Mongabay.co.id

UU Minerba Ketok Palu: Jaminan Korporasi, Ancaman bagi Rakyat dan Lingkungan

Aktivitas pencarian jenazah almarhum Alif di lubang bekas tambang batubara pada 2018. Foto dok Jatam Kaltim

 

 

 

 

Masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) tampaknya jadi kesempatan meloloskan rancangan Undang-undang kontroversial seperti RUU Mineral dan Batubara. Pada Selasa (12/5/20), DPR dan pemerintah mengesahkan RUU Minerba jadi Undang-undang.

Sugeng Suparwoto, pimpinan Komisi VII DPR, mengatakan, secara keseluruhan konsep RUU perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Minerba, setelah ada sinkronisasi dengan RUU Cipta Kerja, menghasilkan beberapa perubahan.

Ada dua bab baru, hingga UU ini jadi 28 bab, 83 pasal berubah dan 52 pasal tambahan atau baru. Ada juga 18 pasal dihapus.

“Total pasal jadi 209,” katanya.

Sesaat setelah UU ini sah muncul sejumlah reaksi keras masyarakat sipil.

Bertepatan dengan Tragedi Trisakti 22 tahun silam, sejumlah warga negara mengirimkan tanda duka cita berupa karangan bunga dan keranda mayat di Gedung DPR, tepat sebelum sidang paripurna pengesahan RUU Minerba mulai. Mereka mengecam DPR dan Presiden Joko Widodo lebih memilih melindungi kepentingan industri batubara dibandingkan rakyat.

 Baca juga: RUU Minerba Lanjut di Tengah pandemi, Berikut Kritikan Masyarakat Sipil

Saat sidang berlangsung, ratusan orang dan lembaga sipil mengirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan DPR.

Masyarakat yang terdiri dari petani, buruh, nelayan, mahasiswa, pegiat lingkungan, pegiat HAM, pegiat antikorupsi, pegiat kemanusiaan, pemerhati energi, akademisi, perwakilan tokoh masyarakat, perwakilan tokoh agama dan kalangan masyarakat lain, menyampaikan desakan kepada presiden, pimpinan DPR, pimpinan DPD dan pimpinan Fraksi DPR untuk membatalkan agenda pembicaraan tingkat II, yang akan mengesahkan RUU Minerba dalam Rapat Paripurna. Mereka keberatan karena ada beberapa aspek penting terkait perlindungan masyarakat, tata kelola dan keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, diabaikan Komisi VII dan pemerintah.

Sejumlah pertimbangan penting terabaikan dan sangat perlu jadi perhatian. Dalam surat terbuka, antara lain mereka sebutkan, pertama, dengan pengesahan RUU Minerba pemerintah secara sadar memberikan suatu bentuk jaminan ( bailout ) untuk melindungi keselamatan elit korporasi, namun tak bagi lingkungan hidup dan terutama rakyat yang sedang terancam COVID-19.

Baca juga: Menyoal Insentif buat Industri Minerba dalam RUU Omnibus Law

Kedua, proses pembahasan dan pengesahan RUU Minerba cacat prosedur dan hukum. Ketiga, pasal-pasal dalam draf RUU Minerba memperlihatkan bagaimana perusahaan dapat berbagai kemudahan. Keempat, 90% isi dan komposisi RUU ini hanya mengakomodasi kepentingan pelaku industri batubara. Penambahan, penghapusan dan pengubahan pasal hanya berkaitan dengan kewenangan dan pengusahaan perizinan namun tak secuil pun mengakomodasi kepentingan dari dampak industri pertambangan dan kepentingan rakyat di daerah tambang, masyarakat adat dan perempuan. Isi dan komposisi RUU ini juga tidak berangkat dari evaluasi atas daya rusak operasi pertambangan dan industri minerba selama ini.

Kelima, tak ada pasal yang mengatur batasan operasi pertambangan di seluruh tubuh kepulauan yang sudah dipenuhi perizinan, tumpang tindih dengan kawasan pangan, di hulu dan daerah aliran sungai, menghancurkan kawasan hutan dan tumpang tindih dengan kawasan berisiko bencana.

Keenam, RUU ini tak menyediakan pasal yang memberi ruang hak veto rakyat atau hak mengatakan tidak pada pertambangan saat masuk ke ruang hidup mereka.

 

Pangkalan nelayan Suralaya. Nelayan terdampak dengan ada PLTU batubara. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Jaminan industri

Menanggapi putusan ini Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, masyarakat sipil bersama rakyat, tak akan tinggal diam dan akan mengambil langkah-langkah, hukum ataupun lain-lain, baik kepada pemerintah, DPR, maupun korporasi.

“Saat rakyat kepayahan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan bertahan di krisis wabah COVID-19, pemerintah dan DPR malah giat berkumpul rapat dan sigap mengesahkan RUU Minerba,” katanya.

RUU dengan pasal yang kental aroma mengakomodir titipan oligarki tambang telah menegaskan, negara ini sedang memberikan jaminan kepada industri tambang.

Menurut Merah, RUU ini tidak berangkat dari masalah yang lahir dan dihadapi rakyat, buruh dan lingkungan hidup di lapangan. Ia diproses tanpa evaluasi atas kondisi krisis yang terjadi.

“Pembahasan revisi RUU Minerba lahir dari titipan oligarki batubara pada politisi Senayan beserta parpolnya masing-masing sebagai akibat dari bentang politik kita yang dicengkeram oleh oligarki,” katanya.

RUU ini justru memberikan hak veto kepada pengusaha pertambangan dan batubara. Sementara partisipasi rakyat korban pertambangan, masyarakat adat dan kelompok rentan lain seperti perempuan, ditinggalkan, tidak dilibatkan dan suara tak terakomodasi.

“Pembicaraan dalam sidang hanya seputar birokrasi perizinan, investasi dan divestasi saham, keselamatan rakyat korban tambang, ancaman kesehatan akibat tambang dan batubara hingga masalah polusi dan pencemaran lingkungan hidup terabaikan.”

Catatan Jatam, sebelum RUU Minerba ini ketok palu 44% daratan kepulauan Indonesia dikapling konsesi pertambangan dan migas. Dengan resmi UU ini,  katanya, perluasan penambangan tidak akan mengenal batas lagi. Ia akan memicu pengusiran warga sekitar tambang dan menyebabkan pengungsi di tanah sendiri karena sudah jadi kuasa pertambangan.

“Kami anggap UU ini tidak layak disebut Undang-undang. Lebih layak disebut memo atau kartu garansi. Isinya, jaminan kenyamanan pada pengusaha. Bagian dari ijon politik pasca pilpres.”

Iqbal Damanik, peneliti Auriga Nusantara, mengatakan, pengesahan RUU Minerba ini menambah panjang masa ketergantungan ekonomi Indonesia pada komoditas sumber daya alam.

“Memperlihatkan kerakusan dan cara pandang yang eksploitatif,” katanya.

Antara lain, katanya, dengan penambahan Pasal 169 A yang menyebutkan kontrak atau perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan, dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK selama 10 tahun.

Ada tujuh PKP2B generasi pertama akan berakhir kontrak kurang dari lima tahun lagi. Dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), perusahaan-perusahaan itu adalah PT Tanito Harum, habis 2019, sudah perpanjang , PT Arutmin Indonesia pada 2020, PT Adaro Energy (2022), PT Kaltim Prima Coal (KPC) pada 2021, PT Multi Harapan Utama (2022), PT Kideco Jaya Agung (2022) dan PT Berau Coal (2025).

Menurut Iqbal tujuh perusahaan ini terkait dengan sejumlah pengusaha besar yang punya konflik kepentingan dengan pemerintah.

“Pemerintah seakan memaksakan diri memberikan jaminan itu. Mereka paling diuntungkan dalam RUU Minerba,” katanya.

Dia menyayangkan pemerintah hanya fokus pada penyelamatan pebisnis batubara, katanya, melalui perubahan UU. Pemerintah, kata Iqbal, seharusnya memaksa para pemegang kontrak atau perjanjian ini untuk menyelesaikan terlebih dahulu kewajiban tanpa serta merta menjamin perpanjangan.

Kewajiban itu, salah satu menutup lubang-lubang tambang hasil operasi mereka. “Total luas lubang tambang lebih dari 87.000 hektar, atau setara luas Jakarta digabungkan dengan Kota Bandung,” katanya.

Edo Rakhman, dari Walhi Nasional juga menyayangkan pembahasan RUU di tengah COVID-19 yang meniadakan partisipasi publik dan akses keterbukaan informasi.

“DPR yang seharusnya fokus mengawasi anggaran dan penanganan wabah COVID-19, malah sibuk mengesahkan UU yang akan makin merusak dan mencemari lingkungan,” katanya.

Perilaku DPR ini, seperti merampok di tengah kebakaran. Di tengah publik terdampak, katanya, akan terdampak lagi pertambangan. “Berjuang melawan COVID-19. Pembahasan secara daring pun ternyata tak membuka partisipasi publik karena media dan publik dikeluarkan dari pembahasan secara daring itu. UU ini dipastikan sarat akan kepentingan investor.”

Selain isi kontroversial, penolakan juga muncul karena proses pembahasan UU ini janggal. Meski telah dibahas lama, 2015-2018, namun pembahasan selama tiga tahun itu lebih banyak tertutup.

Januari lalu, juga terbit surat dari Ketua Komisi VII bahwa RUU ini tak layak carry over, dibahas pada 2020. Tiba-tiba, pada 13 Februari masuk dalam RUU carry over dan dibentuk panja.

Aryanto Nugroho, peneliti PWYP Indonesia, mengatakan, saat pandangan fraksi, PKB mengatakan menerima pengesahan RUU ini dengan catatan Pasal 165 mengenai pidana korporasi, tidak dicabut. Namun ini tak dibahas saat pengesahan, seolah pandangan fraksi hanya formalitas belaka.

Beberapa proses pembahasan tertutup juga diketahui dilakukan di luar Gedung DPR.

RUU Minerba mereduksi kewenangan pemerintah daerah yang merupakan mandat reformasi. Dengan kata lain, RUU Minerba bertentangan dengan prinsip otonomi daerah untuk penguatan dan kemandirian daerah.

Alasan penarikan kewenangan perizinan ke pusat karena penerbitan izin di daerah diduga banyak korupsi, katanya, sangat tidak relevan.

Menurut Ary, problem di daerah adalah korupsi politik dan penegakan hukum bukan visi dan filosofi pembagian kewenangan pusat dan daerah. Justru, penarikan kewenangan perizinan ke pusat kontradiksi dengan upaya pembinaan dan pengawasan yang dibangun pemerintah daerah.

“Selain itu, apakah pemerintah pusat sanggup pembinaan dan pengawasan terhadap ribuan izin tambang yang tersebar di seluruh Indonesia? Bagaimana proses transisinya? Baik transisi sumber daya manusia maupun kelembagaan.”

Dari catatan masyarakat sipil menunjukkan, proses peralihan perizinan dari kabupaten ke provinsi pun sampai hari ini masih terkendala. RUU Minerba juga berpotensi menyebabkan eksploitasi besar-besaran tanpa kontrol dengan penghapusan ketentuan klausul pengendalian produksi dan ekspor.

Mengapa pemerintah dan DPR ngotot meloloskan UU ini? Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika mengatakan, ini erat kaitan dengan utang perusaaan tambang yang akan jatuh tempo pada 2021 dan 2022.

Untuk itu, tujuh perusahaan tambang ini perlu kepastian izin untuk keperluan refinance. “RUU Minerba menjawab kebutuhan akan kegentingan perusahaan tambang batubara tapi sama sekali tidak menjawab permasalahan di lapangan.”

Jalan dari Buluh Kasok Sumbar ke Pangkalan Kapas, sudah dibuka. Akankah lagi hutan lebat kembali terancam tambang? Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Mendorong deforestasi

Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) khawatir kalau UU ini berlaku, luas tambang bakal makin mendorong deforestasi. “Juga mendorong masyarakat sekitar hutan hidup makin jauh masuk ke hutan untuk bertahan,” katanya.

Keragaman hayati makin terancam dan habitat hewan liar terganggu. Pius juga menyoroti kasus penyakit menular seperti malaria yang rentan di daerah sekitar tambang.

“Hubungan malaria dengan pertambangan sangat jelas. Ketika keasaman tanah meningkat, penyebaran nyamuk malaria terjadi dengan cepat,” kata Pius.

Sisi lain, katanya, pendanaan tambang batubara makin tidak popular. “Lembaga pendanaan mengurangi dukungan untuk pembiayaan batubara, namun kita masih membiarkan ruang dieksploitasi di tengah fokus masyarakat global untuk perubahan iklim. Pandemi Corona harusnya meningkatkan kepekaan pemerintah terhadap lingkungan.”

 

Keterangan foto utama: Lubang tambang yang menganga begitu saja, tanpa pengaman dan menelan korban satu anak. Foto: Jatam Kaltim

Exit mobile version