Mongabay.co.id

Tidak Hanya Finansial, Korupsi SDA Juga Berdampak pada Perusakan Ruang

 

Membicarakan korupsi di sektor sumber daya alam sangat relevan karena posisinya secara ekonomi sangat tinggi, yang memberikan 12-38 persen dari PDB Indonesia dengan serapan tenaga kerjanya sekitar 40 juta orang, meski dari segi pajak hanya berkontribusi sebesar 3,87 persen.

Pada 2018 KPK mencatat di sektor minerba potensi kerugian yang bersumber dari kurang bayar pajak sebesar Rp15,9 triliun, belum lagi dari administrasi serta perizinan yang buruk mencapai Rp28,5 triliun.

“Potensi kerugian dari korupsi SDA cukup mencengangkan karena nilainya mencapai triliunan rupiah dan bahkan bisa mencapai ratusan triliun jika digabungkan dari waktu ke waktu, sehingga harus ada strategi untuk mengurangi korupsi tersebut,” ungkap Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, dalam diskusi daring yang dilaksanakan KPK, Rabu (6/5/2010).

Menurut Hariadi, selain berdampak secara finansial, korupsi sektor sumber daya alam juga berdampak pada terjadinya pengrusakan fungsi ruang.

“Ketika bencana terjadi, ini adalah akumulasi dari semua terkait SDA yang meningkat dari tahun ke tahun, baik jumlahnya ataupun korbannya dan sebarannya. Sehingga korupsi ini menyebabkan kerugian jauh lebih besar dari yang kita perkirakan selama ini,” katanya.

Salah satu implikasi korupsi ini bagi penggunaan ruang bisa dilihat dari sektor perizinan di mana banyak terjadi tumpang tindih perizinan yang juga berpotensi menyebabkan konflik. Di Bali dan Nusa Tenggara misalnya, terdapat 50,38 persen, lalu di Kalimantan sebanyak 42,12 persen, begitu juga di Sumatera, Jawa dan Papua.

baca : Begini Daya Rusak Korupsi Sumber Daya Alam, Bagaimana Penanganan KPK?

 

Potensi kerugian dari korupsi SDA cukup mencengangkan karena nilainya mencapai triliunan rupiah dan bahkan bisa mencapai ratusan triliun jika digabungkan dari waktu ke waktu. Foto: Hariadi Kartodihardjo/Mongabay Indonesia.

 

Apa sebenarnya yang terjadi?

Berdasarkan hasil survei GNP-SDA KPK tahun 2016-2017 dengan sampel 400 orang, terdiri dari donatur yang melakukan bantuan pada calon-calon kepala daerah dalam konteks Pilkada, diketahui bahwa penyebab atau motivasi korupsi sektor SDA ini bermacam-macam, mulai dari faktor kemudahan ikut tender, keamanan menjalankan bisnis, akses di daerah, termasuk akses perizinan bantuan sosial dll., dimana 80 persen pelaku korupsi dari pihak swasta.

“Ini adalah motivasi yang kita sebut adalah bentuk-bentuk ikatan politik. Kita tidak bisa hanya melihat ini suatu hal yang teknis, tapi terkait persoalan ikatan politik pemerintah dan swasta terkait proses Pilkada,” jelas Hariadi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Hariadi terhadap 14 kasus dalam rentang waktu 2017-2018 terkait mekanisme korupsi di dalam organisasi, terutama organisasi-organisasi pemberi izin, ditemukan bahwa selalu ada middle man dan eminent person dalam proses ini.

“Mereka bisa macam-macam, ada dari mantan menteri, gubernur, bupati dan sebagainya yang ikut mempengaruhi proses ini. Dalam proses inilah sekaligus ada pelembagaan, diam-diam ada sosialisasi bagaimana kooptasi pimpinan dan lembaga-lembaga itu berkompromi dan juga melahirkan perintah-perintah formal di dalamnya itu. Ini bisa menjadi medium penguasaan SDA diperoleh melalui keistimewaan-keistimewaan,” tambahnya.

Hariadi juga menemukan adanya mekanisme pelembagaan korupsi melalui proses yang disebut pseudo-legal, yaitu menggunakan seluruh instrumen negara dan fasilitasnya, tetapi urusan pelayanan dan prosesnya sebenarnya urusan personal dan kelompok, yang kemudian menjadi satu kesatuan.

“Dari semua proses inilah kemudian muncul sesuatu yang terkait dengan penyimpangan, misalnya manipulasi peta seperti perubahan peta yang tak perlu dikonversi menjadi boleh, ada pemerasan, ada tawaran tambahan luas dengan suap, biaya amdal dan lainnya. Proses ini terjadi sangat alamiah, tidak ada paksaan, mengalir begitu saja, sehingga dari situlah kita melihat akibat-akibat adanya moral hazard pada izin lingkungan,” jelasnya.

baca juga : Pelemahan KPK Untungkan Mafia Sumber Daya Alam

 

Korupsi sektor SDA selain berdampak secara finansial, juga berdampak pada terjadinya pengrusakan fungsi ruang, seperti bencana yang diakibatkannya. Foto: Hariadi Kartodihardjo/Mongabay Indonesia.

 

Tiga Kategori Korupsi

Laode Muhammad Syarief, Komisioner KPK periode 2015-2019 yang kini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Kemitraan, menjelaskan bahwa apa yang biasa disebut sebagai kutukan sumber daya alam seharusnya tak ada, tetapi kenyataannya masih banyak terjadi.

“Kalau kita lihat dari segi teorinya, bisa kita lihat bahwa lingkungan itu sangat interdependence, di mana sumber daya alam hanyalah bagian sedikit, sehingga kalau kita merusak yang satu maka akan merusak yang lain. Sehingga sangat penting menjaganya, bukan saja untuk kita sekarang tetapi juga untuk anak cucu kita dan generasi yang akan datang, sehingga jaring laba-labanya itu jangan kita rusak,” katanya.

Menurut Laode, korupsi sumber daya alam di Indonesia sudah terjadi di mana-mana dan semakin bertambah. Ia memberi contoh tambang Gunung Botak, di Kabupaten Buru, Maluku, di mana hutan lindung dijadikan sebagai kawasan tambang dan hingga sekarang masih terus menerus beroperasi.

“Sampai presiden ke sana menyuruh stop tapi setelah presiden pulang masih dilaksanakan,” katanya.

Ia juga mencontohkan kasus tambang di Sulawesi Tenggara, di mana terdapat banyak kasus tambang ilegal namun tak ada tindakan apa pun dari aparat.

“Di Konawe terdapat tambang yang dibiarkan terbuka setelah diambil hasilnya tanpa ada usaha perbaikan setelahnya, padahal sebelum menambang ada kesepakatan bahwa harus ada reklamasi setelahnya,” tambahnya.

perlu dibaca : Menanti Keseriusan Pembenahan Tata Kelola Lingkungan pada Periode Kedua Jokowi

 

Korupsi sektor SDA telah menyebabkan banyaknya ketimpangan di mana 1 persen orang menguasai 50,3 persen kekayaan negeri, dan mereka umumnya berkecimpung di sektor sumber daya alam, yang kemudian menyebabkan kerusakan lingkungan dan bencana alam. Foto: Gakum Wilayah Sulawesi/Mongabay Indonesia.

 

Menurut Laode, korupsi sektor SDA telah menyebabkan banyaknya ketimpangan di mana satu persen orang menguasai 50,3 persen kekayaan negeri, dan mereka umumnya berkecimpung di sektor sumber daya alam, yang kemudian menyebabkan kerusakan lingkungan dan bencana alam.

Ia selanjutnya membagi korupsi sektor SDA yang pernah diproses KPK dalam 3 kategori, yaitu dari segi perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan.

Di perencanaan, pelaku mempengaruhi pembuatan perencanaan pemanfaatan, misalnya pada pembuatan dokumen KLHS. Dicontohkan pada kasus Al Amin Nasution yang kemudian dituntut hukuman 8 tahun penjara. Dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR, Al Amin menggunakan pengaruhnya terkait perencanaan tata ruang.

Korupsi juga terjadi di tahap pemanfaatan, seperti yang terjadi pada kasus Hartati Murdaya dan Amran Batalipu Bupati Buol, Sulawesi Tengah pada tahun 2012. Sebagai bupati, Amran mengeluarkan izin prinsip untuk pelepasan kawasan.

“Kasus ini yang membuat saya agak tak nyaman ketika di KPK. Izin prinsip itu didapatkan melalui proses suap, seharusnya batal. Tapi itulah kenyataan Indonesia, yang sudah jelas-jelas sudah didapat dengan menyuap izin prinsip tetap berlaku dan akhirnya dijadikan landasan pelepasan kawasan.”

Ada juga kasus Suwarna Abdul Latif, Gubernur Kalimantan Timur pada tahun 2005, yang dihukum 4 tahun penjara dan uang pengganti sebesar Rp346,8 miliar, juga terkait izin kawasan pada pengusaha bernama Martias.

“Dia (Martias) ini kurang ajar. Dia mohon izin untuk penanaman kelapa sawit tetapi dia tidak nanam, hanya tebang pohon, dia ambil kayu baru ditinggalkan.”

baca juga : Laporan Global Witness soal Transaksi Perusahaan Batubara Mencurigakan, LSM: Pemerintah Harus Telusuri

 

Ilustrasi. Kajian beberapa organisasi masyarakat sipil memperlihatkan, lahan-lahan bakal lokasi ibukota negara banyak sudah berizin kepada perusahaan, baik perkebunan, hutan tanaman industri maupun tambang. Setidaknya, ada 162 konsesi tambang batubara, kehutanan, perkebunan sawit dan PLTU batubara. Foto: Jatam

 

Terkait pengawasan dan penegakan hukum, dari semua kerusakan tambang di Indonesia tidak ada satu pun kasus yang disidik oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Seumur-umur kementerian itu belum ada yang disidik, padahal kerusakan sudah seperti contoh tadi. Tak harus korupsi ya. Pelanggaran terhadap UU pertambangan misalnya, mengapa sih investigasi pidana korupsi itu seperti sulit, padahal sebenarnya tidak sulit-sulit amat, tetapi memang kurang mau saja,” katanya.

Menurut Laode, perangkat hukum Indonesia tergolong lengkap sehingga aparat penegakan hukum harus mampu memahami anatomi jaringan semua UU sektoral. Misalnya terdapat UU Tipikor, UU TPPU, UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perikanan, dll., sehingga KPK seharusnya tidak hanya selalu fokus pada UU Tipikor dan TPPU saja.

“Kalau dia (KPK) tidak hafal dan mengetahui banyak tentang UU sektor yang lain berhubungan SDA, senjatanya berkurang. Mengapa penting di KPK, karena kementerian dan lembaga lain itu banyak melakukan pembiaran. Seharusnya tak perlu disidik korupsi kalau mereka bisa melaksanakan, menjalankan, menegakkan UU lingkungan, UU kehutanan, UU pertambangan dengan baik.”

Penyidik KPK juga harus paham tentang konvensi-konvensi internasional yang telah di ratifikasi Indonesia.

“Kalau kita lihat hampir semuanya, semuanya, International convention and agrement yang berhubungan dengan lingkungan dan SDA kita sudah ratifikasi. Mereka telah menjadi bagian dari hukum di Indonesia.”

 

Exit mobile version