Mongabay.co.id

Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi : Pantang Menyerah Berusaha [Bagian 2]

 

Sejak akhir Januari 2020, Bali mulai mengalami dampak pandemi COVID-19. Jumlah turis terus menurun bahkan kemudian nyaris tidak ada sama sekali setelah adanya penutupan penerbangan komersial maupun perhubungan darat dan laut, untuk mencegah meluasnya penularan virus corona baru penyebab COVID-19 di kiblat pariwisata Indonesia ini.

Ketika pandemi menghantam Bali dan pariwisata terpuruk, wacana lama pun kembali muncul, Bali sebaiknya kembali ke pertanian sebagai penopang utama pembangunan ekonominya. Selama ini, Bali dianggap terlalu menomorsatukan pariwisata dan sebaliknya, melupakan pertanian sebagai akarnya.

Namun bagi sebagian anak muda, kembali pertanian itu tak lagi sekadar wacana. Mereka kembali ke pertanian setelah sebelumnya menggantungkan hidup dari pariwisata. Sebagian lain telah lebih dulu terjun ke sawah, kebun, dan kandang lalu menggunakan teknologi informasi untuk menaikkan pendapatan petani sekaligus harapan bahwa pertanian bisa menjadi masa depan Bali.

Tulisan ini merupakan bagian kedua dari serial bagaimana anak-anak muda di Bali kini bertani, terutama setelah terjadinya pandemi COVID-19. Tulisan pertama bisa dibaca pada link berikut ini.

***

Suasana terasa lebih lengang ketika memasuki Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali pada pertengahan April 2020 lalu. Desa di ketinggian 700 hingga 1.100 mdpl ini merupakan pusat produksi pertanian di Kabupaten Badung. Namun, dampak pandemi COVID-19 yang memukul Bali secara ekonomi, juga terasa di sini.

Begitu pula di rumah Made Mahardika, 42 tahun, petani dan pengepul sayur asparagus. Pagi itu, hanya ada satu pegawai di rumah yang berada di tepi jalan raya menuju Kintamani, Bangli dan Tejakula, Buleleng tersebut. Made Suiti, satu-satunya yang tersisa dari empat pegawai sebelumnya, sibuk memilih dan memotong asparagus untuk dikirim ke tempat-tempat pembeli.

“Sekarang lebih sedikit yang disortir,” kata Suiti. Sambil duduk lesehan di lantai, dia memilih sayur berbentuk tunas muda seperti rebung itu berdasarkan ukuran, merapikan, lalu mengelompokkannya.

baca : Kebun Hidroponik di Atap Hotel, Siasat Pasok Pangan di Nusa Penida

 

Pegawai memilih asparagus di Desa Plaga Kabupaten Badung Bali pada April 2020. Akibat pandemi COVID-19 permintaan sayur asparagus turun. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sejak 2010, setelah sebuah lembaga swadaya masyarakat dari Taiwan mengenalkan, petani di Desa Plaga dan sekitarnya banyak yang beralih ke asparagus, termasuk Mahardika. Sebelumnya, mereka lebih banyak menanam tanaman keras berumur panjang, seperti kopi dan jeruk. Hal tersebut karena asparagus dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi. Jika jeruk dan kopi hanya bisa dipanen setahun sekali, maka asparagus bisa tiap hari.

Dalam sekali panen di lahan 5 are miliknya, Mahardika bisa mendapatkan 2,5 kg – 3 kg. Harganya tergantung tingkat kualitas (grade). Dia membaginya jadi empat tingkat, yaitu kualitas C seharga Rp10.000 – Rp20.000/kg hingga kualitas super seharga Rp35.000 – Rp50.000/kg.

Tak hanya sebagai petani, Mahardika juga membeli asparagus dari empat petani lain. Saat situasi normal, dia bisa menjual sekitar 1,2 ton tiap minggu ke pasar lokal, Jakarta, dan Surabaya. Namun, setelah pandemi COVID-19 menyerang, penjualannya jauh berkurang. “Sekarang berkurang sampai 50 persen,” ujarnya.

Berkurangnya penjualan tersebut, menurut Mahardika, karena restoran-restoran dan hotel-hotel pelanggannya, baik di Jakarta maupun Bali, tutup. “Yang penting sekarang masih bisa bertahan,” katanya.

 

Konsumen Bertambah

Jika Mahardika hanya menjual di pasar domestik, maka berbeda lagi dengan AA Gede Agung Wedhatama, 35 tahun. Direktur Bali Organik Subak (BOS) ini memilih bermain di pasar lebih besar dengan mengekspor buah-buahan, terutama manggis dan mangga, ke luar negeri selain juga ke pasar domestik. Di pasar domestik, BOS menjual berbagai buah-buahan, seperti mangga, alpukat, durian, sawo, dan lain-lain.

Di antara sekian komoditas itu, manggis merupakan komoditas utamanya untuk ekspor. Negara tujuan utamanya adalah China. Sebelum terjadi pandemi, sehari mereka bisa ekspor 5-10 ton per hari. Tahun lalu mereka bahkan menjadi eksportir buah manggis terbesar di Bali dengan 850 ton.

baca juga : Uniknya Kebun Hidroponik Tenaga Surya di Noja Bali

 

Pgawai BOS Fresh di Badung, Bali, menyiapkan produk buah-buahan segar pesanan konsumen pada April 2020. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Namun, begitu China menjadi episentrum penyebaran SARS-Cov-2 penyebab COVID-19 sejak akhir Desember 2019, guncangan pun terasa di BOS. Jumlah ekspor berkurang drastis setelah tidak ada lagi penerbangan ke China.

Setelah Nyepi pada 25 Maret 2020, BOS sempat ekspor lagi dua kali, tetapi kemudian bandara tutup sampai sekarang. Mereka pun tidak bisa ekspor lagi. “Secara realistis kita memang dibuat syok. Jujur saja saya sampai tiga hari tidak tidur,” kata Wedha.

Namun, ketika ekspor manggis total berhenti, permintaan produk dari BOS Fresh, layanan jual beli produk pangan mereka di aplikasi, justru meningkat. Hal ini terutama setelah munculnya isu Bali akan melaksanakan karantina total (lockdown) untuk pada akhir Maret 2020. Dari semula hanya 100 pembeli, mereka bisa sampai 200 pembeli.

Wedha menambahkan, pembelian dari pelanggan hotel dan restoran memang tutup, tetapi dari rumah tangga dan individu makin meningkat. Mereka sampai menambah sembilan staf baru di bagian admin. Begitu pula di bagian kurir yang bertambah lima staf. “Awalnya pakai pihak ketiga, sekarang dengan kurir sendiri,” ujarnya.

Para kurir itu yang kemudian mengirimkan berbagai produk pertanian dari kantor BOS Fresh di kawasan Kapal, Kabupaten Badung ke berbagai pembelinya terutama di Denpasar, Ubud, dan sekitarnya. Dari tangan petani-petani di pedesaan Bali, para kurir itu membawa berbagai produk pangan ke konsumen untuk menjamin ketercukupan pangan warga di tengah cekaman pandemi.

menarik dibaca : Berkebun Selaras Alam di Kota

 

Kadek Mahardika, petani muda yang sukses dari Desa Plaga Badung. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Pertanian Pingsan

Kendala pemasaran produk pertanian yang dihadapi petani muda seperti Mahardika dan Wedhatama menunjukkan tingginya ketergantungan sektor pertanian terhadap pariwisata. Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana Made Antara, sokoguru perekonomian Bali memag ada tiga yaitu pariwisata, pertanian dalam arti luas, dan industri kecil-menengah. “Ketiganya memiliki keterkaitan, langsung maupun tidak langsung, dan saling membutuhkan,” katanya.

Antara menjelaskan pertanian Bali memiliki keterkaitan langsung dengan pariwisata berupa pasokan produk-produk pertanian untuk hotel dan restoran di destinasi wisata. Jika pariwisata berkembang dan maju, maka peluang pasar produk-produk pertanian semakin besar. Akibatnya, pertanian juga semakin berkembang.

Namun, ketika pandemi COVID-19 merebak dan diikuti matinya pariwisata, maka permintaan produk-produk pertanian pun menurun. Akibatnya di tingkat produksi (on farm) juga lesu atau mati suri. “Pertanian Bali pun pingsan,” katanya.

Meskipun demikian, Antara melanjutkan, situasi ini hanya bersifat sementara, tergantung cepat atau lambatnya pemulihan pariwisata dari kolaps.

perlu dibaca : Aksi Petani Pisang Mempertahankan Lahan Garapannya [1]

 

Asparagus sedang dipotong dan dibersihkan. Desa Plaga merupakan salah satu desa penghasil sayur termasuk asparagus. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Masih Aman

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardhana mengatakan secara umum petani di Bali saat ini memang agak terkendala dalam pemasaran. “Karena sebagian produksi kan terserap di hotel dan restoran, sementara mereka sekarang tidak buka lagi. Jadi, agak susah pemasarannya,” kata Wisnuardhana.

Menurut Wisnuardhana, produk pertanian yang tidak terserap tersebut terutama sayur dan buah-buahan. Jumlahnya sekitar 30 persen dari total produksi saat ini. “Saya tidak punya datanya, tetapi kita lihat di lapangan begitu. Dulu petani lancar menjual sekarang tidak,” lanjutnya.

Meskipun demikian, menurut Wisnuardhana, permintaan dari rumah tangga memang meningkat. “Hotel dan restoran memang berhenti, tetapi kan rumah tangga masih terus berjalan,” tambahnya.

Adapun dari sisi produksi, menurutnya, sejauh ini masih aman sehingga secara umum ketahanan pangan di Bali juga masih terjamin, terutama pada sepuluh komoditas utama, seperti beras, cabai merah, jagung dan gula. Hanya bawang merah dan bawang putih yang harus mendatangkan dari luar Bali. “Proyeksi kami, persediaan pangan masih aman sampai Desember 2020,” katanya.

Wisnuardhana menambahkan, Pemprov Bali sedang menyiapkan skema untuk menyerap produk-produk petani Bali melalui penyediaan paket sembako bantuan kepada warga selama pandemi COVID-19. “Desa Dinas, Desa Adat dan atau pihak lain diharapkan dapat dibeli langsung dari kelompok-kelompok binaan seperti kelompok tani, kelompok ternak, koperasi-koperasi tani dan atau UMKM setempat sehingga sekaligus dapat membantu pemasaran produk lokal,” tambahnya.

 

Exit mobile version