Mongabay.co.id

Komunitas Adat Bonokeling saat Pandemi : Saat Prosesi Ritual Dijalankan tanpa Kerumunan (1)

 

Seribuan warga berjalan kaki dari wilayah Adipala, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng) menuju malam Kyai Bonokeling yang berada di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas. Dengan jarak sekitar 25 km, mereka berjalan kaki sambil membawa berbagai macam hasil bumi. Sebagian besar dari mereka tak beralas kaki. Hasil bumi dibawa oleh pemuda laki-laki. Sedangkan para perempuan dan warga yang usia lanjut tetap ikut berjalan, meski tidak memikul hasil bumi. Pakaiannya didominasi warna hitam, merekalah anak putu Bonokeling.

Tidak ada catatan sejarah, sejak kapan prosesi itu berjalan. Tapi, mereka telah melaksanakan puluhan tahun, sebagai bagian dari salah satu prosesi religi terbesar Komunitas Adat Bonokeling, yakni Unggah-unggahan. Biasanya Perlon Unggahan dilaksanakan Jumat terakhir menjelang bulan pasa (kalender Jawa) atau bulan Ramadan. Namun, tahun ini prosesi jalan itu tidak ada, akibat pandemi COVID-19.

Keputusan sudah diputuskan dalam pembahasan sepekan sebelum Unggah-unggahan yang dilangsungkan pada Jumat (17/4) lalu. Salah satu putusan pada pertemuan Perlon Senin Pahing yang berlangsung di Bale Malang di kompleks rumah tempat tinggal Bedogol dan Kunci, adalah Unggah-unggahan tetap dilaksanakan. Tetapi harus berdaptasi dengan pandemi COVID-19.

“Prinsipnya, Perlon Unggahan tetap dilaksanakan. Syaratnya tidak menerima tamu. Jadi, pada saat pelaksanaannya, Unggah-unggahan hanya digelar oleh 12 orang tetua adat. Itu pun tetua yang ada di Desa Pekuncen. Mereka juga tidak pernah ke mana-mana, paling hanya ke kebun dan sawah,” ungkap Sumitro kepada Mongabay, Senin (4/5).

baca : Ternyata Dibalik Ritual Adat Bonokeling, Ada Kearifan terhadap Lingkungan 

 

Sejumlah orang dari komunitas adat Bonokeling melintasi jalan di sekitar areal persawahan di Banyumas, Jateng saat prosesi adat Unggah-unggahan pada Mei 2017. Foto : L Darmawan

 

Sumitro menjelaskan untuk memberitahu kepada para Bedogol dan Kunci memang tidak mudah. Dibutuhkan pendekatan, hingga akhirnya ada titik temu. “Jika selama puluhan tahun, prosesi Unggahan diikuti oleh lebih dari 1.000 warga ‘anak putu’ Bonokeling, tetapi tahun ini prosesi jalan kaki dari Cilacap ke Pekuncen ditiadakan. Untuk prosesi di makam Kyai Bonokeling tetap digelar oleh para tetua adat. Pemotongan kambing yang ada, namun hanya satu saja. Padahal biasanya, bisa sampai lima ekor, karena tamunya banyak,” ujarnya.

Bahkan, ketika ada warga dari desa lain yang datang tidak diperbolehkan. Bukan karena mereka berubah sifat selamanya sebagai komunitas tertutup, tapi hal itu sifatnya hanya sementara. “Kami melakukannya karena didasarkan pada imbauan dari pemerintah, supaya tidak ada kerumunan untuk mengantisipasi penyebaran corona,” kata Sumitro.

Tidak hanya Perlon Unggahan yang mengikuti protokol kesehatan antisipasi COVID-19, namun juga ketika ritual Sadranan. Biasanya, saat Sadranan setiap keluarga datang ke makam sambil membawa berbagai macam makanan. Namun, karena merebaknya corona, maka akhirnya dijadwal, supaya tidak tidak terjadi kerumunan di makam. “Sebelumnya, kami telah sosialisasi kepada komunitas Bonokeling. Jika dalam kondisi normal, saat Sadranan itu cukup ramai dan terjadi kerumunan. Tahun ini tidak terjadi karena pandemi,”ujarnya.

Ia mengatakan sebetulnya, secara batin, “anak putu” Bonokeling percaya tidak akan terkena COVID-19. Hanya saja, secara tata lahir, harus mengikuti apa yang menjadi kebijakan pemerintah. “Tata lahir mengikuti aturan yang ada. Maka dari itu, ketika ada aturan pemerintah yang tidak memperbolehkan kerumunan, maka kami mentaatinya. Bahkan, komunitas Bonokeling juga ikut aktif dalam membentuk gugus COVID-19. Termasuk pemasangan spanduk di sekitar kompleks Bedogol,” ungkapnya.

baca juga : Mitigasi Paceklik Pangan Dimiliki oleh Komunitas Adat Bonokeling, Seperti Apa?

 

Sesepuh Komunitas Adat Bonokeling di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Secara khusus, ada “Japa Srana” yang disiapkan oleh komunitas adat. Japa adalah rapalan dan doa-doa agar dijauhkan dari corona. Para kasepuhan yang terdiri dari Kyai Kunci dan Bedogol melakukan doa khusus di “atas”  (menunjuk tempat makam Kyai Bonokeling). “Sudah empat kali, kami melaksanakan doa di sana. Setiap malam Jumat, sebelum datangnya puasa. Inti doanya adalah agar kami anak putu beserta seluruh warga di Nusantara dijauhkan dari segala marabahaya, khususnya corona.”

Sedangkan untuk “Srana” adalah dengan membuat “tegean” dari daun kelor dan membuat bahan minuman yang berasal dari jahe. “Kami memahami corona itu sebagai “upas” atau sejenis penyakit berbahaya. Orang-orang kuna warga di sini juga pernah memberikan informasi mengenai “upas” meski tidak pernah menyebutkan kapan kejadiannya. Yang kami tahu, saat ini ada “upas” yang tengah mewabah. Untuk itulah, salah satu “Srana” adalah dengan membuat sayur daun kelor dan minuman jahe,” paparnya.

Saat Mongabay berkeliling, memang ada spanduk dan peringatan mengenai penularan COVID-19. Mereka yang umumnya petani tetap pergi ke sawah, ladang atau hutan. Ada yang tengah panen, memulai mengolah sawah serta mencari pakan ternak. Ada juga warga tengah mengeringkan gabah hasil panen masa musim tanam (MT) I. Bahkan, di depan rumah para bedogol juga tersedia galon yang berisi air serta sabun. Mereka juga memiliki masker di rumah masing-masing dan dipakai kalau beraktivitas di luar atau di tempat tetangganya.

baca juga : Kearifan Lingkungan di Desa Rawan Bencana

 

Dua anak berjalan di sekitar pintu masuk makam Bonokeling. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Lalu, bagaimana dengan prosesi religi selanjutnya? Sumitro mengatakan jika corona masih tetap menjadi wabah, maka Komunitas Bonokeling tetap akan mengikuti petunjuk dari pemerintah. Prosesi religi yang dilaksanakan oleh Kaum Adat Bonokeling tetap dilakukan meski ada perubahan yang sangat signifikan. Sumitro mengistilahkan dengan “Genting tan Pedot”. Artinya prosesi religi tetap dilaksanakan, meski dalam kondisi tidak normal (genting), supaya tetap berkelanjutan dan tidak putus (tan pedot).

Ada beberapa acara besar yang biasa digelar, yakni “Likuran” atau selamatan pada malam tanggal 21 bulan pasa. Kemudian, pada saat 1 Syawal – yang berbeda dengan hitungan 1 syawal pada umumnya – tetapi juga digelar kenduri, namun jelas ada pembatasan.

“Pada kondisi normal, mereka yang datang syawalan dengan membawa ‘sepikul sagendongan’. Artinya yang laki-laki memikul, membawa kue dan lauk pauk. Sedangkan segendongan dibawa para perempuan yang berisi nasi. Namun, kemungkinan nanti tidak semua keluarga akan datang. Nanti ada perwakilan. Sehingga tidak ada kerumunan. Kami juga telah bicara dengan Pak Kades. Karena acara itu biasanya dilangsungkan di Balai Desa,” ungkapnya.

menarik dibaca : Cara Bijak Masyarakat Adat Wehea Hadapi Virus Corona

 

Spanduk ditempel di sekitar kompleks perumahan Kunci dan Bedogol Komunitas Adat Bonokeling, Banyumas, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dengan adanya pandemi yang terjadi, maka Komunitas Adat Bonokeling melakukan adaptasi menyesuaikan kondisi. Meski, menurut Sumitro, baru tahun ini ada perubahan yang sangat nyata dirasakan saat pandemi. “Kalau teringat berbagai prosesi sebelum ada pandemi dengan bebas dilaksanakan, rasanya “trenyuh”. Tetapi apa boleh buat, harus dihadapi semuanya,”katanya.

Kepala Desa (Kades) Pekuncen Karso mengatakan sebagai pemerintah desa (pemdes), pihaknya berkoordinasi dengan Komunitas Adat Bonokeling. “Dalam struktur komunitas itu, orang nomor satunya adalah Kyai Kunci. Karena itulah, sejak awal, bersama dengan kasepuhan dan Kunci, membahas soal pembatasan sosial yang telah diinstruksikan oleh pemerintah. Ternyata komunitas Bonokeling juga mengikuti kades sebagai pemerintahaan yang paling dekat dengan komunitas adat. Maka, di lingkungan Komunitas Adat Bonokeling dipasang berbagai spanduk-spanduk peringatan penularan COVID-19,”jelasnya

Ketidakegoisan Komunitas Adat Bonokeling juga ditunjukkan pada rencana ritual Likuran dan Syawalan mendatang. “Pada saat Likuran, kebetulan nanti digelar di rumah kades. Jadi, sejak awal, kami telah meminta supaya Likuran hanya diikuti secara terbatas. Paling nanti kasepuhan ditambah dengan perangkat. Masyarakat lainnya, tetap di rumah saja. Begitu juga pada saat Syawalan mendatang, telah diputuskan untuk tidak dilaksanakan dengan mendatangkan banyak orang,” jelasnya.

Kearifan lokal Bonokeling nyata ditunjukkan di kala pandemi. Mereka tidak memaksakan sesuatu yang ada larangannya. Komunitas itu menunjukkan kedewasaan bagaimana ritual religi tetap menjadi tradisi meski dijalani sesuai protokol pandemi.

 

Exit mobile version