Mongabay.co.id

Nasib Nelayan Kecil dalam Ancaman RUU Omnibus Law

 

 

Munir Maun bercerita penuh semangat. Suaranya tegas terdengar. Meski di tengah pandemi virus corona, lelaki 53 tahun ini tetap melaut, seperti biasa. Dengan perahunya, Munir menuju wilayah tangkapan favoritnya, atau berputar mencari ikan di wilayah tangkap tradisionalnya. Dalam sehari, ia menghabiskan 2 hingga 3 liter bahan bakar minyak. Saat ini pun hasil tangkapannya juga cukup banyak. Namun sayang, rantai pasok penjualan yang terputus menyebabkan harga ikan turun drastis.

Munir tinggal di kampung pesisir bernama Desa Bulutui, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Bulutui adalah sebuah perkampungan nelayan Suku Bajo yang menggantungkan hidup dari hasil tangkapan laut. Sebagian dari mereka menangkap gurita sebagai sumber pendapatan. Sebelum corona [COVID-19] mewabah, gurita memiliki nilai ekspor tinggi. Selain itu, mereka mencari ikan karang atau ikan pada umumnya untuk dijual.

Dahulu, perairan laut Bulutui dikenal sebagai tempatnya para pencari ikan dengan cara merusak, menggunakan bom atau trawl. Akibatnya, mereka mulai merasakan perubahan hasil tangkapanan. Misalkan, ukuran gurita yang tak sebesar dan sebanyak dulu. Kenyataan itu membuat nelayan sadar. Upaya pengelolaan pun dilakukan.

“Kami nelayan di sini sepakat membuat aturan buka tutup kawasan penangkapan gurita,” kata Munir kepada Mongabay Indonesia, awal Mei 2020.

Wilayah tangkap gurita bagi nelayan Bulutui disebut Napo Ila, sebuah kawasan yang memiliki luas sekitar 22,9 hektar. Napo Ila sering disebut rumah boboca. Dalam bahasa setempat, boboca berarti gurita. Areal ini ditutup dalam jangka waktu tiga bulan, untuk memberi kesempatan gurita tumbuh dan berkembang. Model pengelolaan laut ini sukses diterapkan di negara Afrika seperti di Taman Nasional Quirimbas di Mozambik.

Baca: Jerit Hati Nelayan Gurita di Banggai, Tidak Punya Penghasilan Akibat Pandemi Corona

 

Bagi nelayan kecil, hadirnya RUU Omnibus Law merupakan ancaman bagi kehidupan mereka. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Nelayan hanya boleh mencari gurita selama 7 hari pada saat ditutup. Ketika dibuka, nelayan dapat memanen gurita lebih besar dengan harga jual lebih tinggi. Meski Napo Ila ditutup, nelayan tetap bisa menangkap gurita di kawasan lain yang masih bagian zona tangkap tradisional nelayan Bulutui.

Pengelolaan laut seperti ini, bertujuan agar pendapatan masyarakat meningkat dan stabil. Sebuah upaya menjaga perikanan berkelanjutan yang berdampak positif pada masyarakat pesisir serta pemulihan habitat biota laut. Saat buka tutup kawasan tersebut, Munir adalah satu dari sekian banyak nelayan yang berpartisipasi aktif menjaga.

“Buka tutup kawasan adalah inisiatif nelayan sendiri. Kesepakatan dibuat dengan melibatkan BPD, pemerintah desa, tokoh agama, dan tokoh masyarakat yang dibantu Yapeka,” kata Munir.

Yapeka yang disebut Munir adalah Yayasan Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Konservasi Alam, sebuah organisasi non-pemerintah yang mendampingi masyarakat pesisir di Desa Bulutui. Yapeka menginisiasi buka tutup kawasan pengelolaan gurita sejak 2017. Penerapan ini ditandai dengan dibuatnya Peraturan Kepala Desa [Perkades] Nomor 1 Tahun 2019.

Ada beberapa sanksi yang diatur, di antaranya: peringatan lisan bagi nelayan yang pertama kali tertangkap di zona gurita; pemanggilan menghadap kepala desa dan menandatangani surat pernyataan untuk tidak kembali menangkap gurita; serta diproses ke kepolisian jika sudah diperingatkan dua kali masih juga menangkap gurita di zona tersebut.

Baca: Menimbang Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan

 

Wilayah Napo Ila seluas 29,9 hektar ini dikelola masyarakat dengan cara membuat aturan buka tutup penangkapannya di Desa Bulutui, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Foto: Efra Wantah/Yapeka

 

Ancaman Omnibus Law

Provinsi Sulawesi Utara telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil [RZWP3K]. Perda ini adalah mandat dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 yang merupakan revisi Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Ami Raini Putriraya, dari Yapeka, mengatakan dalam perda tersebut Desa Bulutui masuk kawasan konservasi perairan laut dan zona pelabuhan. Untuk kawasan Napo Ila yang dikelola nelayan Bulutui, sudah didorong masuk pembahasan Rencana Pengelolaan Zonasi [RPZ].

RPZ merupakan panduan pengelolaan dan penataan zonasi kawasan konservasi, baik itu zona inti, zona pemanfaatan, zona perikanan berkelanjutan, dan zona lainnya secara tahunan, jangka menengah, atau jangka panjang.

“RPZ masih proses. Peluang pengelolaan gurita yang diinisiasi langsung masyarakat masih terbuka dimasukkan dalam RPZ,” kata Ami.

Namun, upaya pengelolaan laut yang dilakukan nelayan kecil seperti Munir Maun itu bisa berujung sia-sia, jika RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang diserahkan pemerintah kepada DPR RI pada 12 Februari 2020 itu disahkan.

Dalam Omnibus Law sektor perikanan dan kelautan, definisi nelayan kecil seperti Munir Maun tidak memiliki indikator, sehingga berpotensi terjadi konflik dengan nelayan skala besar. Nelayan besar bisa mendapatkan keistimewaan yang ada pada nelayan kecil.

Baca: Omnibus Law dalam Teropong Persoalan Ekologis

 

Wilayah tangkap gurita ini dibuat untuk meningkatkan pendapatan masyarakat serta memulihkan habitat biota laut. Foto: Efra Wantah/Yapeka

 

Rony Megawanto dari Yayasan KEHATI menjelaskan, dalam RUU Omnibus Law, kewenangan provinsi mengurus laut semuanya akan diambil alih oleh pusat. Begitu pun dengan pengelolaan laut yang dilakukan masyarakat pesisir dan nelayan kecil seperti di Desa Bulutui, tidak diatur detil dalam RUU Omnibus Law.

“Kemungkinan, akan diatur kemudian dalam PP [Peraturan Pemerintah]. Kita juga belum tahu bagaimana mekanismenya bagi provinsi yang saat ini sudah jadi Perda RZWP3K-nya,” ujar Rony melalui pesan singkatnya kepada Mongabay Indonesia.

Direktur Program di Yayasan KEHATI itu menjelaskan, tujuan utama Omnibus Law adalah penyederhanaan perizinan berusaha. Selama ini di perikanan tangkap ada tiga izin; Surat Izin Usaha Perikanan [SIUP], Surat Izin Penangkapan Ikan [SIPI], dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan [SIKPI]. Ketiganya dihapus dan diganti dengan istilah baru: perizinan berusaha.

Dalam Omnibus Law terjadi resentralisasi pengelolaan perikanan, di mana semuanya itu baik izin lokasi dan izin pengelolaan, diganti perizinan berusaha yang dikeluarkan pemerintah pusat.

“Apa sanggup KKP melakukan pengawasan di seluruh perairan Indonesia? Konsep yang ditawarkan dulu mengenai desentralisasi sudah bagus, kabupaten dan provinsi punya kewenangan, sehingga lebih mudah pengembangannya,” kata Rony dalam diskusi webinar yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Yayasan KEHATI, Senin, 27 April 2020.

Terkait perizinan berusaha, menurutnya, tujuan utama perizinan adalah pengendalian perikanan, bukan sumber pendapatan negara. Jika dibalik, tingkat penangkapan berlebih atau over fishing akan semakin parah.

Rony memberikan rekomendasi investasi yang dibutuhkan untuk perikanan di Indonesia. Yaitu, investasi perbaikan stok ikan yang telah mengalami tangkapan berlebih, investasi perbaikan ekosistem pesisir, termasuk melalui peningkatan efektifitas pengelolaan kawasan perlindungan laut atau Marine Protected Areas [MPAs], dan investasi pemberantasan IUUF [Illegal, Unreported, dan Unregulated Fishing], termasuk memutus rantai pasok material penangkapan ikan merusak.

Berikutnya, investasi penguatan kapasitas pemerintah daerah, investasi penggunaan alat penangkapan ikan ramah lingkungan, investasi transformasi nelayan secara bertahap; dari nelayan kecil yang menangkap ikan di wilayah pesisir ke nelayan menengah-besar yang menangkap ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif [ZEE] dan laut lepas, tujuannya mengurangi tekanan di tiga ekosistem: terumbu karang, padang lamun, dan mangrove.

“Serta investasi pada sains dan peningkatan nilai tambah sumber daya hayati laut,” tegas Rony.

Baca juga: Was-was ‘Sapu Jagat’ Omnibus Law

 

Penutupan wilayah tangkap dilakukan dengan cara membuat tanda di kawasan Napo Ila. Foto: Efra Wantah/Yapeka

 

Rayhan Dudayev dari Blue Venture Indonesia yang bermitra dengan Yayasan Yapeka di Desa Bulutui menambahkan, istilah perizinan berusaha dalam RUU Omnibus Law ini bisa menghambat pengelolaan kawasan pesisir dan laut masyarakat lokal. Pengelolaan yang dilakukan masyarakat lokal tidak semuanya bertujuan mencari keuntungan. Masyarakat yang mengelola perairan di wilayahnya justru disamakan seperti badan usaha maupun koperasi.

Rayhan membuat catatan perubahan pasal-pasal terkait pengelolaan kelautan di tingkat lokal. Di antaranya, di halaman 60 RUU Omnibus Law, mengenai fasilitasi izin berusaha bagi masyarakat lokal dan tradisional. Jika masyarakat pesisir, terutama non-adat, belum difasilitasi perizinannya, akan berimplikasi pada Pasal 19 angka 28 tentang perubahan Pasal 75 yang mengatur mengenai sanksi. Yaitu, bagi setiap orang yang memanfaatkan ruang perairan dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil tanpa pemenuhan perizinan berusaha, dikenai sanksi administratif.

“Kita tunggu seperti apa persyaratan perizinan yang akan tertera di PP,” ujar Rayhan.

Hal lain yang menjadi sorotannya adalah Pasal 19 angka 13 pasal 17A, halaman 53, tentang kebijakan nasional. Menurut dia, kebijakan nasional yang bersifat strategis belum terdapat dalam alokasi ruang dan atau pola ruang dalam rencana tata ruang dan atau rencana zonasi, maka perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut diberikan pemerintah pusat. Ini berdasarkan rencana tata ruang wilayah nasional atau rencana tata ruang laut.

“Kondisi ini meminggirkan kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur ruang. Sekarang, pengelolaan pesisir dan laut di tingkat lokal harus mengacu ke PP tata ruang laut nasional atau kebijakan nasional lainnya,” paparnya.

Di tempat terpisah, TB Haeru Rahayau, dari Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan [PSDKP] KKP, dalam diskusi webinar yang digelar koalisi LSM untuk perikanan dan kelautan berkelanjutan [Koral], Rabu, 29 April 2020, menanggapi pro dan kontra RUU Omnibus Law di sektor perikanan dan kelautan.

“Semangat Omnibus Law adalah adanya simplifikasi, pemangkasan, dan kemudahan. Artinya, saya melihat semangatnya positif. Kalau terjadi pro dan kontra, itu bagian kehidupan. Tidak serta-merta disahkan pemerintah, diberikan ke Senayan [DPR] dulu.”

Menurut dia, Omnibus Law masih rancangan undang-undang. Setelah jadi nanti tidak bisa langsung diimplementasikan. Ada turunannya melalui PP dan kemungkinan bisa memasukkan kekhawatiran banyak orang di aspek itu. Kalaupun PP belum dianggap konkrit, ada juga Permen [Peraturan Menteri] dan seterusnya.

“Artinya, tidak perlu khawatir. Mari kita kawal, kita inventarisir apa saja kemungkinan ke depan yang bisa hilang. Ini yang coba kita antispiasi,” paparnya.

***

Bagi Munir Maun, sang nelayan kecil, tentunya tak paham arti Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja. Baginya, laut adalah sumber kehidupan. Tidak perlu harus minta izin.

“Yang jelas, kalau melaut harus melapor dulu, itu aneh. Kami tidak setuju. Ini beban buat kami,” tuturnya dengan suara yang tak lagi bersemangat.

 

 

Exit mobile version