Mongabay.co.id

Cara Bijak Masyarakat Adat Wehea Hadapi Virus Corona

 

 

Hutan merupakan sumber utama kehidupan Komunitas Adat Dayak Wehea di Kalimantan Timur. Mulai kebutuhan pangan hingga obat-obatan semua terpenuhi dari hutan. Ketika masyarakat luas mulai resah akan kondisi pangan saat virus corona [COVID-19] menyerang, mereka justru sudah siap menghadapi.

Komunitas Wehea berada di pedalaman Kabupaten Kutai Timur [Kutim], tepatnya di Kecamatan Muara Wahau. Mereka tersebar di enam desa yaitu Nehas Liah Bing, Jakluai, Long Wehea, Dea Bek, Diaklai, dan Bea Nehas. Rata-rata, masyarakatnya merupakan petani atau peladang.

Ming Bong, warga adat Wehea yang tinggal di Desa Nehas Liah Bing, menuturkan, hutan adalah tempat mereka mengumpulkan bahan makanan sekaligus penunjang kebutuhan ekonomi.

“Pandemi memang berpengaruh pada stok bahan makanan, begitu juga di Kutai Timur. Tapi, kami tidak mengeluhkan kondisi ini. Kami masih bertahan dengan hutan dan ladang. Selama ada hutan, kami masih bertahan,” sebutnya.

Baca: Jalan Panjang Hutan Lindung Wehea, Dihantui Pembalakan dan Dikepung Sawit [Bagian 1]

 

Masyarakat Wehea yang kehidupannya begitu dekat dengan alam dan hutan. Bagi mereka hutan adalah sumber kehidupan. Foto: Ming Bong

 

Hasil hutan yang paling menopang kehidupan komunitas Wehea adalah bahan makanan dan obat-obatan. Banyak tanaman yang dapat dimanfaatkan seperti daun pepaya, daun singkong dan umbi-umbian.

“Untuk makanan sehari-hari, warga memiliki beras dari padi gunung yang dipanen setiap tahun. Untuk pengobatan, warga memaksimalkan tanaman herbal dari hutan. Sementara untuk perputaran uang, mereka menjual sebagian hasil ladang dan hasil hutan bukan kayu ke masyarakat luar,” jelasnya.

Berbagai tanaman herbal ada di hutan. Untuk menjaga imunitas tubuh, warga memiliki daun sirih, serai, Jahe, kunyit, kencur, bahkan temulawak di ladang mereka. Ada pula akar-akar tumbuhan dan bawang dayak yang dipercaya dapat mengobati penyakit kanker.

“Sebagai peladang, kami memiliki banyak bahan makanan. Untuk kebutuhan ikan, kami mencari di sungai,” jelas Ming.

Baca: Lom Plai, Kearifan Masyarakat Dayak Wehea Melesarikan Budaya dan Lingkungan [Bagian 2]

 

Hasil panen masyarakat Wehea dari kebun mereka sendiri yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan sebagian dijual. Foto: Ming Bong

 

Penutupan kampung dan ritual adat pengusir wabah

Sejak corona mewabah di Provinsi Kalimantan Timur, Komunitas Adat Wehea membatasi aktivitas mereka yang berkaitan dengan orang luar. Jalan masuk menuju desa diportal. Jika tidak ada kepentingan mendesak, warga tidak diperbolehkan keluar desa.

Pesta adat dan budaya Lom Plai, 27 Maret hingga awal April tahun 2020, tidak dibuka untuk umum. Meski dilakukan tertutup, mereka tetap bersyukur untuk hasil panen melimpah.

“Hanya warga dan ketua-ketua adat yang hadir. Orang luar tidak diperkanankan datang,” sebut Ming.

Baca: Yuliana Wetuq, Perempuan Tangguh Penjaga Hutan Lindung Wehea [Bagian 3]

 

Suasana sepi saat perayaan Pesta adat dan budaya Lom Plai, akhir Maret 2020 lalu. Foto: Ming Bong

 

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] Kaltim, Margareta Seting Beraan, mengatakan, sejak corona mewabah di Kaltim semua warga di desa-desa adat menjaga jarak dengan orang luar. Mereka juga menggelar ritual tolak bala.

“Upacara penangkal roh jahat dilakukan. Tujuannya, mencegah berbagai penyakit masuk kampung termasuk COVID-19,” sebutnya.

Menurut Seting, para tetua adat di masing-masing wilayah, sudah memutuskan menutup kampungnya dan membatasi aktivitas. Kebijakan ini sesuai arahan Sekjen AMAN pusat.

“Masyarakat adat di seluruh Indonesia berjuang memerangi COVID-19 dengan cara mereka sendiri. Masyarakat dayak di pedalaman Kutai Barat melakukan hal yang sama. Tidak hanya ritual adat dan penutupan kampung, mereka bahkan membuat masker dan cairan desinfektan dari bahan-bahan yang ada di hutan” jelasnya.

Pada komunitas adat Wehea sendiri, lanjut dia, para perempuan bergotong royong meracik cairan pencegah bakteri dan membuat masker. Adapun desinfektan alami yang mereka buat berbahan dasar daun sirih dan jeruk nipis.

Seting mengatakan, semua olahan itu merupakan ilmu dari para leluhur turun-temurun. “Sejauh ini AMAN Kaltim telah membentuk gugus tugas pengamanan COVID-19. Ritual adat yang digelar tetap seperti arahan pemerintah yakni menjaga jarak. Kami berharap, pandemi segera berlalu,” jelasnya.

Baca juga: Lutung Beruban di Hutan Wehea, Perlu Riset Mendalam untuk Mengetahuinya

 

Komunitas Adat Dayak Wehea di Kalimantan Timur yang hidup dengan kearifan mereka. Foto: Ming Bong

 

Hutan sumber keragaman hayati

Pemerhati Sosial Lingkungan Kalimantan Timur dan Pegiat Yayasan Konservasi Alam Nusantara [YKAN], Niel Makinuddin, mengatakan kawasan hutan sebetulnya merupakan jaring pengaman yang handal bagi masyarakat asli Kalimantan. Jarang bahkan tidak ada kejadian masyarakat yang hidupnya dekat hutan dan alam kelaparan.

Namun, jika hutan mengalami perubahan, seperti menjadi kebun dan pertambangan skala besar, masyarakat yang hidup dekat hutan akan mengalami krisis pangan dan air bersih.

“Di hutan alami ini tersedia aneka bahan pangan, binatang buruan, ikan juga buah. Bagi mereka yang menjadikan hutan sebagai sumber hidup, mereka akan survive dan nyaman saja,” sebutnya.

Niel tidak bisa memperkirakan, apakah hasil hutan alami cukup memenuhi kebutuhan masyarakat Wehea mengingat tidak tahu sampai kapan wabah corona berakhir.

“Bila dari sekarang program ketahanan pangan non-beras seperti singkong, ubi, dan jagung digalakkan, ini bisa menjadi penyangga untuk waktu lebih lama. Ketakutan krisis pangan tidak berpengaruh pada sebagian besar masyarakat yang berladang,” terangnya.

 

 

Masyarakat Wehea juga biasa berburu babi di hutan, bukan di Hutan Lindung. Nantinya, hasil buruan dibagi-bagikan ke tetangga sekitar. “Budaya berbagi adalah aset sosial yang harus dilestarikan sebagai modal hebat bangsa Indonesia untuk kuat dan melewati masa sulit,” katanya.

Terkait imbauan menjaga jarak, Niel mengatakan, sejak ada pandemik masyarakat Wehea sudah mengadakan langkah-langkah pencegahan sesuai keyakinan maupun arahan [protokol] pemerintah.

Mereka telah melakukan upacara adat tolak balak. Ada sejumlah ritual yang tidak boleh didokumentasikan, karena ada nilai sakral. Mereka juga melakukan local lockdown dengan membatasi lalu lintas orang masuk desa.

“Apabila ada keluarga datang dari daerah pandemi, mereka langsung isolasi mandiri. Ini modal sosial dan peran aktif masyarakat yang membantu agenda besar pemerintah menangani corona,” paparnya.

 

 

Exit mobile version