Mongabay.co.id

Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi : Terintegrasi Teknologi Informasi [Bagian 4]

 

Sejak akhir Januari 2020, Bali mulai mengalami dampak pandemi COVID-19. Jumlah turis terus menurun bahkan kemudian nyaris tidak ada sama sekali setelah adanya penutupan penerbangan komersial maupun perhubungan darat dan laut, untuk mencegah meluasnya penularan virus corona baru penyebab COVID-19 di kiblat pariwisata Indonesia ini.

Ketika pandemi menghantam Bali dan pariwisata terpuruk, wacana lama pun kembali muncul, Bali sebaiknya kembali ke pertanian sebagai penopang utama pembangunan ekonominya. Selama ini, Bali dianggap terlalu menomorsatukan pariwisata dan, sebaliknya, melupakan pertanian, sebagai akarnya.

Namun, bagi sebagian anak muda, kembali pertanian itu tak lagi sekadar wacana. Mereka kembali ke pertanian setelah sebelumnya menggantungkan hidup dari pariwisata. Sebagian lain telah lebih dulu terjun ke sawah, kebun, dan kandang lalu menggunakan teknologi informasi untuk menaikkan pendapatan petani sekaligus harapan bahwa pertanian bisa menjadi masa depan Bali.

Tulisan ini merupakan bagian keempat dari serial bagaimana anak-anak muda di Bali kini bertani, terutama setelah terjadinya pandemi COVID-19. Tulisan pertama bisa dibaca pada tautan ini. Tulisan kedua bisa dibaca pada tautan ini. Dan tulisan ketiga bisa dibaca pada tautan ini.

***

Pandemi COVID-19 justru menambah kesibukan di kantor BOS Fresh di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali. Pada pertengahan April 2020 lalu, belasan staf mereka sibuk memilih, mengemas, dan mengirimkan sayur maupun buah pesanan konsumen. Di meja terlihat selembar daftar pesanan yang siap diantar. Konsumennya salah satu aktris ternama Indonesia.

Dari ruang persiapan di lantai dua, barang yang sudah dikemas rapi dalam kardus lalu diantarkan oleh para kurirnya ke tempat konsumen di Denpasar, Ubud, Canggu, dan sekitarnya. “Kami siaga 24 jam selama pandemi ini,” kata AA Gede Agung Wedhatama, 35 tahun, Direktur PT Bali Organik Subak (BOS), perusahaan pemilik BOS Fresh.

baca : Kebun Hidroponik di Atap Hotel, Siasat Pasok Pangan di Nusa Penida

 

Agung Wedha Direktur PT BOS berpose di depan kantornya. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

BOS Fresh adalah perusahaan rintisan (startup) di bidang jual beli produk pangan di Bali yang baru berdiri sejak tahun lalu. Secara resmi dia berada di bawah perusahaan PT BOS. Aplikasi BOS Fresh tersedia di Google Playstore. Konsumen yang mau membeli produk harus memasang (install) dulu di ponsel pintarnya.

Di aplikasi BOS Fresh, konsumen bisa membeli produk yang terbagi dalam delapan kategori yaitu sayur, buah, telur dan daging, paket, kebutuhan harian, bumbu/rempah, dan Koperasi PMK. Sekadar contoh ada sayur brokoli, buah naga, tempe, daging ayam, bahkan pupuk organik. Semua produk itu berasal dari anggota Petani Muda Keren (PMK).

PMK sendiri merupakan komunitas petani muda di Bali yang secara resmi baru berdiri sejak tahun lalu. Saat ini anggotanya sekitar 200 orang yang tersebar di seluruh Bali. PMK memiliki gugus-gugus (klaster) berdasarkan produknya, seperti kluster hortikultura, klaster cengkeh, dan lain-lain. Mereka bekerja dari hulu yaitu petani hingga ke hilir alias pembeli terakhir, konsumen. Teknologi informasi menjadi alat mereka.

Jika BOS Fresh ditujukan untuk konsumen di tingkat akhir, maka berbeda lagi dengan BOS Farmer. Aplikasi BOS Farmer menyasar para petani anggota PMK, bagian hulu dalam rantai nilai pertanian. Aplikasi yang terakhir diperbarui pada Oktober 2019, diakses pada April 2020, itu menyatakan sebagai aplikasi untuk memudahkan petani dalam mengembangkan kebunnya dari hulu dan hilir.

Dalam aplikasi itu, petani bisa mengisi keterangan tentang komoditas yang ditanam, jadwal tanam, umur tanaman, luas lahan, dan jumlah tanaman. Dengan algoritma yang dikembangkan sendiri oleh Wedha dan timnya, petani kemudian mendapatkan informasi kapan panen, perkiraan jumlah panen, waktu pemupukan, dan lain-lain.

Menurut Wedha, penggunaan aplikasi bagi petani anggota PMK menjadi keharusan. “Petani kita paksa untuk menggunakan teknologi dan mekanisasi, misalnya traktor, irigasi tetes, dan aplikasi,” katanya.

baca juga : Uniknya Kebun Hidroponik Tenaga Surya di Noja Bali

 

Melalui aplikasi BOS Farmer, petani bisa lebih mengatur produksi produk pertanian terutama hortikultura. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Hasil aplikasi BOS Farmer itu, Wedha melanjutkan, adalah mahadata (big data). “Jadi kita tahu, kapan punya (komoditas) apa, berapa, dan di mana,” ujarnya. Dengan perkiraan data panen itu, PMK pun bisa mengatur anggotanya agar bergantian dalam menanam komoditas tertentu. Dalam bahasa sederhana, pertaniannya berdasarkan proyek, bukan hanya produk.

“Kita cari pasar dulu baru kita tanam. Bukan sebaliknya, tanam dulu baru cari pasar,” lanjutnya.

Saling Terhubung

Petani anggota PMK yang menggunakan aplikasi BOS Farmer itu misalnya Edi Juliana, 21 tahun, petani muda di Desa Tamblingan, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Dia juga menjual wortel melalui aplikasi BOS Fresh. Nama dan foto Edi terpampang bersama petani lain di bagian produsen wortel organik.

Edi bergabung dengan PMK sejak tahun lalu setelah mengikuti Farmer Camp di Bedugul, Tabanan. Sebelumnya, Edi juga mendirikan Kelompok Pemuda Tani Ternak Remaja Mandiri Bali. “Saya ikut PMK setelah diajak Pak Ngah (Nengah Sumerta),” akunya.

Sebelum fokus menjadi petani, Edi sempat kuliah di Fakultas Peternakan Universitas Udayana Bali. Namun, dia kemudian berhenti karena mengaku kasihan dengan orang tuanya yang gagal panen. Kebiasaannya berbagi informasi tentang pertanian melalui Facebook membuat Edi lalu terhubung dengan Nengah Sumerta, salah satu penggagas lahirnya PMK bersama Wedha.

“Aku bilang ke Edi, ngapain menyia-nyiakan waktu dengan kuliah yang tidak ada gunanya. Lebih baik langsung fokus menjadi petani saja,” kata Nengah.

perlu dibaca : Berkebun Selaras Alam di Kota

 

Edi Juliana (tengah) mengaku lebih bermotivasi untuk bertani setelah bergabung PMK. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Begitulah kemudian PMK menjadi penghubung bagi para petani muda di Bali, seperti Nengah, Edi, dan Wedha. Hal ini pula yang menurut Wedha menjadi tujuan dia membuat aplikasi BOS Fresh dan BOS Farmer.

Melalui aplikasi BOS Fresh, kata Wedha, petani bisa langsung terhubung dengan konsumen. “Ada penjualan langsung ke konsumen dan fair trade. “Petani tahu berapa harga produknya dijual karena mereka bisa cek langsung,” katanya.

Edi membenarkan itu. Sebelum bergabung dengan PMK dan menjual produknya lewat aplikasi BOS Fresh, Edi menjual produknya ke pasar tradisional dan tengkulak. Dia mengaku tidak tahu berapa harga produknya kemudian dijual oleh pedagang dan tengkulak. Berbeda dengan ketika dia menjual lewat aplikasi.

“Lebih baik dengan aplikasi karena mata rantai penjualan diperpendek sehingga kami mendapatkan keadilan keuntungan. Memang lebih fair trade,” katanya.

menarik dibaca : Kisah Aira, Bocah Kota yang Bercita-cita Menjadi Petani

 

Panjangnya rantai pemasaran produk pertanian membuat petani mengeluhkan harganya yang tidak adil. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Pendanaan Publik

Setelah berhasil dengan BOS Fresh dan BOS Farmer, kini PMK juga sedang menyiapkan proyek lain, pendanaan dari publik (crowd fund) untuk berinvestasi di bidang pertanian. Namanya Nabung Tani.

Weda menjelaskan, Nabung Tani diharapkan akan menjadi lembaga keuangan bagi pihak lain yang ingin berinvestasi di pertanian. Sebab, menurut Weda, salah satu tantangan petani di Bali saat ini adalah kurangnya modal produksi. Di sisi lain, seperti yang dilakukan Dwitra J Ariana, banyak anak muda perkotaan yang ingin berinvestasi di pertanian secara lebih adil.

Karena itu, Nabung Tani nantinya menghubungkan warga yang ingin berinvestasi dengan petani yang membutuhkan modal produksi. Nabung Tani akan melengkapi BOS Farmer di tingkat petani dan BOS Fresh di tingkat konsumen.

Dalam jangka panjang, ketiga usaha berbeda itu nantinya akan di bawah manajemen Koperasi PMK sebagai badan usaha PMK. Namun, payung hukumnya berbeda. Sebagai usaha jasa di bidang keuangan, Nabung Tani akan di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sementara BOS Fresh di bawah payung perusahaan PT BOS.

Menggunakan aplikasi dan pendanaan publik semacam itu, PMK pun berhasil menarik minat anak muda di Bali untuk bertani dengan gaya baru. Edi, misalnya, mengaku senang karena bisa belajar banyak dari sesama petani muda maupun pelaku bisnis pertanian. “Saya semakin semangat dalam bertani sebagai petani muda,” katanya.

 

Tengkulak di Kintamani memilah bawang sebelum dipasarkan. Bagi sebagian petani, panjangnya rantai pemasaran membuat harga jadi tidak adil. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Menurut Nengah Sumerta, selama setahun sejak berdiri tahun lalu PMK sudah berhasil membuat benchmark di kalangan anak muda Bali bahwa bertani memang keren. Mereka juga meyakinkan petani bahwa bertani sehat itu tidak harus mahal. Selama ini, kata Nengah, ada anggapan bahwa produk organik harus mahal. “Ternyata setelah dijual dengan harga terjangkau pun, petani tetap bisa mendapatkan untung,” katanya.

Wedha menambahkan, mereka memang menerapkan kendali mutu (quality control) ketat terhadap produk-produk yang dijual melalui BOS Fresh. Contoh salah satu syarat wajibnya, produk itu harus dibudidayakan secara alami (nature farming), seperti menggunakan pupuk dan pestisida alami. Sebagai pengusaha yang terbiasa mengimpor, Wedha juga memberlakukan standar baku mutu ketat pada produk-produk BOS Fresh.

“Dengan begitu, produk petani Bali akan berkualitas dan sehat. Jangan hanya terlihat bagus, tetapi beracun karena pakai kimia. Itu kan ngeri sekali,” katanya.

Sementara itu Kepala Dinas Pertanian Bali Ida Bagus Wisnuardhana mengatakan senang karena makin banyak anak muda kembali ke pertanian. “Saya kira bagus karena banyak anak muda bertani, terutama di hortikultura. Yang menggembirakan, mereka juga membuat start up untuk memasarkan produk pertanian. Kami hanya memfasilitasi,” ujarnya.

 

Exit mobile version