Mongabay.co.id

Pandemi Corona Paksa Pemburuan Hiu Berhenti

Perburuan hiu dilakukan karena sudah turun temurun, ditambah ada pemodal yang menyediakan perahu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Para pangihang—pemancing hiu—di Pulau Ambo, Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar), tak lagi berburu. Mereka mendaratkan kapalnya di tepi pantai pulau itu, sejak Maret 2020. Semua berhenti ketika, pandemi virus Corona (COVID-19) menghantam 188 negara. Menginfeksi empat juta penduduk bumi dan 200 ribuan di antaranya meninggal.

Indonesia melaporkan dua kasus COVID-19 pertama di 2 Maret. Dua bulan sejak itu, 15.438 warga Indonesia telah terinfeksi. 1.028 orang meninggal dan 3.287 orang sembuh.

Dari peta sebaran COVID-19 di Indonesia, Sulbar ada pada posisi yang terjepit. Sisi selatannya, ada Sulawesi Selatan yang telah berstatus merah—tertinggi di luar Jawa. Di atasnya ada Sulawesi Tengah yang saban waktu terus melaporkan kasus baru. Di Sulbar sendiri, sampai 12 Mei 2020, Corona telah menginfeksi 73 penduduk. Meninggal 2 dan 7 sembuh.

Lantas mengapa para pangihang ini berhenti memburu hiu? Apa hubungannya dengan COVID-19? Tiongkok yang merupakan episentrum virus ini adalah pembeli terbesar produk hiu dari Indonesia. Selain Tiongkok, ada negara konsumen lain yang juga dilanda wabah. Sejak penyebaran COVID-19 memasuki tahap mengkhawatirkan, permintaan produk hiu disetop. Rantai dagang hiu yang rumit itu kini rontok. Dan, Sulbar adalah salah satu pemasok produk hiu terbesar.

“Perdagangan hiu dan pari ini terasa mengalami penurunan sejak Desember 2019, ketika mulai muncul kasus wabah di negara tujuan eksportir terbesar tersebut,” kata Andry I Sukmoputro, Kepala Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar, melalui pesan WhatsApp, awal Mei.

“Di tahun 2020, di awal tahun triwulan I menunjukan, penurunannya hampir setengahnya, atau 50%.”

baca : Kisah Para Pemburu Hiu Pulau Ambo [1]

 

Darsuddin, Generasi kedua penangkap hiu di Pulau Ambo. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Di kawasan timur Indonesia, Pulau Ambo jadi tempat pendaratan hiu terbesar. Saban hari, ada puluhan hiu yang pangihang daratkan. Mereka memulai musim tangkap dari Juli hingga April. Saya menyaksikan itu ketika berkunjung di Pulau Ambo, pada Juli 2019. Melihat itu seperti menyaksikan proses pembantaian. Pantai berwarna merah, penuh darah hiu. Aksi jagal itu jadi tontonan warga, anak-anak tertawa memainkan tubuh hiu, menaikinya seolah menunggangi kuda.

Setelah semua bagian sirip terpisah dari tubuh, para anak buah pengumpul yang telah lama berjaga di Pulau Ambo mengambil daging hiu itu, lalu memasukkannya ke dalam kotak es kapal. Sementara sirip-sirip dijemur beberapa hari. Di Pulau Ambo, jemur sirip bukan sesuatu yang perlu disembunyikan. Mereka menjemurnya seperti ikan kering. Tapi, dari potongan sirip itu, mereka bisa hidup, rumah terisi perabot, dan anak bisa sekolah. Harga sirip yang mahal buat pangihang melanjutkan profesi itu.

Dari Pulau Ambo, produk hiu dikirim ke tangan pengumpul lokal di Mamuju dan Malunda, kecamatan di Majene, Sulbar. Dari dua tempat itu produk hiu berlanjut ke Kota Makassar dan berpencar sesuai permintaan: ekspor atau domestik.

Pulau Ambo terisolir laut lepas. Ia ada di tengah Selat Makassar, kalau tak ingin menyebutnya di tengah kepulauan Nusantara antar Pulau Kalimantan dan Sulawesi. Di sini hidup ratusan keluarga. Mereka hidup dari hasil laut yang kaya. Dari Mamuju, pusat kota Sulbar, butuh delapan jam ke Pulau Ambo. Pulau ini berpasir putih dengan luas hanya sepuluh hektare, bila surut, daratan pulau makin luas. Dari pulau tetangga, Ambo terpaut empat jam. Di seberang timur itulah, yang berjarak 20 mil, jadi wilayah penangkapan hiu. Di sana, pangihang memancing hiu lanjaman (Carcharhinus Falciformis), hiu macan (Galeocerdo cuvier), dan hiu biru (Prionace glauca), menggunakan rawai panjang.

Dari piramida industri hiu, para pangihang berada pada posisi dasar. Mereka, penopang industri ini, tapi juga berada di jurang ketimpangan. Penghasilan mereka jauh rendah dibanding para pengusaha hiu. Karenanya, dalam hitungan nafkah, berhenti tangkap hiu adalah petaka.

“Berhentinya proses pengiriman dan harga yang turun drastis merupakan penyebab utama nelayan berhenti,” kata Hamdana, petugas enumerator BPSPL Makassar untuk Pulau Ambo. “Mereka langsung berhenti melakukan penangkapan pada Maret 2020, setelah dua bulan aktif melakukan penangkapan di tahun yang sama.”

baca juga : Kisah Para Pemburu Hiu Pulau Ambo : Antara Produksi dan Konservasi [2]

 

Anakan hiu yang mati di Pulau Ambo. Di belakang, tubuh induknya yang tanpa kepala dan sirip. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Saya tidak bisa menghubungi pangihang di Pulau Ambo, karena keterbatasan jaringan telepon. Beberapa hari lalu, Hamdana baru saja dari Ambo. Sejak April, aktivitas perdagangan hiu di Pulau Ambo, benar-benar berhenti. Untuk sementara, para pangihang memancing ikan sunu dan jenis ikan lain.

Selain pangihang, dampak COVID-19 juga menebas penghasilan para pengumpul lokal di Sulbar. Di masa sulit ini, harga produk terjun bebas dan membuat mereka kesulitan memutar modal. Untuk daging, dari Rp3.500/kg turun jadi Rp3.000/kg, sedang sirip ukuran 50 cm jadi Rp925 ribu dan ukuran terkecil, 10 cm tinggal Rp 165 ribu. “Saya hanya ambil hitungan reratanya,” ujar Hamdana.

Ongkos berburu hiu terbilang mahal. Para pangihang butuh duit buat membeli bahan bakar, umpan, upah anak buah, ransum saat di tengah laut, perbaikan kapal dan alat pancing. Ongkos ini kadang dimodali para pengumpul atau juragan mereka.

Dua bulan sebelum menghentikan penangkapan, ada tiga kapal yang operasi. Sedikitnya, 400 hiu yang didaratkan. “Tangkapan itu berupa produk daging hiu basah. Semua laku terjual,” kata Hamdana.

Sementara untuk lalu lintas produk hiu di wilayah kerja BPSPL Makassar, kata Andry, mengalami penurunan. “Ini dapat dilihat dan diketahui dari berkurangnya atau menurunnya jumlah permohonan surat rekomendasi perdagangan hiu dan pari selama masa pandemi.”

Data BPSPL Makassar, dari Januari hingga April 2020, di Sulsel, sebanyak 1.678 kg sirip hiu dilalulintaskan ke Jakarta dan Hongkong. Tiga hiu hidup tujuan Jakarta dan Bali. Sementara 53.706 kg daging hiu beku dilalulintaskan ke Jakarta. Untuk Sulawesi Utara, ada 5.847 kg sirip hiu yang dipasok ke Hongkong dan 3.552 kg daging hiu beku yang dipasok ke Jakarta.

Selain itu, Sulawesi Tenggara, memasok 2.462,9 kg sirip hiu ke Bitung, Jakarta, Surabaya, dan Banyuwangi. Sulawesi Tengah hanya memasok 19.563 kg daging hiu beku ke Jakarta dan Sidoarjo.

perlu dibaca : Perdagangan Hiu : Pasar Memicu Kepunahan (3)

 

Ibu nelayan Pulau Ambo menjemur sirip hiu. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Namun, berkurang di satu tempat bukan berarti berhenti di tempat lain. Ribuan km dari Ambo, di Aceh, nelayan tetap menangkap hiu seperti biasa. COVID-19 tidak berdampak ke mereka. Akan tetapi, trip nelayan ke timur Sumatera, di sebagian wilayah Samudera Hindia dan Laut Andaman itu dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Kenapa tidak berhenti?

“Hal tersebut disebabkan daging hiu merupakan bahan konsumsi lokal. Di Aceh, hiu diperdagangkan sebagai bahan makanan tradisional yang digemari,” kata Benaya Simeon, Shark And Ray Senior Officer Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia.

Di Nusa Tenggara Barat, katanya, warga menjadikan daging hiu sumber protein hewani murah. Tapi penangkapan mulai terasa ada penurunan meski belum signifikan. Di sana harga daging hiu bervariasi dari Rp15.000/kg hingga Rp25.000/kg. Di dua tempat itu, menurut pendataan WCS, pasar domestik untuk daging tidak berhenti, namun sirip dan produk eksporlah yang tersendat.

“Namun demikian, semua bergantung dengan daya beli masyarakat, jika perekonomian pembeli terdampak oleh Corona, maka ada kemungkinan masyarakat bahkan tidak mampu (memenuhi) protein hewani murah termasuk daging hiu,” kata Benaya.

Di NTB, kata Benaya, pemburu hiu ada dua jenis. Pengguna rawai dasar dan rawai apung. Di masa pandemi, beberapa kapal rawai dasar menyetop penangkapan. Mereka pilih melaut dengan modal kecil dan menangkap ikan yang bisa dijual saban hari untuk menyambung hidup. Sementara kapal dengan rawai apung, beda. Mereka punya jalinan kongsi dengan pemodal atau pemilik kapal.

“Yang umumnya, mereka akan meminjam uang untuk bertahan hidup, di mana pemilik kapal pasti akan memberi pinjaman untuk memastikan mereka punya kru kapal yang andal, dan akan dibayar setelah ada hasil dari melaut,” tukas Benaya. Di lain sisi, daya beli konsumen kian turun, tapi para pemodal ingin duitnya bisa berputar. “Sehingga, sebetulnya beban ada di pemilik modal atau pemilik kapal.”

baca juga : Saat Hiu-Hiu itu Didaratkan di Pelabuhan Tanjung Luar

 

Hiu minyak (Centrophorus squamosus) di Aceh, salah satu hiu dengan habitat laut dalam. Foto : Herman

 

Data lain di NTB, perdagangan hiu alami penurunan pada triwulan pertama 2020. Penurunan itu hingga 68%, bila dibandingkan dari tahun sebelumnya. Begitu yang dicatat BPSPL Denpasar. Di periode itu, hanya 1.897 kg total produk hiu. Sebagian besar produk hiu dan pari dari provinsi tersebut diekspor ke Cina, Hongkong, Singapura, Malaysia, Amerika Serikat, dan di tempat lain.

“Penurunan saat ini adalah karena penurunan permintaan, penurunan harga, dan penumpukan stok di gudang,” kata Permana Yudiarso, Kepala BPSPL Denpasar.

Tak hanya sektor hulu produksi, di lini hilir juga alami penurunan, seperti di Bali. “Konsumsi hiu di kota-kota besar juga tentunya menurun karena tidak ada pengunjung,” kata Ranny Yuneni, Sharks and Rays Program Officer WWF Indonesia.

Di wilayah kerja BPSPL Makassar kata Andry, dampak COVID-19 menghantam pasar domestik. “Karena terpengaruh dari tidak adanya permintaan ekspor maupun adanya keterbatasan penerbangan cargo pesawat. Barang banyak menumpuk di gudang-gudang pengusaha, sehingga ada efek domino.”

Pendaratan hiu yang berkurang, bahkan tak ada sama sekali, kata Andry jadi hantaman telak bagi perdagangan ini. “Hal ini juga ada kemungkinan. Nelayan yang selama ini dibiayai oleh pengumpul tidak lagi menangkap hiu, kalaupun ada hanya sebagai tangkapan bycatch saja.”

baca juga : Miris… Melihat ‘Perburuan Hiu’ di TPI Beba Galesong Utara

 

Hiu Lanjaman tanpa sirip lagi, di tepi utara Pulau Ambo. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Menguntungkan konservasi?

Indonesia yang masuk kawasan Coral Triangle, menjadi surga bagi jutaan satwa laut. Tapi menjadi kawasan yang berbahaya bagi 127 jenis hiu. Mereka diburu atau sekadar nyangkut di kapal bycath.

Laut Indonesia menjadi tidak aman bagi hiu sejak tahun 1975, ketika penangkapan meningkat tanpa kendali. Dalam ‘Tinjauan Status Perikanan Hiu dan Upaya Konservasinya di Indonesia (Farmadi dan Dharmadi), puncak perburuan hiu terjadi di tahun 2000. Di tahun itu, mereka yakin populasi hiu di lautan menukik drastis.

Tiga spesies hiu tangkapan pangihang seperti hiu macan dan biru masuk dalam daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) dengan status hampir terancam punah (NT). Sementara lanjaman beresiko terancam punah (LC) dan oleh Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Spesies Terancam (CITES) dimasukkan dalam Apendiks II. Apendiks II adalah daftar spesies yang tidak terancam punah, tetapi bakal terancam bila perdagangan berlanjut tanpa pengaturan.

Tiga spesies tadi mempunyai waktu reproduksi yang lamban dibanding perburuannya. Hiu macan yang merupakan hewan ovovivipar ini butuh 16 bulan untuk melahirkan 10 sampai 82 anak. Hiu biru yang vivipar butuh 9-12 bulan untuk memproduksi 25 sampai seratusan ekor anak. Hiu lanjaman yang juga vivipar masa kehamilannya dalam rentang 9-14 bulan. Namun, lanjaman menghasilkan anak dengan jumlah sedikit, yakni 15-16 ekor. Untuk siap berkembang biak, satwa bertulang rawan itu butuh waktu hingga 30 tahun.

Tetapi, sampai pandemi belum punya ujung, para hiu itu setidaknya, terbebas dari kail dan pukat para pemburu. Di waktu ini, si predator laut itu punya waktu memulihkan populasinya yang makin tipis.

perlu dibaca : Menjaga Hiu Lanjaman dari Ancaman Kepunahan

 

Proses pembersihan isi perut hiu di Pulau Ambo. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Pegiat konservasi melihat ini sebagai peluang buat evaluasi bersama antar pemerintah dan mitra dalam pengelolaan hiu yang masuk apendiks CITES. “Ini juga bisa menjadi ruang untuk kita semua untuk perbaikan pengelolaan hiu untuk mendukung jenis-jenis yang terancam punah,” kata Ranny.

Menurut Ranny, bahan evaluasi yang penting salah satunya adalah ketelusuran produk hiu. Saat ini, katanya, informasi produk yang didapat dari eksportir hanya asal lokasi. Asal nelayan tidak. Dia melihat, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang kini menjadi Management Authority (MA) pengelolaan ikan, punya tugas mengevaluasi isu ini.

“Itu sangat penting,” kata Ranny. “Karena sekarang Indonesia ada 11 WPP (Wilayah Pengelolahan Perikanan) untuk pengaturan perikanan termasuk hiu. Sebenarnya, jika diketahui itu spesies ambil di mana lokasinya, maka itu akan terlihat tren penangkapan di area tersebut untuk effort penangkapannya. Jadi kalau effort-nya udah banyak di satu lokasi, ya… jangan lah ambil banyak di situ.”

Namun, bagi Benaya, ada atau tanpa pandemi, pengelolaan buat mengurangi tingkat kematian hiu di lautan itu perlu. Menurutnya, dengan karakter “perikanan yang multi-spesies” tangkapan bycath amat mengancam kelestarian hiu.

“Dikhawatirkan, jika perikanan hiu target beralih ke perikanan lain, namun melakukan aktivitas penangkapan di area pesisir, karena biaya operasional rendah, nelayan akan melakukan aktivitas penangkapan yang tidak terlalu jauh, dan tetap menangkap hiu sebagai tangkapan sampingan,” katanya. “Maka, hal tersebut juga akan berdampak pada populasi hiu secara jangka panjang. Mengingat pesisir merupakan daerah kritis bagi banyak spesies hiu, contohnya sebagai perairan pembesaran.”

 

Daging hiu yang dijajakan di sebuah pasar di wilayah monitoring WCS Indonesia. Foto : Benaya Simeon/WCS Indonesia

 

Sebelum COVID-19, mulai Juni 2019 perdagangan hiu dan pari menurun, sebagai efek kebijakan pengaturan baru dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.61/2018. Permen itu mengatur pemanfaatan jenis ikan yang dilindungi dan atau terancam, yang masuk dalam Apendiks CITES. “Dan terus berlanjut hingga yang disebabkan pandemi COVID-19,” ujar Andry.

Di laut, hiu menjadi predator puncak yang menahan ledakan populasi ikan pemangsa dan menyeimbangkan ekosistem laut, dari yang berhabitat terumbu karang hingga laut terbuka. Beberapa dari mereka akrab dengan para penyelam. Di beberapa film yang serupa Jaws, hiu dipertontonkan sebagai penyerang manusia. Namun, nyatanya, manusia adalah predator itu. Sirip dan daging hiu, dimakan dengan alasan khasiat dan lemaknya diperas menjadi minyak.

***

 

Keterangan foto utama : Perburuan hiu dilakukan karena sudah turun temurun, ditambah ada pemodal yang menyediakan perahu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version