Mongabay.co.id

Tidak Andalkan Perkebunan, Desa Sekitar Gambut di Sumsel Terjaga Pangannya

Anak-anak di Desa Gelebak Dalam bermain di sawah. Dulunya desa ini bernama Sri Kuto Payung Priyayi, satu-satunya permukiman kaum ningrat di luar Palembang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Sejumlah desa yang berada sekitar rawa gambut di Sumatera Selatan, yang warganya tidak hanya mengandalkan pendapatan dari berkebun sawit dan karet, ketersediaan pangannya aman. Terlebih saat menghadapi krisis pangan akibat pendemi COVID-19.

“Di sini sebagian besar masyarakat tidak berkebun sawit dan karet. Semua warganya memiliki sawah. Jadi, soal pangan mudah-mudahan desa kami aman,” kata Kusnadiono, Ketua Kelompok Tani Sido Makmur, Desa Karang Sari, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], Sumatera Selatan, kepada Mongabay Indonesia, Jumat [08/5/2020].

“Bahkan, guna mengantisipasi kemungkinan krisis pangan, kami menjaga pangan warga desa hingga awal tahun depan. Tidak semua padi kami jual,” katanya.

Desa Karang Sari luasnya sekitar 1.900 hektar, sekitar 1.000 hektar merupakan sawah yang dikelola 675 kepala keluarga. Desa ini berada di sekitar lanskap Sembilang, Taman Nasional Berbak Sembilang [TNBS]. TNBS pada 2018 ditetapkan UNESCO sebagai cagar biosfer. Sekitar 45 persen dari luasan Sembilang [202.896,31 hektar] merupakan hutan mangrove. Ada 28 jenis mangrove di Sini.

Baca: Jika Hutan dan Lahan Terbakar, COVID-19 Kian Menyebar?

 

Anak-anak Desa Gelebak Dalam bermain di sawah. Dulunya desa ini bernama Sri Kuto Payung Priyayi, satu-satunya permukiman kaum ningrat di luar Palembang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Selain bersawah, masyarakat Karang Sari yang sebagian besar adalah transmigran juga menanam sumber pangan lain, seperti umbi-umbian, jagung, buah, dan sayuran.

“Pembesaran ikan lele yang dikelola kelompok tani kami berjalan bagus. Hasilnya melimpah. Selain dikonsumsi juga sebagai pemasukan anggota kelompok,” katanya.

Hanya, yang dicemaskan warga desa, lanjut Kusnadiono, terkait kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan. “Di Lalan masih banyak orang membakar lahan atau membuka hutan dengan cara membakar. Tahun 2019 kemarin, kabut asap menyelimuti sebagian besar desa. Ini jelas menganggu kesehatan kami, khususnya pernapasan,” katanya.

Dia berharap pemerintah tetap bekerja, mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut. Khususnya di Kecamatan Lalan, yang sebagian besar gambut dan mangrove.

Sebagai informasi, kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan pada 2019 seluas 361.857 hektar. Di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI] seluas 204.974 hektar, di Kabupaten Banyuasin seluas 59.425 hektar, serta di Kabupaten Muba seluas 43.815 hektar.

Baca: Gelebak Dalam, Desa Sentra Padi yang Berjuang Mandiri

 

Anak-anak di Desa Gelebak Dalam setiap hari bermain tak jauh dari air, seperti menangkap ikan di persawahan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mandiri pangan

Upaya empat tahun terakhir menjadikan Desa Gelebak Dalam, Kecamatan Mariana, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, sebagai sentra pangan mulai terlihat hasilnya.

“Masyarakat di sini perlahan fokus persawahan. Perkebunan karet secara bertahap dijadikan perkebunan pangan, sayuran, dan palawija,” kata Hendri Sani, Kepala Desa Gelebak Dalam, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [09/5/2020].

Panen padi awal Mei 2020 ini, gabah yang dihasilkan sebanyak 4.800 ton dari 800 hektar sawah yang dikelola sekitar 500 kepala keluarga. “Warga masih menahan sebagian besar gabah untuk tidak dijual. Ini mengantisipasi kemungkinan krisis pangan seperti yang dinyatakan pemerintah,” katanya.

“Saat ini, warga sudah menanam lagi. Semoga Agustus sudah panen lagi,” katanya.

Tingginya hasil gabah, kata Hendri, karena warga menggunakan Bios 044 sebagai pengganti pupuk kimia, serta penataan persawahan atas bantuan pemerintah sehingga tidak mengalami banjir atau diserang keong emas.

Desa Gelabak Dalam luasnya sekitar 17.779 hektar, persawahannya seluas 800 hektar. Sekitar 10 hektar dijadikan permukiman. Terdapat kawasan rawa gambut seluas 200 hektar yang pada 2015 lalu terbakar. Ribuan hektar lainnya berupa perkebunan karet yang dikelola masyarakat sejak masa kolonial Belanda. Namun, sebagian karet ini tidak lagi produktif.

“Sebagian kebun karet dibuka masyarakat untuk dijadikan kebun sayuran, palawija, atau ditanami pohon yang menghasilkan seperti petai dan pinang,” ujar Hendri.

Baca: Tidak Lagi Terbakar, Dua Desa Ini Kembangkan Wisata Sejarah dan Ekowisata

 

Warga Desa Gelebak Dalam, Banyuasin, Sumsel, saat ini tengah menanam padi kembali. Hasil panen awal Mei 2020, sebagian disimpan guna mengantisipasi krisis pangan di tengah pendemi COVID-19. Foto: Dok. Desa Gelebak Dalam

 

Lahan rawa gambut seluas 200 hektar tersebut kini dijadikan persawahan baru dan perkebunan sayuran serta palawija. “Di sini juga kami tanam petai dan pinang, terutama di sepanjang irigasi persawahan. Pembuatan sawah ini dilakukan secara mandiri oleh masyarakat. Tanpa adanya bantuan dari pemerintah,” katanya.

Dijelaskan Hendri, kebakaran di rawa gambut 2015 lalu, secara tidak langsung mendatangkan “berkah” bagi desanya. Sebab, peristiwa tersebut membuat pemerintah, khususnya Korem Garuda Dempo 044, memiliki perhatian besar.

Mereka, selain memberikan pengarahan untuk tidak membakar lahan, juga memberikan pembinaan ekonomi. “Saat ini kami menjadi desa yang memiliki sentra air bersih sendiri, produksi padi meningkat, sumber pangan dan ekonomi lainnya juga dikembangkan. Kami sekarang tidak lagi bergantung pada hasil getah karet yang harganya terus menurun,” ujarnya.

“Selama pendemi COVID-19, warga desa kami tercukupi sumber pangannya. Secara ekonomi kami stabil. Mereka yang menganggur karena dampak pendemi, mulai bekerja di sawah dan kebun,” katanya.

Baca juga: Kembalikan Tradisi Masyarakat Sriwijaya untuk Lestarikan Alam

 

Pinang ditanam di sepanjang parit di rawa gambut di Desa Gelebak Dalam, Banyuasin, Sumsel, sebagai wilayah kebun palawija. Foto: Dok. Desa Gelebak Dalam

 

Petani kota

Prabumulih, merupakan kota pertama di Sumatera Selatan yang ditemukan pasien COVID-19. Saat ini, bersama Kota Palembang, telah ditetapkan sebagai zona merah.

Ditetapkannya zona merah membuat aktivitas masyarakat berkurang, sementara kebutuhan pangan meningkat. Jika pasokan pangan menurun, kemungkinan besar warga Kota Prabumulih akan mengalami krisis pangan.

Kondisi ini membuat keberadaan sejumlah kebun yang dikelola puluhan petani perkotaan [urban] yang dibina INAgri [Institut Agroekologi Indonesia] sejak tiga tahun terakhir menjadi sangat berarti.

“Saat ini hasil kebun sayuran kami, dikirim ke konsumen seminggu sekali. Semoga membantu pasokan pangan sehat bagi sebagian warga Prabumulih,” kata Syamsul Asinar Radjam dari INAgri yang menetap di Prabumulih sejak tiga tahun lalu, kepada Mongabay Indonesia, Jumat [08/5/2020].

Saat ini, ada dua lokasi kebun urban binaan INAgri yakni Kebun Edukasi Sarah di Kelurahan Muntang Tapus seluas 1.000 meter persegi dan Kebun Pusat Kompos Sarah di Kelurahan Majasari juga seluas 1.000 meter persegi. “Ada beberapa kebun sayuran warga di Gunung Ibul kami bina,” kata Syamsul.

Produk yang dihasilkan dari kebun perkotaan itu sayuran, umbi-umbian, buah-buahan, rimpang, dan herbal. Kami tengah tengah menyiapkan paket perkebunan rumah untuk 50 rumah. Kami akan bagikan kompos, 10 jenis sayuran, 20 polybag dan satu handy farming tool.

“Pendemi COVID-19 panjang, kita harus menyiapkan pangan, yang tidak hanya bergantung pada desa dan mengandalkan pemasok besar. Rumah juga harus mandiri pangan,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version