Mongabay.co.id

Apa Kabar Moratorium Logging Aceh?

Persawahan di Rikit Gaib, Kabupaten Gayo Lues yang berbatasan langsung dengan hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Kebijakan moratorium logging atau jeda tebang di Aceh telah 13 tahun diberlakukan. Namun, pembalakan liar dan perambahan untuk perkebunan masih terjadi. Luas hutan Aceh berkurang akibat kegiatan ilegal tersebut.

Data Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA] menunjukkan, berdasarkan SK/MenLHK No. 103/Men-LHK-II/2015, luas kawasan hutan dan konservasi perairan Provinsi Aceh mencapai 3.557.928 hektar. Namun, hingga Desember 2019, luas tutupan hutan yang terpantau hanya 2.989.212 hektar.

“Jika dihitung, Aceh kehilangan tutupan hutan mencapai 568.716 ribu hektar,” terang Manager Geographic Information System [GIS] HAkA, Agung Dwinurcahya, baru-baru ini.

Bahkan, pada 2019, Aceh kehilangan tutupan hutan mencapai 15.140 hektar. “Secara umum, 60% hilangnya tutupan hutan terjadi di dalam kawasan dan 40% di areal penggunaan lain [APL],” terangnya.

Baca: Aceh Kehilangan Tutupan Hutan, HAkA: Sehari 41 Hektar

 

Persawahan di Rikit Gaib, Kabupaten Gayo Lues yang berbatasan langsung dengan hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Muhammad Nasir, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh mengatakan, pembalakan liar masih terjadi di Aceh dikarenakan hingga saat ini belum ada alternatif pengganti kayu.

“Padahal, dalam kebijakan jeda tebang telah diperintahkan agar lembaga/dinas terkait menghitung kebutuhan kayu dan mencari alternatif pengganti kayu,” ujar Nasir.

Penyebab lain, sambung Nasir, karena penegakan hukum tidak maksimal, sehingga tidak memberi efek jera pada pelaku. Belum lagi, masalah mata pencaharian masyarakat yang tinggal dekat hutan.

“Selama ini, jika dilakukan penegakan hukum, yang ditangkap atau di proses hukum hanya penebang di hutan atau pengangkut. Sementara, pemodal atau panglong yang menampung kayu tidak diproses,” ungkapnya.

Nasir menambahkan, dengan adanya sejumlah izin hutan tanaman industri [HTI] di Provinsi Aceh, seharunya bisa mencukupi kebutuhan kayu. “Namun, sejumlah HTI tidak aktif dan lahan mereka terbengkalai. Bahkan, ada yang di dalam lahan mereka terjadi pembalakan,” ujarnya.

Baca: Meski Pandemi, Perusakan Hutan Leuser Tidak Berhenti

 

Hutan Leuser harus selalu dijaga, agar air tetap mengalir. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Awal kebijakan

Laju kerusakan hutan di Aceh yang tinggi pasca-konflik bersenjata berakhir pada 18 Agustus 2005, membuat upaya penyelamatan hutan harus dilakukan.

Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh 2005, berdasarkan pemantauan melalui citra satelit, menunjukkan kebakaran hutan dan lahan ada 518 titik dan pada 2006 meningkat menjadi 1.163 titik api. Sebagian besar titik api berada di konsesi hak pengusahaan hutan [HPH], hutan tanaman industri [HTI], dan perkebunan besar.

Setelah mantan juru propaganda Gerakan Aceh Merdeka [GAM], Irwandi Yusuf bersama Muhammad Nazar terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada 11 Desember 2006 silam, mereka coba merubah keadaan. Kebijakan Aceh Green disusul moratorium logging diberlakukan.

Jeda tebang dituangkan dalam Instruksi Gubernur [Ingub] Nomor: 5 tahun 2007. Latar belakang lahirnya kebijakan didasari kondisi objektif pengelolaan hutan Aceh yang tidak terkendali. Jeda tebang adalah menghentikan sementara aktivitas penebangan dan konversi hutan, baik legal maupun ilegal.

Tujuannya, menciptakan “Hutan Lestari Rakyat Aceh Sejahtera” melalui tiga program utama: redesign, reforestasi, dan reduksi laju deforestasi.

Redesign diartikan menata ulang hutan dan konsesi perizinan berkinerja buruk. Reforestrasi adalah strategi pengelolaan hutan dengan rehabilitasi melibatkan masyarakat. Reduksi laju kerusakan hutan bertujuan menciptakan keseimbangan antara laju penghutanan dan pemanfaatan,

“Faktor penyebab banjir dan tanah longsor karena rusaknya hutan akibat perambahan tidak terkendali,” ujar Irwandi Yusuf saat kebijakan jeda tebang diumumkan, Juni 2007.

Kebijakan ini tidak hanya mengikat illegal logging, tapi juga mengatur perusahaan yang memiliki izin untuk tidak menebang hutan, khususnya di hutan alam. Dalam intruksi juga disebutkan, penebangan kayu hanya boleh di kebun masyarakat atau kayu kampung. Dinas Perkebunan ditugaskan mengevaluasi semua kegiatan usaha perkebunan yang memiliki perizinan atau tidak.

Irwandi Yusuf mengakui, kebijakan jeda tebang tidak sepenuhnya menghentikan kegiatan ilegal. “Paling tidak, cukong atau pemodal dan perambahan gerah, tidak bisa bergerak leluasa,” tegas Irwandi.

Baca: Desakan Revisi Menguat, Akankah Kawasan Ekosistem Leuser Masuk RTRW Aceh?

 

Penebangan liar di Lamteuba, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pada pilkada 2012, kepemimpinan di Aceh berganti. Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf terpilih sebagai Gubernur dan Wakil. Kebijakan jeda tebang tetap dipertahankan, bahkan ditambahkan dengan moratorium tambang.

“Kita prihatin dengan kondisi hutan Aceh, gundul. Bahkan, dalam satu tahun rusaknya mencapai 23 ribu hektar,” kata Zaini, di sela kegiatan penanaman satu miliar pohon di Tahura Pocut  Meurah Intan, Kabupaten Aceh Besar, 6 Desember 2014 silam.

Penyebabnya, karena kuatnya gempuran kapitalis yang mencari keuntungan dengan membabat hutan. “Moratorium logging yang dilaksanakan sejak 2007 belum cukup ampuh menahan kerusakan hutan,” katanya.

Menurut Zaini, penyumbang kerusakan hutan Aceh paling parah adalah perindustrian kayu dan alih fungsi hutan untuk areal perkebunan. “Kedua bidang tersebut, berandil besar terhadap kerusakan hutan.”

Baca juga: Pemerintah Aceh Pastikan Tidak Ada Proyek Infrastruktur di TNGL 

 

Perkebunan sawit yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Program unggulan

Bagaimana sekarang? Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah menyebutkan, moratorium logging di Aceh merupakan hal penting sebagai 15 unggulan program kerja dirinya bersama Irwandi Yusuf, saat terpilih menjadi pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, 2017 lalu.

“Jeda tebang merupakan bagian program besar Aceh Green,” ungkapnya beberapa waktu lalu.

Nova mengatakan, Pemerintah Aceh sangat berkomitmen mencegah deforestasi dan degradasi hutan. Selain moratorium, Pemerintah Aceh juga membuat program pendukung.

“Ada perekrutan tenaga kontrak untuk pengamanan hutan [pamhut] sebanyak 2.000 orang, yang bertugas menjaga kelestarian hutan. Ada juga moratorium izin tambang dan mineral di 2015, dan moratorium perkebunan kelapa sawit pada 2016,” terangnya.

Terkait kebijakan kehutanan, ada juga Qanun Aceh Nomor: 7 tahun 2016 tentang Kehutanan, lalu Peraturan Gubernur Aceh Nomor: 20 tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, serta Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10 tahun 2017 tentang Penanganan Konflik Terunial dalam Kawasan Hutan.

“Sedangkan dalam hal perlindungan satwa, telah ada Keputusan Gubernur Aceh tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa. Saat ini, keputusan tersebut dalam proses peningkatan menjadi qanun,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version