Mongabay.co.id

Kebun Sawit Riau Terluas, Tak Jamin Rakyat Sejahtera dan Berdaulat Pangan

Kebakaran di Dusun Suka Damai, Desa Tanjung Leban, Kecamatan Kubu, Rokan Hilir, Riau, tak hanya menghanguskan kebun, sawit warga, juga belasan rumah, sepeda motor dan mobil pick up, Jumat (17/8/18). Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Riau, memiliki kebun sawit terluas di Indonesia, hampir 3,4 juta hektar. . Punya kebun tak lantas jadikan provinsi ini sejahtera, makmur dan berkedaulatan pangan. Bahkan sebaliknya, tingkat kesejahteraan rendah pada  enam dari tujuh kabupaten dengan luas perkebunan sawit terbesar di Riau.

Berdasarkan data Statistik Kesejahteraan Masyarakat Riau 2018 yang dihimpun Yayasan Madani Berkelanjutan, Kabupaten Indragili Hulu, Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hulu, Kampar dan Rokan Hilir, didapuk sebagai kabupaten dengan kesejahteraan rendah. Deli beli masyarakat lebih banyak mengalokasikan 50% lebih dari pengeluaran untuk makanan. Hanya Kabupaten Siak bisa dibilang sejahtera karena pengeluaran untuk makanan hanya 49,75%.

Baca juga: Ketika Perusahaan Sawit Serobot Lahan Warga Tiga Desa di Jambi

Kalau melihat dari luasan perkebunan, sawit mendominasi kabupaten-kabupaten ini dengan jadi komoditas unggulan, lebih dari 65% komoditas perkebunan adalah sawit. Lebih dari 70% pertanian di kabupaten-kabupaten itu adalah lahan sawit.

“Data kami bahkan menunjukkan jika empat dari tujuh kabupaten itu, Bengkalis, Rokan Hulu, Indragiri Hulu dan Kampar, termasuk rawan pangan,” kata Intan Elvira, peneliti Yayasan Madani Berkelanjutan, dalam diskusi bertajuk Kesejahteraan dan Panen Bencana di Sentra Sawit Riau, awal Mei lalu.

Untuk tiga kabupaten lain, indikator ketahanan pangan hanya di tingkat rendah (Pelalawan dan Rokan Hilir) serta sedang (Siak). Untuk itu, kata Intan, perlu strategi diversifikasi komoditas sebagai alternatif meningkatkan taraf hidup masyarakat dan ketahanan pangan kabupaten itu.

“Langkah strategis ke depan adalah kesejahteraan masyarakat perlu digantungkan pada beberepa komoditas, kalau hanya satu komoditas berisiko pada ketahanan pangan daerah,” katanya.

Vera Virgianti, Kepala Bidang Produksi Perkebunan Riau tak menyangkal kemiskinan di daerah-daerah yang didominasi sawit. “Tapi itu semua karena rantai pasok sangat panjang, petani tidak langsung jual ke pabrik, tapi melalui peron-peron. Itu yang jadikan mereka tidak menerima hasil. Harga jauh dari harga yang ditetapkan pemerintah,” katanya.

 

 

Managemen petani sawit yang tak teratur, katanya, jadi satu keluhan Vera. Belum ada kelembagaan di tingkat petani, katanya, hingga pemerintah daerah–dalam hal ini pemerintah kabupaten–, tak bisa membantu petani mengadakan kerjasama langsung dengan pabrik seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun.

“Yang jadi masalah utama, kami belum pendataan komprehensif terhadap potensi perkebunan di Riau. Kami belum dapat data pasti di mana petani-petani swadaya yang dapat dibantu,” katanya.

Pemerintah Riau pun, katanya, tidak dapat berbuat banyak atau menghentikan animo masyakat menanam sawit. Meskipun demikian, dia menjamin tidak ada lagi ekstensifikasi sawit secara formal oleh Pemprov Riau.

Baca juga: Fokus Liputan: Cerita dari Toro, Dusun Sawit di Tesso Nilo (Bagian 1)

Pemprov, kata Vera, mendukung diversifikasi dengan mengalokasikan lahan dalam program lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) sesuai arahan pemerintah pusat.

Dalam Perda 10/2018, Pemprov Riau mengalokasikan lahan 87.000 hektar, namun yang eksisting masih 62.000 hektar.

“Di Riau ini memang sulit menanam padi, karena sebagian besar rawa. Kita bisa tanam tapi produktivitasnya rendah. Jadi, dominasi sawit tidak ada hubungan dengan ketahanan pangan,” katanya, seraya bilang, Pemerintah Riau mendorong komoditas unggulan lain seperti karet, kelapa dan sagu.

Ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mengendalikan komoditas perkebunan juga diakui Wan Muhammad Yunus, Kepala Bappeda Siak. Dia menyebut, animo tinggi masyarakat menanam sawit didorong faktor ekonomi.

“Dulu, orang menanam karet, karena harga memang menjanjikan. Sekarang, karet sudah jatuh harga hingga orang gantungkan harapan pada sawit,” katanya.

 

Menandang hutan alam di Taman Nasional tesso Nilo, yang terbabat dan berubah menjadi kebun sawit, Minggu (12/11/17). Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Kebun sawit kembali ke tani padi

Saat ini, terjadi perubahan tren di Siak. Petani Siak mulai melirik kembali padi. Jadi, kebun sawit berubah jadi lahan pertanian padi karena jauh lebih menghasilkan ketimbang sawit.

Dia sebutkan, di Desa Bungaraya, 200 hektar sawah kembali ditanami padi setelah sebelumnya 4.000 hektar jadi perkebunan sawit. “Sudah ada 5-6 ton per hektar hasil padi. Dengan banyaknya perhatian dari pemerintah terhadap sawah, ini mendorong masyarakat menanam padi,” katanya.

Baca juga: Perpres ISPO Terbit, Akankah Perkuat Perbaikan Tata Kelola Sawit?

Wan bilang, kondisi ini menunjukkan lahan gambut pun masih bisa tanam padi, sekalipun memerlukan teknologi pertanian khusus sebagai bantuan. Setidaknya, gambut untuk padi tak terlalu bermasalah dibandingkan untuk sawit.

 

Dampak jangka panjang

Pramono Hadi, Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gajah Mada mengatakan, lahan gambut untuk pertanian seperti padi tetap akan menghasilkan efek bagi ekosistem lahan basah itu.

“Memang bisa ditanami, tapi yang perlu diingat gambut kalau makin diolah akan makin kempes,” katanya.

Kondisi ini, akan berbahaya bagi ekosistem lahan gambut rendah. Ketika gambut sudah makin turun, air akan makin meninggi dan lahan itu tak akan lagi cocok untuk area tanam, termasuk padi.

Meskipun saat ini dengan ada Badan Restorasi Gambut yang mengklasifikasikan gambut mana yang bisa budidaya, Hadi tetap melihat ada risiko yang mengintip sekalipun lahan gambut adalah gambut tipis.

“Risikonya, kebakaran. Saat kemarau akan kebakaran dan dampaknya panjang sekali, pemiskinan unsur hara dan produktivitas.”

Kebakaran dan banjir di gambut ini jadi salah satu gambaran dari tata kelola salah yang terintegrasi dengan kehilangan kawasan hutan. Riau, katanya, salah satu provinsi yang merasakan itu.

Dari kajian Yayasan Madani Berkelanjutan, kabupaten-kabupaten di Riau merasakan bencana ekologis setelah 2-3 tahun tutupan hutan hilang. Pada 2017-2019, secara khusus jadi periode memanen bencana          dariatas kehilangan tutupan hutan pada 2011-2015.

 

Kebakaran di Dusun Suka Damai, Desa Tanjung Leban, Kecamatan Kubu, Rokan Hilir, Riau. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

 

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, karena semua pertimbangan dan keputusan menggunakan pasar dan investasi sebagai tolak ukur hingga kerentanan bencana dan masyarakat jadi dikesampingkan.

“Tidak pernah kita berbicara soal kerentanan rakyat. Apakah rakyat akan terdampak dengan pembukaan-pembukaan lahan yang ada? katanya.

Kalau komoditas hanya ikuti pasar, seperti sawit di Riau itu, katanya, masyarakat dan daerah tak langsung merasakan dampaknya. “Menggantungkan ekonomi dan harapan untuk satu jenis komoditas adalah kekeliruan, selama 40 tahun kita absen tata kelola sawit lebih baik, dan masyarakat tidak sejahtera,” katanya.

Dia meminta, pemerintah mengerem upaya eksploitasi lahan, terutama gambut. Harus ada waktu kepada akademisi dan ahli untuk temukan komoditas mana yang tepat untuk dikembangkan.

“Sawit dan akasia ini tidak cocok di lahan gambut, padahal bisa dicobakan sistem paludikultur, yang bermanfaat ekonomi dan hasilkan bio massa.”

 

Keterangan foto utama: Kebakaran di lahan gambut yang jadi kebun sawit, sudah merambat ke rumah dan kendaraan di Riau. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version