Mongabay.co.id

Negara Harus Jeli Telusuri Jejak Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal Perikanan

 

Pemerintah Indonesia harus bisa lebih jeli dalam melaksanakan pengkajian tentang awak kapal perikanan (AKP) Indonesia yang selama ini berangkat untuk bekerja pada kapal perikanan luar negeri dengan cara yang mandiri. Kejelian juga harus ada, karena bisa jadi ada AKP yang berangkat melalui agen penempatan yang bekerja sama dengan agen perekrut di luar negeri.

Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno mengatakan, dorongan untuk bisa bersikap lebih jeli disuarakan, karena pihaknya sampai saat ini masih belum merasa yakin kalau Pemerintah Indonesia sudah memahami dengan baik alur para pekerja saat akan bekerja di kapal perikanan yang ada di luar negeri.

“Jangan-jangan Pemerintah selama ini luput mengawasi sejumlah perusahaan yang menjalankan upaya perekrutan dan penempatan, tetapi mereka tidak memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan, bahkan patut diduga melakukan bisnis tindak pidana perdagangan orang,” ungkap dia dari Tegal, Jawa Tengah, pekan lalu.

Selain bisa bersikap lebih jeli kepada para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja pada kapal perikanan di luar negeri, Pemerintah juga harus bisa melakukan langkah lebih cepat untuk bisa melaksanakan pemeriksaan jejak rekam para perusahaan yang melakukan perekrutan di Indonesia.

Dalam keterangan resmi yang dikirim kepada Mongabay, dia menyebut bahwa perusahaan-perusahaan tersebut yang melakukan perekrutan dan penempatan, diduga sudah melakukan proses tanpa prosedur yang tepat dan mengikuti tata aturan hukum yang berlaku di Indonesia.

“Terutama, norma-norma umum yang sudah diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia,” ungkap dia.

baca : Kasus Pelarungan Mayat: Awak Kapal Perikanan Indonesia di Pusaran Praktik Perbudakan dan Kerja Paksa

 

Prosesi pelarungan di laut ABK asal Indonesia yang meninggal di salah satu kapal perikanan milik Dalian Ocean Fishing. Foto : screenshoot Youtube MBC News/Mongabay Indonesia

 

Pernyataan di atas diungkap ke publik, karena Pemerintah Indonesia sudah menindaklanjuti persoalan dugaan eksploitasi terhadap AKP Indonesia yang bekerja pada kapal perikanan berbendera dan milik perusahaan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Dalian Ocean Fishing Co., Ltd.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menggelar rapat virtual bersama kementerian dan lembaga yang terlibat dalam persoalan tersebut. Rapat tersebut dinilai cukup memberi harapan bagi para pejuang buruh migran kelautan, bahwa Pemerintah Indonesia sudah meningkatkan kesadaran dan perhatian atas kasus-kasus serupa.

“Peran Kemenko Marves dalam menjalankan fungsi koordinasi kementerian dan lembaga untuk menyelesaikan amburadulnya tata kelola perlindungan ABK (anak buah kapal) Indonesia,” jelas dia.

Dalam rapat yang dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Marves Luhut Binsar Pandjaitan itu, Pemerintah Indonesia menegaskan upaya untuk mendorong percepatan harmonisasi rancangan peraturan Pemerintah (RPP) tentang perlindungan awak kapal niaga dan awak kapal perikanan.

 

Perekrutan dan Penempatan

Hariyanto mengatakan kritikan dialamatkan kepada Pemerintah Indonesia, karena dia menyebutkan bahwa di Indonesia sudah ada enam perusahaan yang berperan sebagai perekrut dan penempatan untuk seluruh AKP yang mendaftar.

“Perusahaan-perusahaan tersebut perlu menjadi prioritas evaluasi dan penegakan hukum terkait berbagai dugaan pelanggaran dalam perekrutan dan penempatan AKP Indonesia dalam sejumlah kasus,” papar dia.

Adapun, enam perusahaan yang dimaksud, adalah PT Puncak Jaya Samudra (PJS), PT Bima Samudera Bahari (BSB), PT Setya Jaya Samudera (SJS), PT Bintang Benuajaya Mandiri (BBM), PT Duta Samudera Bahari (DSB), dan PT Righi Marine Internasional (RMI). Empat dari enam perusahaan tersebut diketahui ada di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.

Perusahaan-perusahaan yang disebutkan di atas, diduga kuat masih memiliki kaitan yang erat dengan salah satu atau lebih dari 13 kapal perikanan asing dari berbagai negara di dunia yang melakukan praktik eksploitasi seperti kerja paksa dan perdagangan manusia kepada AKP yang berasal dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

baca juga : Eksploitasi Tenaga Kerja Perikanan yang Tak Pernah Usai

 

Ilustrasi. Nelayan menurunkan hasil tangkapan dari kapal troll di pelabuhan Tegal, Jawa Tengah. Nelayan adalah salah satu mata pencaharian utama bagi orang yang tinggal di daerah Pesisir Utara Jawa. Foto : Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

Menurut Hariyanto, dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini sudah banyak korban berkaitan dengan AKP Indonesia yang dieksploitasi. Dari data yang dimiliki BSMI, sudah ada sebanyak 257 orang yang menjadi korban eksploitasi, dan itu tidak termasuk dengan temuan yang ada dalam serikat pekerja buruh migran atau pun pekerja perikanan.

“Jadi, wajar saat ini kita meragukan keseriusan dan kapasitas Pemerintah untuk melakukan pengawasan, sekaligus evaluasi, dan juga penertiban terhadap perusahaan-perusahaan yang diduga melakukan eksploitasi terhadap ABK Indonesia,” ungkapnya.

Sedangkan Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah menjelaskan, praktik eksploitatif dari tahap perekrutan hingga kondisi kerja paksa saat berada di atas kapal adalah bentuk-bentuk nyata dari perbudakan modern.

Perbudakan modern di atas kapal ikan tersebut juga erat kaitannya dengan kegiatan penangkapan ikan ilegal dan merusak yang menyebabkan kondisi stok ikan dan ekosistem laut semakin terancam. Dengan kata lain, kapal ikan asing (KIA) yang melaksanakan praktik eksploitasi seperti kerja paksa dan perdagangan orang, biasanya juga melakukan aktivitas penangkapan ikan dengan cara ilegal, tak diatur, dan tak dilaporkan (IUUF).

“Ini yang mengerikan, karena ternyata kapal perikanan global yang melaksanakan praktik-praktik terlarang dan tak terpuji ini jumlahnya banyak di dunia, dengan nilai pendapatan yang sangat dahsyat,” tuturnya.

baca juga : Belajar kepada Bitung untuk Melindungi Tenaga Kerja Perikanan

 

Ilustrasi. 323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Pengawasan Ketat

Menurut Afdillah, praktik-praktik terlarang seperti yang sudah disebutkan di atas, juga berkaitan erat dengan Indonesia, karena selama ini Negara sudah ikut berperan sebagai distributor besar untuk praktik-praktik perikanan yang penuh intrik.

Agar tidak semakin membesar dan menggurita, Pemerintah sebaiknya harus segera bertindak dengan membuat dan mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi persoalan praktik eksploitasi pada tenaga kerja perikanan. Kata dia, harus ada pengawasan lebih ketat dari Pemerintah untuk melindungi warga Negara Indonesia yang bekerja sebagai tenaga kerja perikanan di kapal perikanan asing.

“Berharap praktik-praktik ini di masa depan bisa menghilang. (Mereka) bisa mendapat lebih baik perlakuan dan kapal-kapal ikan asing juga tidak lagi melakukan praktik IUUF dan perbudakan di atas kapal,” sebut dia.

Juru Kampanye Digital Greenpeace Asia Tenggara Elizabeth Monaghan dalam sebuah tulisan yang diunggah pada situs web Greenpeace, Desember 2019 lalu, menyebutkan lima alasan kenapa perbudakan modern di laut masih terus ada sampai sekarang.

Kelima alasan tersebut adalah:

  1. Mencoba peruntungan untuk bekerja, karena dijanjikan bayaran yang pantas;
  2. Terpikat agen tenaga kerja dengan jebakan janji palsu;
  3. Populasi ikan menurun dengan sangat cepat;
  4. Alih muat di tengah laut; dan
  5. Kurangnya pengawasan atau dukungan dari Pemerintah (Indonesia)

Poin-poin di atas, menurut Elizabeth, sangat sering dialami oleh para pencari kerja yang berasal dari dua negara berkembang di Asia Tenggara, yakni Indonesia dan Filipina. Oleh itu, negara di Asia Tenggara yang menjadi anggota ASEAN, khususnya kedua negara dimaksud, harus bisa membuat kebijakan tegas untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan dan lingkungan.

Selain itu, negara ASEAN juga harus bisa mengambil langkah untuk menangani diskriminasi tingkat tinggi yang sering terjadi pada kapal perikanan yang melakukan penangkapan ikan di lokasi jauh atau menempuh jarak yang jauh.

Bagi Elizabeth, perlunya keterlibatan negara-negara di dunia, utamanya yang ada di Asia Tenggara, karena dia dan Greenpeace menilai kalau model industri penangkapan ikan secara global dengan cara yang ‘tidak terlihat dan tidak terpikirkan’, bukan lagi menjadi cara yang tepat untuk sekarang. Jangan sampai, ada pekerja migran yang menderita karena penerapan metode tersebut.

“Dengan pandangan masyarakat dunia yang ikut menonton, sudah waktunya untuk mengambil langkah pertama untuk memastikan bahwa perbudakan modern di laut menjadi bagian dari masa lalu,” pungkas dia.

perlu dibaca : Perlindungan Awak Kapal Perikanan Dimulai dari Daerah Asal

 

Ilustrasi. Nelayan Bajo Sangkuang saat menarik ikan. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

Koordinasi Kementerian

Sedangkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengatakan pihaknya memiliki dua opsi solusi yang diajukan ke Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) untuk menyelesaikan masalah ABK yang bekerja di kapal asing.

 

Opsi pertama ialah menyetujui masukan dari Duta Besar Indonesia di Selandia Baru untuk melakukan moratorium ABK Indonesia di kapal perikanan asing. Opsi kedua, memberikan masukan teknis untuk perizinan ABK yang akan bekerja di kapal asing.

 

“Dua ini terserah mana yang akan disetujui. Jadi intinya adalah, ini (ABK) masalah kompleks,” jelas Menteri Edhy dalam forum diskusi virtual Chief Editor Meeting (CEM), Rabu (13/5/2020)

Jika nantinya opsi moratorium yang diambil, Edhy menyebut KKP siap memberikan akses lapangan kerja agar para ABK Indonesia bekerja di kapal perikanan lokal. Bahkan, pihaknya telah menyiapkan kemudahan perizinan bagi para pemilik kapal perikanan agar mereka bisa menyediakan lapangan kerja.

“Hitungan saya kita masih butuh ABK, kalau satu kapal butuh 30 ABK, 1.000 kapal butuh 30.000 (ABK),” sambungnya.

Karenanya, Edhy berkomitmen untuk menyelasaikan persoalan ABK dari hulu terlebih dahulu, dengan cara membangun komunikasi untuk menyamakan persepsi dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Perhubungan yang kewenangan berdasarkan undang-undang untuk memberikan izin bekerja kepada para ABK.

 

Exit mobile version