Mongabay.co.id

RUU Minerba Lanjut di Tengah Pandemi, Berikut Kritikan Masyarakat Sipil

 

 

 

 

Komisi VII DPR bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Perindustrian dan Menteri Keuangan telah mengambil keputusan tingkat pertama revisi Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba). Mereka sepakat mengesahkan   RUU ini.

Bambang Wuryanto mengatakan, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Minerba Komisi VII DPR mengatakan, RUU ini sudah disiapkan sejak lama. Dia membantah pembahasan seakan dikebut.

Revisi UU No 4/2009 tentang Minerba dilakukan DPR sejak 2015. RUU ini masuk program legislasi nasional (prolegnas) sejak 2015-2019 dan setiap tahun masuk prolegnas prioritas. Tahun ini, rapat paripurna DPR memutuskan RUU Minerba sebagai RUU carry over dan kembali masuk prolegnas prioritas 2020.

Baca juga: Menyoal Insentif buat Industri Minerba dalam RUU Omnibus Law

Februari hingga Maret lalu rapat panitia kerja (panja) DPR melibatkan seluruh kementerian dan lembaga yang jadi wakil pemerintah. Panja telah menyelesaikan pembahasan RUU dan sinkronisasi dengan kementerian dan lembaga terkait.

Bulan lalu juga sikronisasi RUU Minerba dengan RUU Cipta Kerja.

Gatot Ariyonio, Dirjen Minerba Bambang, mengatakan, sepanjang 2018-2020, pemerintah telah konsultasi publik di Jakarta, Palembang, Balikpapan, Makassar, Medan, Yogyakarta dan Bandung, dengan melibatkan pemerintah daerah, perguruan tinggi, masyarakat sipil dan organisasi pengamat atau profesi pertambangan.

Bambang bilang, ada beberapa urgensi utama dalam RUU Minerba. Pertama, ada ketentuan yang tak dapat dilaksanakan dalam UU No 4 /2009, antara lain, masalah lintas sektor yang belum selesai, seperti tumpang tindih perizinan pertambangan dengan kehutanan, kelautan dan perindustrian.

Karena itu katanya, perlu diatur bentuk pengusahaan batuan skala kecil dan untuk keperluan tertentu, serta penyesuaian keberlanjutan kontrak jadi izin.

Kedua, penyesuaian dengan UU No 23/2014 terkait penyerahan kewenangan pengelolaan pertambangan dari kota/kabupaten ke provinsi dan pusat. Selain itu, terkait penghapusan luas minimum wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) eksplorasi dan penetapan wilayah pertambangan oleh menteri setelah ditentukan gubernur.

Ketiga, perbaikan kebijakan dan tata kelola pertambangan minerba berupa peningkatan kegiatan eksplorasi untuk mendorong peningkatan penemuan deposit minerba, penguatan peran BUMN. Juga, penyempurnaan tata kelola dan sanksi tegas pidana bagi perusahaan yang tidak melaksanakan reklamasi atau pascatambang.

“Ini stressing untuk lebih tegas apabila terjadi pelanggaran terhadap lingkungan,” kata Bambang.  

Beberapa isu lain yang dibahas dalam RUU ini, yakni kelanjutan operasi kontrak karya/PKP2B, izin pertambangan rakyat, rencana pengelolaan minerba nasional dan divestasi saham.

 Baca juga: Berikut Catatan Kritis soal Revisi UU Minerba

Mengenai kegiatan pengolahan dan pemurnian, RUU ini menghapus kewenangan menteri atau gubernur untuk menerbitkan IUP operasi produksi khusus pengolahan dan pemurnian. Kegiatan ini, katanya, selain terintegrasi dalam IUP juga boleh dengan pihak lain yang tak terintegrasi dengan kegiatan pertambangan.

“Pemerintah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan yang telah ditetapkan dan telah diberikan izin. Jangan sampai berubah fungsi,” katanya.

 

Bermasalah dari hulu. Kondisi lubang tambang batubara yang ditinggalkan begitu saja, jaraknya dekat dengan pemukiman warga. Foto: dok Jatam Kaltim

 

RUU ini, kata Bambang, juga mengatur soal wilayah hukum pertambangan yang menginventarisasi seluruh sumber daya yang ada di Indonesia dengan syarat ketat hingga tidak mengganggu lingkungan.

Pemerintah pusat berwenang penyelidikan dan penelitian pertambangan pada seluruh wilayah hukum pertambangan.

Untuk memperkuat kebijakan peningkatan nilai tambah, katanya, selain pengolahan dan pemurnian mineral juga diatur pengembangan batubara melalui peningkatan mutu, pembuatan briket, kokas, pencairan, gasifikasi dan campuran batubara dengan air.

“Pemanfaatan batubara antara lain dengan membangun sendiri PLTU mulut tambang.”

Ekplorasi untuk penemuan deposit minerba, kata Bambang, untuk menjamin ada tambang baru 10-15 tahun ke depan. Pemerintah juga memberikan kebijakan agar ada investasi untuk eksplorasi.

Dalam RUU ini, menteri dapat memberikan penugasan kepada lembaga riset negara, BUMN, BUMD, atau badan usaha untuk eksplorasi. Pemegang IUP juga wajib eksplorasi lanjutan setiap tahun dan menyediakan anggaran.

“Pemegang IUP wajib menyediakan dan ketahanan cadangan minerba dan untuk kegiatan penemuan cadangan baru,” kata Bambang. Beberapa hal ini, katanya, sebelumnya tidak diatur dalam UU Minerba.

Yang sudah diatur dalam UU Minerba 2009, pemegang IUP tidak boleh memindahkan IUP kepada pihak lain. Dalam revisi, diatur bahwa pemindahan IUP bisa dengan persetujuan menteri atau gubernur asalkan sudah selesai eksplorasi dan memenuhi syarat adminitratif, teknis dan finansial.

Hal baru yang diatur dalam revisi ini mengenai izin pengusahaan penambangan batuan. Surat Izin Penambangan batuan (SIPB) diberikan untuk pengusahaan jenis batuan dan keperluan tertentu.

SIPB diberikan oleh gubernur berdasarkan permohonan, dan pemegang SIPB bisa langsung menambang setelah punya dokumen perencanaan penambangan dengan luas maksimal 50 hektar. Namun dilarang mengalihkan SIPB ke pihak lain dan dilarang pakai bahan peledak.

 

Laut, tempat hidup orang Bajo di Sulaw,esi Tenggara sudah tercemar limbah nikel. Ada amdal saja kondisi laut tercemar seperti ini, bagaimana kalau tak ada? Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Pidana reklamasi

Mengenai ketentuan reklamasi dan pascatambang, kata Bambang, sebetulnya sudah diatur dalam UU No 4/2009 maupun aturan turunan. Revisi ini memberikan penekanan kepada rincian reklamasi, harus memenuhi keseimbangan antara lahan yang dibuka dan lahan yang sudah reklamasi, lubang bekas tambang akhir juga harus dikelola dengan batas paling luas sesuai aturan perundang-undangan.

Reklamasi harus 100% sebelum lahan kembali atau ciut dan wajib menempatkan dana jaminan pascatambang. Kalau wilayah tambang ingin diusahakan kembali, dana reklamasi dan pascatambang yang ditempatkan jadi milik pemerintah pusat dan daerah.

“Ini stressing untuk setiap orang yang IUP atau IUPK dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang serta tak menempatkan jaminan, dapat dipidana maksimal lima tahun dan denda Rp10 miliar.”

 

Eksplorasi dalam hutan lindung

Lantas, apakah bisa eksplorasi di hutan lindung atau wilayah konservasi? Kata Bambang, dalam revisi ini sengaja dibikin konsep wilayah hukum pertambangan agar pemerintah bisa inventarisasi sumber daya alam.

Menurut dia, ini penting untuk mendapatkan jaminan obligasi bagi negara. “Kalau di wilayah konservasi itu harus negara yang melakukan itu (eksplorasi), oleh badan riset negara atau badan geologi tanpa meninggalkan persyaratan ketat, misal membuka dengan bor dan lain-lain. Jangan dulu kita nggak boleh masuk, kita nggak boleh tau isi di dalam situ dengan penelitian sederhana.”

“ Wilayah konservasi, hutan lindung itu kita boleh masuk tetapi dengan persyaratan ketat, tidak merusak lingkungan, tidak merusak area dan lain-lain.”

Menjawab hal lain yang jadi kekhawatiran publik soal potensi kriminalisasi yang disebutkan dalam Pasal 162 draf RUU, kata Bambang, yang dimaksud kegiatan yang menghalangi pertambangan kalau tambang tiu sudah memiliki izin, sudah proses lelang, punya amdal dan studi kelayakan disetujui.

“Kemudian sudah menyelesaikan hak atas tanah. Itu yang disebut menghalangi,” katanya.

Bambang mengatakan, proses penetapan WIUP secara bottom up dari pemerintah daerah. Setelah clean and clear baru wilayah itu bisa dlelang. Aturan ini berbeda dari sebelumnya, ketika izin diberikan terlebih dahulu banyak pemegang izin yang ditemukan tidak clean and clear.

Bambang menampik upaya kriminalisasi bagi warga penolak tambang sebelum lelang dan mendapatkan izin tak akan terjadi.

“Kalau tumpang tindih itu sebuah keniscayaan. Apakah ada solusinya? Dengan persyaratan tertentu bisa. Kalau dari awal tidak bisa diberikan, tak usah lelang,” katanya.

Bambang mencontohkan, rencana penambangan di Silo, Jember yang batal karena penolakan warga, dan tak jadi lelang. “Pemda yang mengusulkam WIUP mesti konsultasi dulu.”

 

Lokasi tambang emas liar di Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Penyidik Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi, Seksi Wilayah III Manado, melimpahkan kasus tambang emas liar itu kepada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, Senin (20/4/20). Foto: Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi/Mongabay Indonesia.

 

Kewenangan pusat

Untuk IUP dan IUPK operasi produksi mineral yang terintegrasi dengan pengolahan dan pemurnian diberikan jangka waktu 30 tahun dan dijamin pemerintah perpanjangan setelah memenuhi persyaratan.

Untuk mengakomodir UU No 23/2014 soal Penetapan Wilayah Pertambangan (WP), IUP dan penanaman modal asing dalam revisi ini ditetapkan oleh pemerintah pusat, diberikan oleh menteri. Begitu juga untuk pengelolaan inspektur tambang, pemberian IUP untuk BUMN, yang semula pemerintah pusat dan daerah sesuai kewenangan, dalam revisi kepada menteri.

Untuk luas WIUP eksplorasi yang semula diatur besaran minimum, dalam revisi ini ketentuan dihapus. Bagi gubernur yang tak melaporkan pelaksanaan usaha pertambangan kepada menteri, dalam revisi ini, akan kena sanksi berupa teguran tertulis, penundaan atau pemotongan dana bagi hasil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan sanksi adminitratif lain.

Untuk penguatan peran BUMN, kata Bambang, seluruh wilayah eks WIUP, KK, PKP2B dapat ditetapkan sebagai WUPK dengan penawaran akan memberikan prioritas kepada BUMN.

“Kalau dulu hanya KK dan PKP2B, kini seluruhnya diberikan prioritas kepada BUMN,” katanya.

Untuk BUMN atau badan usaha yang mendapatkan penugasan penyelidikan dan penelitian serta wilayah penugasan jadi WIUP, akan mendapatkan hak menyamai penawaran dalam lelang WIUP.

 

Kelanjutan KK/PKP2B

Untuk kelanjutan operasi KK dan PKP2B, kata Bambang, pemerintah berusaha memberikan kepastian dalam investasi. Dalam revisi ini, katanya, KK dan PKP2B dapat jaminan perpanjangan jadi IUPK operasi produksi sebagai kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian setelah memenuhi persyaratan.

“Walaupun demikian, itu tidak otomatis tapi melalui saringan ketat dan memiliki kinerja baik dari sisi keuangan, lingkungan, teknis dan lain-lain,” katanya.

Perpanjangan diberikan dalam bentuk IUPK selama 2×10 tahun dengan pertimbangan upaya peningkatan penerimaan negara, melalui pengaturan kembali pengenaan pajak dan penerimaan bukan pajak, atau luas wilayah IUPK operasi produksi.

Seluruh barang yang diperoleh selama masa pelaksanaan PKP2B jadi barang milik negara.

“Jadi, kalau mereka dapat perpanjangan harus memberikan penerimaan negara dengan proporsi lebih besar lagi.”

Begitu juga dengan izin pertambangan rakyat, dalam revisi diatur, jadi bagian dari struktur pendapatan daerah berupa pajak atau retribusi daerah untuk pengelolaan tambang rakyat. Luas maksimal dari 25 hektar jadi 100 hektar dengan cadangan maksimal 100 meter dan dilarang pakai bahan peledak.

“Ini untuk memberikan keleluasan rakyat lakukan pertambangan.”

Hikmahanto Juwana, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan, pemerintah harus punya nilai tawar lebih kepada investor. Menurut dia, pemerintah harus membuat regulasi untuk sebesarnya keuntungan negara dan investor harus mengikuti.

“Kalau pemerintah berpihak pada negara, pada rakyat, saya yakin investor akan datang sepanjang ada kepastian hukum,” katanya.

Terlepas dari itu, apapun hasil kebijakan final, terpenting adalah implementasi dan penegakan hukum.

“Kalau tidak, nasibnya akan sama dengan UU sebelumnya,” katanya.

Sukmandaru Prihatmoko, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) mengingatkan, agar wilayah pertambangan rakyat harus memiliki sistem transparan.

“Berapa misal, emas yang ditambang oleh penambangan tradisional atau penambang kecil. Jangan sampai kedoknya rakyat tapi dimiliki oleh orang besar,” katanya.

 

Keindahan alam di Lembah Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel, yang terancam tambang batubara PT.MCM. Ada revisi UU Minerba, makin mengancam hutan Indonesia. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Ramai-ramai menolak

Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam “BersihkanIndonesia, juga langsung bereaksi setelah penyepakatan tingkat pertama ini. Dalam kertas reaksi mereka, Senin (11/5/20), organisasi sipil antara lain Auriga Nusantara, Walhi dan Jatam menyerukan kepada Presiden Joko Widodo untuk membatalkan rencana pengesahan RUU Minerba di pembicaraan tingkat dua.

“DPR dan pemerintah harus fokus menyelamatkan rakyat di tengah wabah Virus Corona yang mematikan,” kata Merah Johansyah, Koordinator Jatam Nasional.

Ada empat hal penting dalam RUU Minerba dan prosesnya yang menjadi catatan bagi masyarakat Sipil #BersihkanIndonesia. Pertama, RUU Minerba suatu bentuk jaminan (​bailout​) dari pemerintah untuk melindungi keselamatan elit korporasi, bukan rakyat dan lingkungan hidup. Masa krisis Coronavirus Disease (COVID-19) ini menyebabkan kekosongan ruang aspirasi dan partisipasi publik. Jaminan berikutnya tengah disiapkan, misal, wacana usulan pemotongan tarif royalti yang harus dibayar kepada negara dan sejumlah insentif lain bagi perusahaan.

Kedua, proses pembahasan dan pengesahan RUU Minerba cacat prosedur dan hukum. Melanggar tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU 12/2011 dan peraturan DPR tentang tata tertib DPR. Ia mengabaikan hak konstitusi warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28F.

Ketiga, pasal-pasal dalam draf RUU Minerba yang disahkan di Komisi VII memperlihatkan bagaimana perusahaan dapat kemudahan, seperti perpanjangan otomatis bagi pemegang izin PKP2B tanpa pengurangan luas wilayah dan lelang. Kemudahan ini, merupakan fasilitas yang ditunggu-tunggu enam perusahaan raksasa batubara yaitu Kaltim Prima Coal, Arutmin, Kideco Jaya Agung, Multi Harapan Utama, Berau Coal dan Adaro yang akan habis masa kontrak tahun ini dan tahun depan.

Mereka diduga masih ingin terus menikmati kemewahan luas lahan, produksi energi batubara dan fasilitas lain saat masih dalam sirkuit aturan rezim kontrak.

Kemudian ada definisi “wilayah hukum pertambangan” yang akan mendorong eksploitasi tambang besar-besaran, bukan hanya di daratan juga lautan yang bertentangan UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Lalu, reklamasi & pascatambang mungkin untuk tak kembali sebagaimana rona awal. Termasuk, lubang tambang akhir mungkin tidak tutup seluruhnya.

Lalu, batubara juga bebas dari kewajiban hilirisasi, dan segala insentif fiskal dan non fiskal bagi pertambangan dan industri batubara. “Kemudahan ini penanda, melalui RUU ini Indonesia akan makin tersandera oleh kecanduan energi maut batubara yang merupakan sumber utama krisis iklim dunia,” kata Merah.

Kemudahan lain, katanya, penghapusan Pasal 165 tentang sanksi pidana bagi pelanggaran penerbitan izin, IUP&IUPK boleh pindah tangan dan resentralisasi kewenangan ke pemerintah ousat tanpa mempertimbangan kapasitas pemerintah pusat dalam membina dan mengawasi. Juga abai kepentingan pemerintah daerah. Tata ruang, katanya, juga ditabrak, dengan jaminan wilayah pertambangan tak akan diubah.

Keempat, 90% isi dan komposisi RUU ini hanya mengakomodasi kepentingan pelaku industri batubara. Penambahan, penghapusan dan pengubahan pasal hanya berkaitan dengan kewenangan dan pengusahaan perizinan, tak secuil pun mengakomodasi kepentingan dari dampak industri pertambangan dan kepentingan rakyat di daerah tambang, masyarakat adat dan perempuan.

“Isi dan komposisi RUU ini juga tidak berangkat dari evaluasi atas daya rusak operasi pertambangan dan industri minerba selama ini.”

Dalam RUU itu, katanya, tak ada pasal yang mengatur batasan operasi pertambangan di seluruh tubuh kepulauan yang sudah penuh perizinan, tumpang tindih dengan kawasan pangan, berada di hulu dan daerah aliran sungai, menghancurkan kawasan hutan dan tumpang tindih dengan kawasan berisiko bencana.

RUU ini, kata Merah, tak menyediakan pasal yang memberi ruang hak veto rakyat atau hak mengatakan tak pada pertambangan saat masuk ke ruang hidup mereka.

Sebelumnya, kelompok masyarakat sipil ramai-ramai menolak RUU Minerba dengan berbagai pertimbangan.

Simon Sibarani, mantan Dirjen Minerba 2005-2009 menilai, revisi ini sama sekali tak perlu, mengingat semua ketentuan yang diatur dalam revisi ini sudah ada dalam UU No 4/2009 tentang Minerba.

“Masalahnya itu implementasi,” katanya dalam diskusi online Publish What You Pay, Minggu lalu.

 

Teks: Anton Septian/Tempo Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Timur, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Kementerian Hukum dan HAM

 

Simon bilang, masalah perizinan pertambangan yang jadi alasan utama revisi bukan karena UU Minerba namun aturan turunan PP No 23/2010 soal pelaksanaan usaha minerba, sudah mengalami lima kali amandemen tetapi tak transparan. “Meskipun berada dalam satu pintu di Badan Koordinasi Penanaman Modal masyarakat tak pernah tau bagaimana perizinan itu dilakukan,” katanya.

Selain itu, UU Minerba Pasal 1 ayat 20 sudah menjelaskan soal pengolahan dan pemurnian. Definisi dalam RUU ini yang memisahkan pengertian mineral logam dan batubara, katanya, mengada-ada, karena mengubah batubara jadi cair ataupun gas adalah kewenangan Kementerian Perindustrian.

“Apa hal yang melatarbelakangi penetapan definsi ini? Yang tidak didukung pertimbangan ilmiah dan dipaksakan masuk dalam UU ini.”

Rencana pengelolaan mineral dan batubara yang disebut dalam Pasal 8 a dan b, ditetapkan untuk jangka waktu lima tahun, kata Simon terlihat sangat optimis. Dia sangsi karena untuk penyesuaian kontrak karya dan PKP2B saja, pemerintah tak bisa lakukan dalam lima tahun.

“Khusus kontrak kerja yang berproduksi wajib memurnikan produksi dalam lima tahun pun sejak 2009 sampai sekarang belum bisa terlaksana.” Padahal, katanya, hanya melaksanakan perintah UU kepada pengusaha yang beroperasi hampir 30 tahun dan nota bene sudah mengeruk keuntungan besar.

Mengenai wilayah pertambangan (WP) yang disebut dalam Pasal 9, telah menghilangkan bagian tata ruang nasional yang memberi jaminan berusaha atas wilayah itu. Dengan demikian, wilayah usaha pertambangan bisa sewaktu-waktu berubah seperti sebelum ada UU Minerba.

Meskipun kemudian dinyatakan pemerintah menjamin tak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan WPIUPK, selama tak terikat tata ruang, Simon menduga akan kembali pada masa UU Pertambangan tahun 1967.

Dia menyoroti Pasal 47 yang menyatakan, negara menjamin pemegang IUP memperoleh perpanjangan dua kali, masing-masing 10 tahun.

“Kalimat ini sangat menurunkan derajat kedaulatan bangsa dan pemerintah. Pemerintah harus berdaulat dan tidak usah dengan kata dijamin” Apabila pemerintah menolak dengan alasan tidak berdasarkan peraturan perundangan dan demi kesejahteraan rakyat, katanya, tentu pengusaha berhak membawa pemerintah ke arbitrase.

Sisi lain, Abra Talattov peneliti Institute For Development of Economics and Finance (Indef) menilai, perlu ada keseimbangan antara meningkatkan iklim investasi dengan pembangunan inklusif, perlindungan lingkungan dan sosial.

Selain itu, katanya, kesejahteraan di wilayah penghasil tambang adalah tanggungjawab sosial pemegang IUP dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dengan pengelolaan fiskal yang konsisten dan memberikan nilai tambah besar bagi daerah penghasil tambang. Juga harus ada konistensi pelaksanaan kewajiban peningkatan nilai tambah.

“Harus ada pengaturan penanganan lingkungan di sektor pertambangan secara komprehensif untuk kegiatan praproduksi, produksi hingga pasca produksi.”

Perusahaan wajib reklamasi sesuai standar dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan awal dan potensi ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat.

Untuk pengawasan dan transparansi, katanya, harus ada aturan ketat mengenai pengawasan atas pengelolaan WIUP oleh pemegang IUP eksplorasi batubara.

“Transparansi kontrak tambang termasuk pengungkapan beneficial ownership,” katanya

Abra khawatir soal aturan IUP yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan dan pemurnian yang diberi jangka waktu selama 30 tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan setelah memenuhi syarat. “Tidak ada batasnya berapa kali.”

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia juga mengingatkan, polemik RUU Minerba yang muncul menjelang berakhirnya tujuh perusahaan batubara pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), khusus polemik regulasi yang menyangkut luasan konsesi, mekanisme, dan waktu pengajuan perpanjangan.

Revisi ini, katanya, seolah memberikan karpet merah bagi perpanjangan PKP2B.

Dia juga soroti soal reklamasi dan pasca tambang. Aspek pengetatan aturan reklamasi dan pasca tambang cukup bagus, namun dana jaminan reklamasi ke pemerintah pusat atau daerah dinilai agak rancu.

“Apakah ini inline dengan penggunaan dana yang jadi tanggungjawab provinsi? Lalu bagaimana pencatatannya? Apakah di ABPN atau APBD atau rekening terpisah?”

Ide mengenai dana ketahanan cadangan minerba yang sebelumnya tak diatur, kata Maryati, harusnya bukan hanya untuk eksplorasi juga pemulihan dampak lingkungan dan sosial termasuk krisis iklim. Dana ini, katanya, bisa juga untuk mengatasi defisit fiskal di daerah kaya tambang atas ketergantungan pada sumber daya alam.

Untuk itu, usul PWYP, perlu penguatan aspek fiskal baik pajak maupun PNBP guna menghindari potensi kebocoran pendapatan negara, transfer pricing dan pengembangan pajak.

“Pemerintah dan DPR harus menunda penyepakatan revisi UU Minerba sampai pasca COVID-19. Karena, di tengah situasi pandemi, partisipasi dan transparansi dalam pembahasan UU sangat minim hingga dapat dikatakan cacat prosedur.”

Penolakan masyarakat di era pandemi berpotensi menimbulkan gelombang protes di jalan yang rawan penularan virus. Kalau DPR terus saja, katanya, berpotensi melakukan pelanggaran HAM.

“Draf RUU ini harus dikaji lebih matang, termasuk mempertimbangkan asumsi makro dan dampak ekonomi dari pandemi. Hingga pembahasan dan penyelesaian lebih matang dengan melibatkan berbagai pihak dengan kajian menyeluruh,” katanya.

 

Keterangan foto utama: Batubara di Kalimantan Timur, yang menciptakan banyak masalah di daerah pertambangannya. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Saat ini ada enam rumah warga hancur akibat longsor di Sanga-sanga., yang berada dekat tambang batubara Foto dok Jatam Kaltim-Istimewa

 

Exit mobile version