutan dengan memastikan usaha sawit layak sosial, ekonomi dan lingkungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Iya (aturan ini) penguatan ISPO dari peraturan menteri, sekarang dipayungi peraturan presiden. Bentuk komitmen negara untuk pengelolaan sawit berkelanjutan,” kata Musdalifah Mahmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian kepada Mongabay, melalui pesan singkat.

Aturan ini memiliki berkedudukan lebih tinggi dari aturan sebelumnya, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/2015 tentang ISPO.

Pertimbangan regulasi ini keluar, bahwa, peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem sertifikasi sudah tak sesuai perkembangan internasional dan kebutuhan hukum. Hingga perlu ganti dan atur kembali dalam peraturan presiden.

Aturan ini memiliki tiga tujuan sertifikasi ISPO, yakni, pertama, memastikan dan meningkatkan pengelolaan serta pengembangan perkebunan sawit sesuai prinsip dan kriteria ISPO. Kedua, meningkatkan penerimaan dan daya saing hasil perkebunan sawit di pasar nasional dan internasional. Ketiga, meningkatkan upaya percepatan penurunan emisi gas rumah kaca sebagai upaya dari kebijakan iklim Indonesia.

Ruang lingkup pengaturan perpres ini, antara lain terkait sertifikasi ISPO, kelembagaan, keterimaan daya saing pasar dan peran serta, pembinaan dan pengawasan sekaligus sanksi.

Secara aspek kewajiban, semua pelaku usaha perkebunan sawit wajib punya sertifikasi ISPO, termasuk perusahaan perkebunan penghasil energi terbarukan maupun pekebun atau petani, seperti pada Pasal 5.

Bagi perusahaan perkebunan, ISPO berlaku sejak perpres ini berlaku, untuk pekebun lima tahun sejak aturan ini diundangkan.

 

Batang kayu sisa-sisa hutan alam yang terbabat jadi kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Ketelusuran sawit belum masuk dalam ISPO, bagaimana buah-buah sawit dari kawasan konservasi seperti ini? Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Sertifikasi ini berjangka waktu lima tahun dan dapat mengajukan ulang.

Kalau terjadi pelanggaran, akan ada sanksi administrasi, mulai terguran tertulis, denda, pemberhentian sementara usaha perkebunan sawit, pembekuan sertifikat ISPO maupun pencabutan ISPO.

Pelaksana sertifikasi adalah lembaga sertifikasi ISPO yang terakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan terdaftar pada kementerian penyelenggara urusan pemerintahan bidang perkebunan. Lembaga ini, akan menilai kesesuaian pemenuhan prinsip dan kriteria ISPO kepada pelaku usaha. Juga menerbitkan, membekukan sementara atau membatalkan sertifikat ISPO bagi usaha perkebunan sawit berdasarkan hasil kegiatan sertifikasi ISPO. Kemudian penilaian usaha perkebunan sawit yang bersertifikat ISPO setiap tahun, menindaklanjuti keluhan dan banding sertifikasi ISPO.

Soal kelembagaan, disebutkan, akan ada Komite ISPO terdiri dari unsur pemerintah, asosiasi pelaku usaha, akademisi dan pemantau independen dan bersifat ex-officio. Pemantau independen, merupakan lembaga swadaya masyarakat berbadan hukum Indonesia atau WNI pemerhati perkebunan yang memiliki kepedulian sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Komite ISPO akan jadi pengurus dalam sertifikasi ISPO, mulai penjabaran kebijakan umum pengelolaan dan penyelenggaraan ISPO, menyusun dan mengembangkan prinsip dan kriteria ISPO, menyusun standar penilaian untuk masing-masing tingkat pemenuhan prinsip dan kriteria ISPO. Lalu, menyusun persyaratan dan skema sertifikasi ISPO, mengevaluasi sistem sertifikasi ISPO guna menjaga tata kelola perkebunan yang baik.

Selain itu, juga membangun sistem informasi dengan menerapkan sistem penggunaan data bersama dan terintegrasi elektronik untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha memperoleh sertifikasi ISPO; koordinasi dengan kementerian dan lembaga, pemerintah daerah maupun pihak lain dalam pengelolaan serta penyelanggaraan sertifikasi ISPO.

Komite akan dipilih dewan pengarah ISPO, terdiri dari Menko Perekonomian (ketua) dengan anggota Menteri Lingkungan Hidup dan Kelhutanan, Menteri ATR/BPN, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri Dalam Negeri, dan kepala lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan standarisasi nasional.

Pada 2019, luas kebun sawit di Indonesia mencapai kurang lebih 16,38 juta hektar, dimana pekebun sawit menguasai sekitar 1,9 juta hektar dari perkebunan sawit nasional. Sementara itu, perkebunan sawit yang masih di kawasan hutan sebesar 3,4 juta hekar.

Mengenai peraturan pelaksanaan dari perpres ini, seperti prinsip dan kriteria ISPO, sanksi administrasi, tata cara sertifikasi dan biaya sertifikasi, ketentuan terkait organisasi dan tata cara dewan pengarah akan diatur dalam peraturan menteri, paling lama 30 hari sejak aturan diundangkan.

Diah Y Suradiredja, Wakil Ketua Tim Pelaksana Penguatan Sistem ISPO mengatakan, Perpres No 44/2020 ini mampu melibatkan beberapa pemangku kepentingan, tak hanya pemerintah juga masyarakat dan pelaku usaha. Dalam Komite ISPO, katanya, juga ada keterlibatan pemantau independen.

“Momentum ini harus jadi penggerak perbaikan,” katanya.

Luas kebun sawit di Indonesia, sekitar 16.38 juta hektar. Saat ini, diperkirakan perkebunan sawit ada di kawasan hutan 3.4 juta hektar dari luasan total 16.38 juta hektar.

Menurut Diah, sebagai komoditas unggulan devisa negara, pembangunan industri sawit bak tumbuh tak terbatas dan tanpa hambatan. Padahal, dalam perkembangan industri sawit banyak terjadi berbagai persoalan lingkungan, konflik sosial dan ketidakadilan ekonomi. Konflik tenurial/agraria seputar perusahaan sawit, tak bisa lagi diabaikan perusahaan, maupun pemerintah karena bertolakbelakang dengan upaya perbaikan sistem ISPO dan keberterimaan pasar global.

 

Begini hutan adat Kinipan, setelah pembukaan untuk kebun sawit perusahaan. Kalau konflik lahan antara warga dan perusahaan begini. Deforestasi pun terjadi. Bagaimana ISPO, mengatasi soal kebun-kebun sawit perusahaan yang dibangun dan menghasilkan konflik lahan? Foto: Dok Laman Kinipan

 

Saat itu, ISPO mulai pada 2011 melalui permentan yang diperbaharui pada 2015. Permentan 11/2015 tentang ISPO pun mewajibkan semua perusahaan perkebunan sawit mengantongi sertifikat ISPO sampai batas akhir 31 Desember 2014. Dalam pelaksanaan, sampai batas akhir masih banyak pelaku usaha belum bersertifikasi.

Sampai Januari 2020, Komisi ISPO menerbitkan 621 sertifikat ISPO seluas 5,45 juta hektar, terdiri dari perusahaan swasta 557 sertifikat dan luas 5,25 juta hektar. Lalu, PT Perkebunan Nusantara 50 sertifikat luas 286.590 hektar.  Sertifikat ISPO untuk koperasi pekebun plasma dan swadaya baru 14 dengan luas 12.270 hektar, atau 0,21% dari kebun rakyat seluas 5,8 juta hektar.

Azis Hidayat, Ketua Sekretariat ISPO mengatakan, pekebun sawit yang memiliki ISPO baru 0,21% atau 12.270 hektar. Dalam waktu lima tahun ke depan, pemerintah harus memberikan pelayanan publik ke pekebun, antara lain legalitas lahan untuk memiliki sertifikat hak milik, lahan harus clean and clear dan memiliki surat tanda daftar budidaya (STDB). ”Yang paling berat (itu perkebunan) di kawasan hutan,” katanya.

Menurut dia, melalui regulasi seperti Inpres 8/2018 tentang moratorium izin sawit, Perpres 88/ 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan dan Inpres 9/2019 soal Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan akan mengurai permasalahan tingkat tapak guna mempercepat sertifikasi ISPO.

Berbicara keterimaan pasar, kata Azis, tergantung pasar tujuan, misal, India mengusulkan sertifikat ISPO akan mengalami keringanan pajak, Tiongkok tak memerlukan sertifikat apapun, begitu juga Amerika dan Pakistan. Kalau ekspor ke Uni Eropa, biasa memiliki lebih dari satu sertifikat, seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), ISPO dan International Sustainability and Carbon Certification (ISCC).

“Jadi, keterimaan itu tergantung pasar tujuan kita. Sekarang RSPO diterima di mana-mana, padahal mereka bukan lembaga pemerintah. Memang RSPO dibuat untuk pasar. Kalau ISPO tujuannya ketaatan peraturan perundang-undangan. Sebetulnya, perusahaan sawit tanpa ISPO pun harus taat UU.”

Untuk pembahasan aturan turunan dari perpres, berupa permentan, salah satu terkait prinsip dan kriteria ini. “Selama ini sudah disiapkan, karena corona ini, jadi belum sempat dibahas. Kalau online kurang efektif, takutnya ada celah. Sebaiknya menunggu.”

 

Suratno Warsito, adalah petani asal Desa Merarai Satu, Kecamatan Sungai Tebelian, Sintang, Kalimantan Barat. Bersama anggota Koperasi Rimba Harapan, mereka berusaha benahi tata kelola kabun sawit. Foto: Dok Suratno Warsito

 

Masih setengah hati

Abu Meridian, Direktur Eksekutif Kaoem Telapak menilai, penguatan ISPO pemerintah masih setengah hati. Peran pemantau independen dalam regulasi itu, katanya, tidak tercantum dalam perpres. Terutama, dalam kegiatan pemantauan sertifikasi ISPO, mulai proses akreditasi, penilaian dan penerbitan, dan atau penanganan keluhan.

“Tidak jelas peran pemantau independen dalam perpres bisa menyebabkan mereka tak memiliki kekuatan hukum dalam pemantauan dalam pelaksanaan sertifikasi ISPO,” katanya.

Dia juga mempertanyakan, independensi pemantau karena berada di bawah koordinasi Kementerian Pertanian. “Hingga ISPO jadi sistem yang robust itu masih jauh dari harapan.”

Usulan Koalisi Masyarakat Sipil untuk prinsip HAM tak terakomodir dalam perpres ini. Padahal, katanya, saat konsultasi publik di empat regional 2017, organisasi masyarakat sipil memberikan masukan agar ketelusuran dan HAM masuk jadi prinsip dalam perpres itu.

Sawit Watch menyoroti soal nasib buruh dalam poin pertimbangan perpres ini. Dalam perpres menyebutkan, perkebunan sawit Indonesia mampu menyerap tenaga kerja cukup besar dan mampu menyumbang devisa bagi negara. Secara substansi, katanya, pembahasan tenaga kerja masih minim.

Pada Pasal 4 ayat 2(d) menyatakan, sertifikasi ISPO menerapkan prinsip yang meliputi tanggung jawab ketenagakerjaan akan diatur dalam peraturan menteri. Sawit Watch juga menyayangkan, tak ada Kementerian Tenaga Kerja sebagai dewan pengarah.

Ahmad Surambo, Deputi Direktur Sawit Watch mengatakan, kalaupun poin tenaga kerja akan diatur melalui peraturan menteri, jika dalam perpres tidak ada Kemenaker, tak ada jaminan akan terlibat.

”ISPO ini hanya concern di wilayah-wilayah urusan hak atas tanah dan lingkungan, tetapi tidak pada petani. Di dewan pengarah tidak ada, siapa yang akan menggawangi? Padahal ini kan melibatkan jutaan orang. Ini aneh.”

“Siapa yang akan menjadin kesejahteraan bagi buruh?”

Menurut Rambo, masih ada kesenjangan antara tugas pokok dan fungsi menangani buruh sawit di Indonesia, baik pada Dinas Perkebunan maupun Dinas Kependudukan.

Padahal, katanya, masih banyak konflik di perkebunan sawit terjadi terus-menerus bahkan laten. Data Sawit Watch 2019, ada 822 konflik lahan di perkebunan sawit.

“Sertifikasi ISPO menurut kami bukanlah inovasi perbaikan tata kelola perkebunan sawit,” katanya. Data Sawit Watch 2019, luasan izin kebun sawit mencapai 22,2 juta hektar di Indonesia. Basis utama dari sistem sertifikasi ISPO adalah peraturan perundang-undangan dan kewajiban perusahaan.

Kalau implementasi kebijakan dan penegakan hukum ini berjalan baik, ISPO jadi kurang relevan. Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mendesak, pemerintah perlu menetapkan target capaian sertifikasi ISPO dengan memberikan batasan waktu bagi perusahaan sawit memperoleh sertifikasi ISPO.

 

Prinsip HAM dan ketelusuran

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, soal penghormatan terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia dan ketelusuran sawit usulan masyarakat sipil tak masuk dalam ISPO baru ini. Sebagian besar, katanya, masih sama dengan sebelumnya.

Jadi, katanya, masih terlalu dini untuk menilai kekuatan atau kelemahan ISPO baru ini tanpa melihat penjabaran prinsip ke dalam kriteria, indikator, dan alat verifikasi.

Teguh ragu, sertifikasi ISPO baru ini mampu atau tidak mengatasi deforestasi, perusakan gambut, pelanggaran hak-hak masyarakat adat/lokal dan hak-hak pekerja.

“Rentang waktu sangat singkat (kurang 30 hari) dan di tengah keterbatasan mobilitas akibat pandemi Corona, prospek pelibatan masyarakat sipil yang inklusif dalam perumusan kriteria dan indikator ISPO tampak suram,” katanya.

Dia berharap, pemerintah mampu mengambil langkah-langkah khusus dengan segera menerbitkan rancangan peraturan menteri tentang prinsip, kriteria, dan indikator ISPO dan memberikan waktu cukup dalam mengumpulkan masukan publik. Juga secara aktif mencari masukan masyarakat sipil melalui berbagai forum komunikasi organisasi masyarakat sipil, pemerintah yang ada serta membuat prinsip, kriteria, dan indikator ISPO terbuka untuk perbaikan lebih lanjut ke depan.

“Prinsip dan kriteria ISPO baru harus mampu memperbaiki kelemahan kalau ISPO memang untuk instrumen keberlanjutan dan bukan sekadar legalitas.”

Studi Forest Watch Indonesia mengenai 6 tahun implementasi ISPO (2017), prinsip dan kriteria ISPO belum mampu menghentikan deforestasi, perusakan lahan gambut, kebakaran hutan dan lahan, serta menyelesaikan konflik lahan dalam izin perkebunan sawit. Jadi, belum mampu dikatakan meningkatkan keberlanjutan sawit Indonesia secara umum.

 

Perpres ISPO Maret 2020

 

Keterangan foto utama:  Bagaimana  ISPO mengatasi masalah sawit-sawit yang terbangun di gambut dalam yang rentan kebakaran seperti yang terjadi di Jambi ini. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version