Mongabay.co.id

Kasus Pelarungan Mayat: Awak Kapal Perikanan Indonesia di Pusaran Praktik Perbudakan dan Kerja Paksa

 

Duka cita mendalam mengalir dari berbagai kalangan atas meninggalnya empat orang berstatus warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja sebagai awak kapal perikanan (AKP) pada kapal perikanan milik Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Selain itu, kecaman juga silih berganti berdatangan dan ditujukan kepada kapal ikan yang sedang beroperasi di perairan laut Korea Selatan itu.

Pihak yang mengungkapkan duka cita dan sekaligus kecaman, adalah mereka semua yang aktif menjadi pegiat lingkungan, hak asasi manusia (HAM), pejuang buruh migran, dan pemerhati isu kelautan dan perikanan. Mereka merasa prihatin sekaligus marah atas kejadian yang menimpa WNI itu.

Greenpeace Indonesia bersama Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI) mengumpulkan data dan keterangan berkaitan dengan musibah yang diperkirakan terjadi pada September 2019 hingga April 2020 itu.

Menurut mereka, empat orang AKP asal Indonesia tersebut diketahui meninggal setelah sebelumnya sakit kritis saat bekerja pada kapal perikanan milik grup perusahaan asal RRT, Dalian Ocean Fishing Co,. Ltd. Tiga AKP di antaranya diperkirakan meninggal pada September 2019 hingga Februari 2020 dan kemudian dilarung ke laut oleh AKP kapal.

Sementara, satu orang lain diketahui meninggal dunia setelah tiba dan saat sedang menjalani masa karantina di salah satu hotel di Busan, Korea Selatan pada April 2020. Tiga AKP yang meninggal di atas kapal adalah berinisial MA, S, dan A, sementara yang meninggal di Busan adalah berinisial EP.

Baik yang meninggal di kapal dan di hotel, keempatnya diketahui bekerja di atas kapal dengan mendapat perlakuan dan kondisi kerja yang buruk. Mereka bekerja bersama 14 orang AKP Indonesia lain yang hingga saat ini masih berada di Busan dan dijadwalkan akan dipulangkan ke Indonesia pada Jumat (8/5/2020) ini.

baca : Eksploitasi Tenaga Kerja Perikanan yang Tak Pernah Usai

 

Prosesi pelarungan di laut ABK asal Indonesia yang meninggal di salah satu kapal perikanan milik Dalian Ocean Fishing. Foto : screenshoot Youtube MBC News

 

Seluruh AKP tersebut diketahui bekerja untuk satu grup perusahaan, namun sempat dipindahkan secara berkala pada empat kapal perikanan berbeda. Kapal-kapal tersebut adalah Long Xing 629, Long Xing 802, Long Xing 605, dan Tian Yu 08.

Ketua Umum SPPI Ilyas Pangestu mengungkapkan kegeramannya saat memberikan keterangan resmi secara bersama melalui konferensi virtual yang dilaksanakan pada Rabu (7/5/2020) sore. Menurut dia, meninggalnya empat AKP mengindikasikan secara kuat bahwa telah terjadi praktik kerja sangat buruk dan eksploitasi kepada seluruh AKP asal Indonesia.

“Kami menduga perusahaan pemilik kapal sangat lalai dalam memastikan kondisi kerja yang aman, sehat dan manusiawi di setiap kapalnya,” ungkapnya.

 

Regulasi Amburadul

Ilyas mengungkapkan kekesalannya, karena musibah tersebut bukanlah kejadian pertama yang dialami para AKP asal Indonesia dan justru terus berulang dari waktu ke waktu. Untuk itu, dia meminta keseriusan dan ketegasan dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah Negara bendera kapal untuk bisa menyelesaikan kasus yang sekarang dan akan datang.

Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno pada kesempatan yang sama juga mengungkapkan kekesalannya karena kejadian yang menimpa para ABK disebabkan oleh kebijakan Indonesia dan pengawasan tata kelola perekrutan AKP perikanan yang masih amburadul sampai saat ini.

Menurut dia, kondisi tersebut membuat posisi para AKP menjadi sangat rentan untuk dieksploitasi di atas kapal dan bahkan menjadi korban dari tindak pidana perdagangan orang. Kerentanan tersebut muncul, terutama karena sampai sekarang belum ada peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

“Belum adanya aturan pelaksana berupa peraturan pemerintah sampai sekarang terkait dengan tata laksana perekrutan dan penempatan ABK (anak buah kapal),” jelas dia.

baca juga : Perlindungan Awak Kapal Perikanan Dimulai dari Daerah Asal

 

Prosesi pelarungan di laut ABK asal Indonesia yang meninggal di salah satu kapal perikanan milik Dalian Ocean Fishing. Foto : screenshoot Youtube MBC News

 

Selain memicu kerentanan para AKP saat berada di atas kapal, ketiadaan peraturan turunan dari UU No.18/2017 juga melemahkan posisi dan diplomasi Indonesia di tingkat internasional. Terlebih, jika sejumlah instrumen internasional kunci seperti halnya Konvensi ILO 188 masih belum diratifikasi oleh Indonesia.

Di sisi lain, selain pembenahan regulasi di dalam negeri, Pemerintah Indonesia juga diminta untuk bisa memastikan hak-hak para AKP Indonesia saat bekerja di atas kapal dan juga keluarga yang menjadi korban eksploitasi. Itu artinya, Negara tidak hanya mengurus kepulangan para AKP saja, melainkan juga mengurus hak AKP dan keluarga seperti gaji dan santunan asuransi sampai ditunaikan.

“Pemerintah tidak hanya berhenti sampai proses pemulangan saja,” ucap Ketua Pelaut dalam Negeri Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI) Nur Rahman.

Sementara, menurut Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara Arifsyah Nasution, diplomasi dan investigasi proaktif secara internasional sudah sepatutnya dilakukan Pemerintah Indonesia terhadap kasus yang menimpa 18 AKP Indonesia. Sikap tegas tersebut untuk memastikan agar tidak ada lagi kasus serupa di kemudian hari yang menimpa AKP Indonesia.

Arifsyah menyebutkan, Pemerintah Indonesia juga harus mendesak negara bendera kapal agar bisa bertanggung jawab untuk mengungkap rangkaian dugaan praktik perikanan ilegal dan bentuk perbudakan modern yang selama ini dialami para AKP Indonesia di atas kapal perikanan milik mereka, yaitu RRT.

 

Pelanggaran HAM

Selain dari kelompok bersama di atas, kecaman juga datang dari Migrant Care Indonesia. Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Indonesia Wahyu Susilo, apa yang dialami oleh para AKP di kapal milik RRT menjadi gambaran bahwa telah terjadi pelanggaran HAM, di mana kebebasan sudah direnggut, bekerja dalam kondisi tidak layak, kesulitan hak atas informasi, dan hak atas hidup yang hilang.

“Kondisi ini makin memperlihatkan kondisi pekerja migran Indonesia, terutama yang bekerja di sektor kelautan, berwajah muram,” ungkap dia dalam keterangan resmi yang dikirimkan kepada Mongabay.

Wahyu menambahkan, kerentanan pekerja migran Indonesia di sektor kelautan dan perikanan memang bukan menjadi hal yang baru. Dalam catatan Global Slavery Index yang diterbitkan pada 2014-2016 oleh Walk Free, pekerja migran pada sektor tersebut ditempatkan sebagai bagian dari bentuk praktik perbudakan modern yang terburuk.

Dalam pemeringkatan ini, terhitung ada ratusan ribu AKP Indonesia yang bekerja pada kapal perikanan di luar negeri dan berada dalam praktik perbudakan modern. Jika sampai sekarang praktik tersebut masih terus ada, maka itu artinya belum ada perubahan dan juga perbaikan untuk pekerja migran di atas kapal perikanan.

“Situasi memang belum berubah dan ini tentu sangat menyedihkan,” ucap dia.

perlu dibaca : Belajar kepada Bitung untuk Melindungi Tenaga Kerja Perikanan

 

Long Xing 802, salah satu kapal perikanan yang dimilliki oleh perusahaan dari Tiongkok, Dalian Ocean Fishing Co. Ltd. Empat orang ABK Indonesia meninggal setelah bekerja di salah satu kapal Dalian Ocean Fishing. Foto : iattc.org

 

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyebutkan bahwa terbongkarnya kasus praktik kerja paksa di atas kapal perikanan asing harus menjadi momentum untuk melakukan evaluasi terhadap aturan dan mekanisme rekrutmen, serta pengiriman AKP ke luar negeri.

Selama ini, proses rekrutmen dan pengiriman masih dilakukan dengan melibatkan banyak pihak secara terpisah, sehingga tidak memberikan perlindungan yang maksimal dan membuat pengawasan menjadi sulit untuk dilakukan.

“Walaupun ada banyak pintu untuk bekerja di kapal ikan luar negeri, mayoritas AKP berangkat lewat jalur ilegal,” ujar dia.

Menurut Abdi, fakta di atas menjadi permasalahan besar karena Pemerintah Indonesia akhirnya tidak memiliki data pasti tentang jumlah AKP yang bekerja pada kapal perikanan di negara tujuan. Akhirnya, keberadaan mereka yang ilegal akan terungkap jika ada kasus seperti kejadia di perairan Korea Selatan.

Abdi Suhufan kemudian menjelaskan, mekanisme pengiriman AKP ke luar negeri saat ini dilakukan melalui lima jalur dan aturan, yiatu Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Pemerintah Daerah, dan jalur mandiri melalui kerja sama bisnis.

“KBRI akhirnya sulit mendekteksi keberadaan mereka untuk melakukan monitoring dan pengawasan, karena aturan tiap-tiap instansi pengirim berbeda,” pungkas dia.

 

KKP Bergerak

Menanggapi pelarungan jenazah ABK Indonesia itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan berbagai pihak seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja, termasuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) untuk memastikan kebenaran video yang sempat viral di media sosial kemarin.

“Kita telah berkoordinasi. Termasuk mengenai dugaan adanya eksploitasi terhadap ABK kita (Indonesia),” kata Edhy di Jakarta, Rabu (6/5/2020).

baca juga : Ini Tahapan Penting untuk Mendeteksi Praktik Perbudakan di Kapal Perikanan

 

Ilustrasi. Nelayan menurunkan hasil tangkapan dari kapal troll di pelabuhan Tegal, Jawa Tengah. Nelayan adalah salah satu mata pencaharian utama bagi orang yang tinggal di daerah Pesisir Utara Jawa. Foto : Greenpeace

 

Mengenai pelarungan jenazah ABK di laut atau burial at sea, Edhy menjelaskan, hal tersebut dimungkinkan dengan berbagai persyaratan mengacu pada aturan kelautan Organisasi Buruh Internasional (ILO).

Dalam peraturan ILO Seafarer’s Service Regulations, pelarungan jenazah di laut diatur praktiknya dalam Pasal 30. Disebutkan, jika ada pelaut yang meninggal saat berlayar, maka kapten kapal harus segera melaporkannya ke pemilik kapal dan keluarga korban.

KKP juga concern pada dugaan eksploitasi terhadap ABK Indonesia seperti dilaporkan media Korea, MBC News, kemarin. Media itu memberitakan ada beberapa ABK yang mengaku bahwa tempat kerja mereka sangat tidak manusiawi. Mereka bekerja sehari selama 18 jam, bahkan salah satu ABK mengaku pernah berdiri selama 30 jam. Para ABK Indonesia juga dilaporkan diminta minum air laut yang difilterisasi.

Edhy menegaskan, pihaknya fokus pada dugaan ekspoitasi itu. Jika benar terdapat perlakuan tidak manusiawi terhadap ABK Indonesia, pihaknya akan menyampaikan laporan ke otoritas pengelolaan perikanan di laut lepas.

“KKP akan segera mengirimkan notifikasi ke RFMO (Regional Fisheries Management Organization) untuk kemungkinan perusahaan atau kapal mereka diberi sanksi,” sambungnya.

Perusahaan pengirim ABK Indonesia yang diduga telah melakukan kegiatan yang sama beberapa kali itu terdaftar sebagai authorized vessel di 2 RFMO yaitu Western and Central Pasific Fisheries Commision (WCPFC) dan Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC). Indonesia juga sudah mengantongi keanggotaan di WCPFC dan cooperating non-member di IATTC.

Adapun mengenai ABK yang selamat dan kini berada di Korea Selatan, Edhy memastikan akan menemui mereka dan pemerintah akan meminta pertanggungjawaban perusahaan yang merekrut dan menempatkan mereka. Bentuk pertanggungjawaban tersebut antara lain, menjamin gaji dibayar sesuai kontrak kerja serta pemulangan ke Indonesia.

“Kami juga akan mengkaji dokumen-dokumen para ABK kita. Termasuk kontrak-kontrak yang sudah ditandatangani,” jelasnya.

 

Exit mobile version