Meski telah ada larangan perburuan dan perdagangan sirip hiu, namun aktivitas perdagangan sirip hiu masih marak di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Salah satunya di TPI Beba, yang terletak di Desa Tamasayu, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
Mongabay mencoba melakukan ‘perburuan’ atau penelusuran aktivitas perdagangan hiu ini, yang konon masih sering ditemukan di hari pasar, pada awal minggu kemarin. Keberadaan perdagangan hiu ini berdasarkan informasi dan foto yang diunggah seorang pengguna Facebook bernama Ipang di statusnya beberapa hari sebelumnya.
“Tadi pagi di TPI Beba, Galesong, Takalar. Sekitaran 30 ekor hiu yang sudah tak bersirip dan ikan marlin. Miris gue bang. Ada lembaga pengawasan di daerah tidak soal masalah ginian?” tulis Ipang dalam status tersebut.
Suasana TPI Beba pagi itu sangat ramai oleh nelayan dan pembeli yang datang langsung ke pantai, tempat dimana puluhan perahu nelayan ditambatkan. Terlihat kerumunan orang di beberapa titik, saling tawar menawar hingga kemudian tercapai kesepakatan harga.
Mata saya mencari-cari hiu yang dimaksud Ipang tersebut di setiap kerumunan. Muhammad Nadir Rasyid, seorang mahasiswa pascasarjana Universitas Hasanuddin yang sedang meneliti tentang perdagangan telur ikan terbang (tarowani), menemani saya dan sesekali menjadi penerjemah bahasa lokal yang saya tak pahami.
Menurut Nadir, hiu mungkin agak kurang karena sedang bulan purnama. “Biasanya kalau waktu-waktu seperti sekarang, tak banyak tangkapan ikan nelayan. Minggu lalu memang agak banyak hiu yang sempat dijual warga,” katanya.
Mata saya masih mencari-cari ditumpukan ikan pedagang, ketika seorang nelayan bertanya jenis ikan yang saya inginkan. Ketika saya bertanya tentang hiu, nelayan itu menjelaskan bahwa hiu sudah jarang bisa ditemukan karena dilarang pemerintah.
“Kalau pun ada pasti karena tak sengaja tersangkut pancing. Setelah adanya larangan penggunaan alat tangkap ikan cantrang, sebagian besar ikan di sini hasil pancingan, termasuk ikan-ikan yang besar itu,” kata nelayan tadi sambil menunjuk sejumlah ikan tuna besar yang telah dipotong-potong oleh penjualnya.
Saya tak langsung percaya dengan penjelasan nelayan tadi. Saya terus berkeliling hingga kemudian saya menemukan tumpukan beberapa hiu yang sirip dan ekornya telah dipotong. Dibiarkan tergeletak di tanah tanpa alas, bercampur dengan limbah plastik yang bertebaran di tempat itu.
“Ini sirip dan ekornya telah dipotong. Daging hiu biasanya dibuang begitu saja karena jarang yang mau makan, merasa jijik. Hanya baru-baru ini saja mulai ada yang membeli, biasanya dari daerah pegunungan yang tidak begitu melihat kualitas ikannya. Yang penting bisa dimakan,” jelas Nadir.
Saya berkeliling lagi dan menemukan beberapa pari bintik dalam ukuran besar dan kecil. Ukuran besar dijual Rp 40ribu per ekor. Saya juga menemukan ikan napoleon kakatua yang cukup besar, yang dijual dengan harga Rp250 ribu per ekor.
Makin ketat
Tak mendapatkan informasi yang cukup tentang perdagangan hiu ini, Nadir kemudian mempertemukan saya dengan seorang pedagang sirip hiu bernama Muhammad Ali. Di daerah tersebut ia disebut papalele, yang memiliki posisi sebagai pemberi modal bagi nelayan.
Menurut Ali, aktivitas penangkapan hiu dalam dua tahun terakhir menurun drastis menyusul ketatnya kebijakan pelarangan dari Menteri Susi Pudjianti. Meski masih kerap membeli sirip hiu, namun itu adalah hasil dari pancingan tak sengaja dari nelayan dan dibeli secara sembunyi-sembunyi.
“Daripada dibuang begitu saja, ya lebih baik diambil saja siripnya.”
Menurutnya, sebagian besar Hiu yang ditangkap tersebut berasal dari luar perairan Makassar, seperti dari Mamuju, Kalimantan dan Papua.“Kalau sekitar sini tak banyak hiu yang ditemukan. Paling nelayan dapat secara tak sengaja ketika mencari sunu merah dan ikan lainnya.”
Jika sebelum adanya larangan, Ali mengakui bisa membeli hingga ratusan kg sirip ikan dalam berbagai ukuran, kini paling banyak hanya bisa membeli 30 kg. Itupun sebagian besar dibelinya dari luar Makassar, yaitu dari Fakfak, Papua Barat.
“Ada nelayan di sana yang biasa kirim sirip meski tak banyak. Kini pun mulai agak susah karena pengawasan di pelabuhan yang sangat ketat. Pintar-pintarnya kita selundupkan supaya bisa sampai ke sini.”
Ali kemudian mempertanyakan adanya larangan tersebut, karena populasi ikan hiu tidak berkurang meski terus diambil.
“Kenapa mesti dilarang? Padahal nelayan sangat terbantu dengan adanya usaha sirip ikan ini. Begitupun dengan ikan pari dan ikan-ikan lainnya. Banyak nelayan mengeluh karena pendapatan mereka sekarang sudah jauh berkurang, sementara kebutuhan keluarga justru semakin meningkat.”
Menurut Ali, perairan Makassar dan Galesong sebenarnya memiliki sejarah penangkapan hiu, yang dimulai sekitar tahun 1980-an. Sebelum adanya larangan, nelayan dulunya menangkap hiu menggunakan jaring dan rawi. Sekali melaut nelayan bisa menangkap puluhan hiu dari berbagai jenis.
Secara ekonomis perdagangan sirip hiu dinilai sangat menguntungkan. Harga sirip ikan ini beragam tergantung pada jenis hiu dan ukurannya. Paling mahal adalah sirip hiu lontar, yang bisa berniliai Rp2 juta per kg.
“Kalau ukuran 45 cm itu yang bisa Rp2 juta per kg, sementara 40 cm sekitar Rp1,5 juta. Semakin kecil siripnya semakin murah harganya meski beratnya sama.”
Hiu lontar atau Rhynchobatidae sendiri kini termasuk hiu langka karena paling diminati dan paling mahal diantara jenis hiu lainnya. Kulitnya yang tipis memiliki kandungan hisit yang tinggi di dalam siripnya.
Beralih ke Tarowani
Ali sendiri kini lebih banyak memodali usaha pencarian telur ikan torowani (ikan terbang) yang lebih menjanjikan dan belum ada larangan. Nelayan Galesong memang dikenal sebagai pencari telur ikan tarowani yang tangguh, yang berlayar hingga Papua Barat.
Sebagai pappalele, tugas Ali adalah menyediakan modal bagi nelayan yang akan berangkat melaut. Sekali melaut biaya yang dibutuhkan bisa mencapai Rp100-an juta, untuk kebutuhan bahan bakar, akomodasi, serta membiayai keluarga yang ditinggal selama melaut.
Pola kerjasama penangkapan dengan bagi hasil ini menurut Ali, sudah berlangsung sejak dulu, meskipun kemudian ada sejumlah perubahan-perubahan tertentu dalam pelaksanaannya.
Sistem pembagian hasilnya biasanya pappalele akan mendapatkan 30 persen dari seluruh hasil tangkapan, setelah ia mendapatkan kembali modal atau pinjaman yang diberikannya. Sebagai ilustrasi, jika nelayan mendapatkan hasil Rp200 juta, maka terlebih dulu Pappalele mendapatkan Rp100 juta yang dipinjamkannya kepada nelayan tersebut.
Dari sisa Rp100 juta ini, Pappalele akan mendapatkan pembagian 30 persen atau sekitar Rp30 juta. Sisanya Rp 70 juta akan dibagi rata kepada semua awak kapal dimana kapten kapal akan akan mendapatkan jatah dua kali lebih banyak dibanding nelayan lainnya.
Nadir, yang tengah meneliti tentang hal ini, menilai hubungan ini sangat eksploitatif namun tetap diterima kedua belah pihak dengan baik.
“Mereka beralasan kalau ini memang aturan yang sudah ada sejak dulu. Para nelayan pun tak banyak protes karena dianggap memang seperti itu adanya.”
Tidak hanya pada pembagian hasil tangkapan, nelayan juga berada dalam posisi yang dirugikan karena setiap potensi kegagalan dari melaut hanya ditanggung oleh nelayan.
“Untung dinikmati bersama, kalau rugi maka hanya nelayan yang rugi. Kalau misalnya hasil tangkapan tidak banyak, nelayan tetap harus melunasi seluruh hutang yang diambil dari Pappalele. Jadi tak dikenal istilah tanggung rente di sini.”
Ali sendiri berkilah harus mendapatkan kembali modal yang diberikan itu secara utuh karena dirinya pun biasanya harus meminjam uang di bank untuk diberikan kepada nelayan.
“Kalau nelayan tidak membayar utang modal usaha tersebut, bagaimana saya harus melunasi utang-utang saya di bank?”
Ali berharap pemerintah bisa memberikan perhatian kepada nelayan pencari telur ikan tarowani ini dengan sistem pembelian dari pemerintah ketika harga lesu, serta dukungan permodalan.
“Kalau bisa pemerintah bisa membeli telur ikan ini ketika hasil melimpah, karena saya melihat adanya indikasi permainan harga di tingkat pedagang. Kalau melihat tangkapan banyak mereka tidak membeli sehingga kami akhirnya menjual murah.”
Terkait permodalan, Ali mengakui belum bisa mengakses modal dalam jumlah besar.
“Paling tinggi di KUR hanya bisa dapat Rp 25 juta. Kalau yang besar-besar baru satu di daerah ini yang bisa akses dari pemerintah. Kita belum tahu bentuk dan mekanismenya seperti apa.”