Mongabay.co.id

Yang Hilang Dari Pinggiran Citarum

Aksi teatrikal dalam pameran foto tentang pencemaran dan limbah industry dari komunitas Bandung Photo’s Speak yang digelar di kampung Rancakoneng, Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jabar. Pameran bertema “Tanah Kami Terpapar Limbah” digelar dalam rangka Hari Lingkungan Hidup 2016. Foto : Donny Iqbal

 

Dahulu, warga sekitar sungai di Bandung, pernah hidup sejahtera. Namun, kini tak lagi dirasakan ketika lingkungan telah berubah. Apalagi, pencemaran air dan udara membelenggu penghidupan mereka.

Ayul (52) hanya bisa pasrah. “Makin ke sini makin susah untuk bisa untung dari bertani,” kata warga Kampung Bangkuang Desa Linggar, Kecamataan Rancaekek, Kabupaten Bandung, ditemui awal Mei lalu.

Semenjak industri mengubah wajah sungai di kawasan Rancaekek. “Pengairan sawah terganggu karena airnya kotor dan berbau. Alhasil panen terus merosot,” keluhnya sembari memperlihatkan lahan yang gagal panen akibat padi gabuk.

Lima kali panen sebelumnya, Ayul merugi. Hasil panen padi anjlok. Baru tahun ini, hasil panen 1 hektare sawah yang digarapnya bisa menghasilkan 8 kuintal gabah.

Ayeuna mah sakinten gagalna, teu siga panen tahun kamari (Sekarang ruginya berkurang ketimbang panen tahun lalu),” paparnya. Ayul menduga, dampak dari aturan pembatasan sosial oleh pemerintah membuat sebagian pabrik mengurangi produksi. Berkah itu, membikin kualitas air sungai menjadi baik.

baca : Sawah Tercemar Limbah Pabrik, Beginilah Nasib Petani Rancaekek

 

Ayul (52) memanen gabah di Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, belum lama ini. Pertanian di kawasan tersebut sudah tidak lagi produktif sejak industri berdiri tahun 1980-an. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tiga dasawarsa lalu, hasil panen bisa mencapai 5-6 ton per hektar. Kini satu hektare sawah hanya bisa dipanen kurang dari satu ton. Tidak sedikit warga beralih menjadi buruh tani di daerah lain atau bekerja sebagai buruh pabrik sekitar Rancaekek.

Kondisi itu juga dirasakan betul oleh Warim (64), petani Desa Linggar lainnya. Ia gusar. Tahun lalu saja, sawah seluas 350 bata miliknya, sudah tak ada panen yang bisa dihasilkan.

“Sekarang sudah tidak seproduktif dulu, padi sering gagal tumbuh sebelum waktunya panen tiba,” imbuhnya.

Sekelumit kisah Ayul dan Warim menjadi potret penghidupan petani di sana. Kondisi tidak baik itu sebenarnya pernah dijadikan studi oleh Greenpeace, Walhi Jabar dan sejumlah pihak terkait pada tahun 2015 lalu.

Hasilnya, lahan pertanian di Desa Linggar, Jelegong, Sukamulya dan Bojong Loa rusak parah akibat pencemaran Sungai Cikijing. Luas sebaran pencemarannya lebih dari 1.000 hektar.

Akibatnya lahan menjadi tidak subur, produktivitas pertanian menurun dan menghilangkan pendapatan masyarakat. Pada periode 2004-2015, misalnya, kerugian ditaksir menembus angka Rp1 triliun. Angka kerugian itu belum menghitung biaya pemulihan lingkungan pasca pencemaran.

“Selama limbah pabrik masih dibuang tanpa diolah tentunya akan lama bahkan tidak akan pernah pulih (lingkungannya),” kata Direktur Walhi Jabar, Meiki Paedong.

baca juga : KLH akan Gugat Perusahaan Cemari Sungai dan Pertanian di Rancaekek

 

Seorang warga korban pencemaran limbah pada Mei 2014. Lahan pertanian rusak, tanaman pun mati. Tiga perusahaan membandel, KLH berencana menggugat. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup

 

Celakanya, bahan kimia berbahaya seperti timbal (Pb) dan kadmium (Cd) telah ditemukan dalam tanah sawah lapisan olah (atas). Zat lain seperti kromium (Cr) juga ditemukan dalam jerami dan beras di Rancaekek.

Entah bagaimana nasib keberlanjutan pertanian di sana. Pastilah dibutuhkan langkah panjang memulihkan kesuburan sawah dari pencemaran. Padahal, sebelumnya wilayah Rancaekek merupakan salah satu lumbung padi di Bandung Raya. Citra rasa berasnya dikenal gurih.

“Sekarang rasanya sudah berbeda, tidak enak dan sedikit asin saat dimakan,” terang Ayul. Harganya pun cenderung murah dan kurang diminati pasar.

Sebagai lanjutan rentetan menyusutnya produksi padi, tidak sedikit petani pemilik sawah menjual lahannya dengan harga miring. Luasan sawah yang semula berfungsi penampung air pun menjadi berkurang. Ditambah buruknya tata drainase menyebabkan banjir menjadi bencana langganan setiap musim hujan.

Sekarang pun, sungainya telah begitu dangkal. Erosi akibat penggundulan lahan di Gunung Geulis, hulu Cikijing, diduga kuat jadi pemicunya. Endapan tanah membuat lebar sungai menyempit dari 10 meter menjadi 4-5 meter dalam 30 tahun terakhir. Untuk menyelesaikan masalah itu, pemerintah sudah mulai menormalisasi Sungai Cikijing terhitung tahun lalu.

baca juga : Kemenangan Perjuangan Panjang Melawan Limbah Rancaekek, Gugatan Dikabulkan PTUN Bandung

 

Hamparan lahan pertanian warga di Kabupaten Bandung, pada Mei 2014, yang berubah menjadi kolam lumpur hitam dampak limbah pabrik tekstil. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup

 

Warga memang sudah lama menyadari terjadinya perubahan fungsi sungai yang telah mengakibatkan kemerosotan mutu air. Jika dulu air sungai masih mempunyai manfaat sosial dan ekonomi, kini sungai-sungai tersebut sudah dijadikan semacam tempat pembuangan yang menampung berbagai macam limbah hasil kegiatan manusia.

Padahal menurut kisah para orang tua. Warga Rancaekek pada masa silam biasa memelihara ikan mas di kolam-kolam pekarangan atau empang. Namun, semenjak maraknya alih fungsi sawah dan degradasi kualitas air, kebiasaan penduduk membudidayakan ikan mas di daerah tersebut perlahan hilang.

Paling tidak ada empat sungai utama, Sungai Cikijing, Citarik, Cibodas, dan Cijalupang, serta sejumlah anak sungai, yang mengalir mengelilingi wilayah seluas 4.670,6 hektar itu. Sungai-sungai ini juga yang menjadi sumber irigasi utama areal persawahan.

Masyarakat di daerah itu yang sebagian besar hidup sebagai petani, sering protes. Ayul dan petani lainnya pernah berupaya memperjuangkan nasib mereka agar industri yang bertebaran di daerah mereka tidak membuang limbah seenaknya. Tetapi, kekuasaan dan kekuatan kadangkala tidak berpihak kepada orang banyak yang lemah, sekalipun benar.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung, mencatat, Rancaekek merupakan salah satu kecamatan dengan jumlah penduduk 191.379 jiwa, kedua terbanyak. Berjumlah 54.005 KK, 7.921 diantaranya merupakan keluarga pertanian dan 8.366 keluarga buruh tani.

perlu dibaca : Dana Terus Mengalir, Tetapi Banjir Rancaekek Tetap Hadir

 

Peninggalan arkeologi di Candi Bonjongmenje di Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Menurut catatan Badan Arkeologi Bandung, Candi Bojongmenje diperkirakan berasal dari peradaban Hindu abad ke-7 dan ke-8 itu. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Yang terlupakan

Setali tiga uang, kearifan budaya lokal yang pernah ada di Rancaekek juga perlahan terkikis seiring perubahan lingkungan. Misalnya saja peninggalan Candi Bojongmenje yang ditemukan pada 2002 lalu.

Candi itu terletak di Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang. Meski terdapat papan penunjuk arah, sulit menemukan candi ini tanpa bertanya kepada warga sekitar. Sebab untuk menjamah lokasi candi mesti melewati gang sempit di antara tembok pabrik.

Menurut catatan Badan Alrekologi Bandung, Candi Bojongmenje diperkirakan berasal dari peradaban Hindu abad ke-7 dan ke-8 itu. Kini, keadaannya terkesan nelangsa di tengah zona industri Bandung timur. Deru mesin hingga cerobong asap pabrik menjadi pemandangan di sini.

Menurut Kuncen Candi Bojongmenje, Ahmad (68), tak ada lagi ekskavasi teranyar selama 18 tahun. Sehingga bagi masyarakat awam, tidak banyak informasi yang dapat dipelajari ketika mengunjungi situs ini. Selain hanya mengetahui bongkahan batuan vulkanik, yang ditatah dan dibentuk sebagai penyusun candi.

Ahmad membenarkan, informasi kompleks candi dengan luas sekitar 500 meter persegi ini belum sepenuhnya tergali. Selama ini, silsilah Candi Bojongmenje hidup dalam sasakala masyarakat Rancaekek. Masyarakat menyebut candi ini sebagai Candi Orok karena ada patung perempuan menggendong bayi. Selain itu, candi berukuran 6 x 6 meter itu juga terdapat fragmen arca dan tapak kaki anjing di bata merah.

Dari segi arkeologis tapak anjing itu tersirat nilai filosofis. Menurut Hari Setyawan dalam Penggambaran Arsitektur Berkontruksi Kayu Abad ke-9 – 10 Masehi Pada Relief Karmawibhangga Candi Borobudur (Jurnal Naditira Widya Vol. 5 No. 1 Tahun 2011) yang diterbitkan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin menerangkan bahwa salah satu fungsi anjing dalam keseharian masa itu—bersama manusia, adalah sebagai penjaga lumbung padi.

“Sementara itu, tepat di depan lumbung padi tersebut dijumpai seekor anjing yang sedang mendekam. Anjing yang berada di depan bangunan berkonstruksi kayu yang diinterpretasikan sebagai lumbung padi tersebut diasumsikan merupakan anjing penjaga,” tulisnya seperti dikutip Tirto.

 

Peninggalan arkeologi di Candi Bonjongmenje di Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat asli Rancaekek, kata Ahmad, memang sudah bertani sejak turun temurun. Mungkin karena itu keberadaan Candi Bojongmenje persis di tepian Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Lebih spesifiknya berada di antara pertemuan anak sungai.

Lantaran difungsikan sebagai tempat suci untuk keagamaan. Posisi Candi mesti dekat dengan sumber air. Dimana air dipandang sebagai sumber kehidupan sekaligus aspek penting membangun peradaban.

Sekarang posisi candi sudah menjauhi tepian sungai. Sejalan dengan itu, masyarakat ketiban nestapa. “Kini air bersih sulit didapat, padahal dulu tidak begini,” pungkas Ahmad.

 

***

 

Keterangan foto utama : Aksi teatrikal dalam pameran foto tentang pencemaran dan limbah industri dari komunitas Bandung Photo’s Speak yang digelar di kampung Rancakoneng, Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jabar, pada 5 Juni 2016. Pameran bertema “Tanah Kami Terpapar Limbah” digelar dalam rangka Hari Lingkungan Hidup 2016. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version