Ternyata Dibalik Ritual Adat Bonokeling, Ada Kearifan terhadap Lingkungan 

Jalan aspal dari arah Adipala, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng) ke Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas itu relatif ramai. Sepeda, sepeda motor dan mobil lalu lalang silih berganti. Tetapi ratusan warga dari sejumlah desa seperti Kabupaten Cilacap tetap berjalan kaki. Mereka adalah Komunitas Adat Bonokeling yang tengah menjalani ritual jalan kaki, sebuah ritual yang merupakan bagian dari tradisi Unggah unggahan.

Lebih dari 1.000 orang berjalan melintasi jalanan datar serta perbukitan menuju ke Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang tepatnya di kompleks makam Kyai Bonokeling. Laki-laki dan perempuan baik tua maupun muda tersebut begitu bersemangat, meski hanya jalan kaki. Mereka juga membawa berbagai macam hasil bumi seperti beras dan sayur-sayuran.

Di beberapa tempat, warga Bonokeling beristirahat di tempat yang telah ditentukan, salah satunya adalah Pasar Kesugihan, Cilacap. Mereka tetap setia untuk berjalan, walaupun sebetulnya bisa saja hasil bumi tersebut diangkut menggunakan kendaraan bermotor.

 

 

“Ini adalah laku ritual yang harus dijalankan. Sebuah tradisi yang harus dijaga. Jadi berangkat ke Pekuncen sehari dari jam 07.00 WIB sampai jam 14.00 WIB pada Kamis (18/5), kemudian hari kedua yakni pada Jumat (19/5) adalah ritual Unggah unggahan dan pada Sabtu (20/5) jalan kaki lagi pulang ke Cilacap,”kata Fajri, 17, warga Desa Adiraja, Kecamatan Adipala.

Warga lainnya, Agus, 35, menuturkan kalau tiga hari mengikuti prosesi Unggah unggahan seperti ini maka akan menghemat pengeluaran terutama bahan bakar minyak (BBM). “Meskipun relatif kecil, tetapi ternyata sadar atau tidak menghemat energi. Lihat saja yang ikut jalan lebih dari 1.000 orang. Jika yang biasa membawa kendaraan sebanyak 500 orang dan per hari menghabiskan satu liter. Tentu sudah ada penghematan 500 liter BBM per hari.  Padahal sebetulnya bukan itu yang menjadi intinya. Karena sebetulnya intinya adalah tradisi yang harus digenapi dengan ritual jalan kaki,” ungkapnya.

Setelah sampai di Desa Pekuncen, Jatilawang, kaum adat Bonokeling beristirahat di rumah-rumah Bedogol atau para tetua adat. Rumah-rumah mereka umumnya berdinding bambu wulung, sehingga suasana di dalam rumah lebih nyaman karena dingin. Sedangkan warga adat Bonokeling yang berada di sekitar desa setempat mempersiapkan berbagai dapur umum untuk memasak bersama-sama.

“Kalau untuk warga Bonokeling dari luar daerah, mereka beristirahat di rumah-rumah Bedogol dan di kompleks makam. Sedangkan warga di sini mempersiapkan semacam dapur umum untuk nantinya digunakan masak. Bahan masakan merupakan hasil bumi yang dibawa oleh warga dari Cilacap. Selain itu, juga ada kambing dan sapi untuk dipotong,” kata Ngudiharjo, 57, warga Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang.

 

Ratusan orang dari komunitas adat Bonokeling membawa hasil bumi dari sejumlah kecamatan di Cilacap ke Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas. Foto : L Darmawan

 

Yang menarik, ternyata seluruh peralatan makan dan memasak menggunakan bahan alam. Misalnya untuk kepungan atau makan bersama, maka yang dipakai adalah daun pisang untuk alas makan. “Memang kalau dalam prosesi Unggah unggahan, daun pisang, daun jati dan daun kelapa menjadi bagian tidak terpisahkan. Karena daun pisang untuk alas nasi dan daun jati digunakan pembungkus daging. Bahkan, bumbunya pun tidak ada yang menggunakan bumbu instan. Semuanya alami,” ujarnya.

Kearifan lokal menyatu dengan alam tersebut, juga termasuk mempertahankan pepohonan besar yang berada di areal makam dengan luasan 2 hektare. “Di kompleks makam, banyak sekali pepohonan besar yang usianya sudah ratusan tahun. Pohon-pohon tersebut dipertahankan karena memang tidak diperbolehkan sembarangan menebang. Kalau saat dilaksanakan prosesi ziarah pada Unggah unggahan seperti sekarang, kebanyakan kaum adat Bonokeling banyak yang betah di dalam makam, karena memang rimbun. Rasanya, sama sekali tidak panas,” kata Ngudiharjo.

Di kompleks makam itulah, kaum adat Bonokeling melakukan ritual ziarah ke sejumlah makam, tetapi yang utama adalah makam Kyai Bonokeling. Sebelum masuk ke makam, mereka antre berjalan secara rapi. Dalam prosesinya, para perempuan yang terlebih dahulu melakukan ritual ziarah, baru diikuti oleh para lelaki.

Mereka menggunakan pakaian adat Jawa. Kalau laki-laki menggunakan kain seperti sarung dan iket kepala, sedangkan perempuan adalah jarit dan bagian atasnya ada yang menggunakan kemben atau baju Jawa.

 

Warga Bonokeling siap melaksanakan prosesi ziarah makam Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas. Foto : L Darmawan

 

Juru bicara Komunitas Adat Bonokeling Sumitro mengungkapkan kalau ritual ziarah kubur Kyai Bonokeling digelar pada saat Unggah unggahan tersebut merupakan salah satu acara yang paling banyak diikuti oleh anggota komunitas adat atau yang biasa disebut “anak cucu” Bonokeling.

“Dalam prosesi ziarah, mereka harus melepas alas kaki saat berada di rumah-rumah Bedogol maupun di kompleks makam. Artinya tidak lain adalah bagaimana menyatukan diri dengan alam,” ujarnya.

Di dalam kompleks makam, akan lebih terasa lagi bagaimana menyatunya masyarakat adat Bonokeling dengan alam sekitar. Apalagi, hampir 2 ha lokasi kompleks makam ditumbuhi dengan berbagai macam pepohonan yang besar.

 

Salah satu prosesi adat Bonokeling dengan sungkem kepada para tetua adat. Foto : L Darmawan

 

“Warga komunitas Bonokeling sangat menjaga pohon-pohon yang usianya sudah ratusan tahun tersebut. Lingkungan di dalam kompleks makam disebut dengan kedaton dan tidak boleh ada perusakan, apalagi sampai menebang pohon,” tegasnya.

Berbagai jenis pohon yang ada di dalam kedaton di antaranya adalah angsana, kepuh, nagasari, benda dan lainnya. “Pohon yang tidak boleh ditebang itu adalah pepohonan yang tumbuh sendiri di lokasi tersebut. Bahkan, ada pagar yang membatasi pohon-pohon besar tersebut. Ini bukan karena kami menyembah pohon atau apa, namun tidak boleh menebang pohon di dalam kedaton merupakan larangan adat Bonokeling. Namun demikian, pohon di luar makam bisa ditebang, terutama yang ditanam sendiri,” jelas Sumitro.

Sehingga, lanjut Sumitro, dengan adanya peponan besar di kompleks makam, membuat warga komunitas adat Bonokeling tetap merasa nyaman, karena sangat teduh. Bisa dibayangkan kalau tidak ada pepohonan di dalam makam, tentu suasanya sangat panas. Bahkan di dalam makam sinar matahari tidak terlalu bisa menembus, karena rimbunnya pepohonan.

“Prosesi ziarah di dalam makam membutuhkan waktu selama berjam-jam, karena ziarah dilakukan pada satu per satu. Saat menunggu guliran, mereka berada di bawah pohon yang rindang. Ada yang sambil duduk, bahkan tiduran. Karena memang di kompleks makam memang adem,” jelasnya.

 

Beberapa orang warga komunitas Bonokeling membuat tempat makanan dari janur atau daun pohon kelapa. Foto : L Darmawan

 

Setelah rampung prosesi ziarah, maka seluruh anggota Komunitas Adat Bonokeling makan bersama di kompleks dalam makam. Untuk warga Bonokeling yang berasal dari Cilacap, masih menginap lagi semalam di desa setempat. Pada pagi harinya atau Sabtu (20/5), mereka kembali lagi ke rumahnya masing-masing. Tetap jalan dengan jalan kaki.

Komunitas Adat Bonokeling tersebut masih tetap mempertahankan tradisinya secara ketat. Padahal populasi mereka relatif tidak banyak, sekitar 5 ribu orang yang tersebar di dua kabupaten yakni Banyumas dan Cilacap.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,