Mongabay.co.id

‘Menghijaukan’ HAM dan Lompatan Hukum Lingkungan

Seorang bocah berdiri diantara kobaran api. Kebakaran hutan juga bisa terjadi karena ulah masyarakat atau oknum korporasi. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

 

Akhir 2018, World Health Organization (WHO) dan United Nation Environment Program (UNEP) mengeluarkan laporan tentang dampak kerusakan lingkungan hidup terhadap kesehatan dan kematian manusia terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Kematian dampak kerusakan lingkungan hidup itu disebut sebagai penyakit tak menular (noncommunicable diseases).

WHO menyebutkan, ada 23% dari kematian global berhubungan dengan dampak dan kerusakan lingkungan hidup, dengan jumlah mencapai 12,6 juta kematian per tahun. Kematian tersebar di enam region, 3.8 juta jiwa di region Asia Tenggara, 3.5 juta jiwa di Pasifik Barat, 2.2 juta jiwa di Afrika, 1.4 juta di Region Eropa, 854.000 jiwa di Mediteranian Timur dan 847.000 jiwa di Amerika.

Menurut UNEP, kerusakan dan perusakan lingkungan hidup telah mengakibatkan satu dari empat kematian di seluruh dunia. Dari 12,6 juta kematian itu, 8,3 juta terhubung langsung dengan perusakan lingkungan hidup. Sekitar, 92% dari kematian itu terkait langsung dengan polusi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

 

Proporsionalitas hak

Konflik lahan, pemanasan global, polusi udara, pencemaran air, kehilangan keragaman hayati dan kerusakan hutan, merupakan krisis ekologis yang makin rumit saat ini.

Krisis ekologi akan jadi lebih buruk masa datang kalau tak ada pembatasan penggunaan sumber daya alam berskala besar. Kapasitas regenerasi bumi tidak bisa lagi mengikuti permintaan dan kebutuhan pasar yang begitu massif.

Ekploitasi mengubah sumber daya alam jadi limbah beracun bisa lebih cepat daripada restorasi yang dilakukan terhadap ekosistem alam, alasan pengelolaan dengan insting dan hukum reproduksi kapital, tidak meletakkan sumber daya alam sebagai kerangka hidup kemanusiaan. Sumber daya alam dalam kerangka itu, dikalkulasi sebagai pertumbuhan ekonomi untuk melayani pasar dan laba penguasa modal.

Berdasarkan resolusi Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Juni 2018, pelapor khusus untuk masalah kewajiban HAM berkaitan dengan penikmatan lingkungan hidup aman, bersih, sehat dan berkelanjutan, telah mengajukan laporan pertama ke Majelis Umum PBB setelah bekerja sejak 2012.

Dalam laporan itu, pelapor khusus merekomendasikan, agar Majelis Umum PBB mengakui hak atas lingkungan yang aman, bersih, sehat dan berkelanjutan, secara proporsional sebagai hak yang mengikat secara universal. Juga berkonsekuensi pada tanggung jawab pidana internasional yang mengikat kepada semua negara, non negara dan para pihak yang terlibat langsung maupun tidak dalam kejahatan lingkungan hidup.

Eksploitasi terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam, sangat berkonsekuensi secara serius terhadap pelanggaran HAM. Perlindungan lingkungan hidup tergambar sebagai prasyarat untuk memenuhi standar dan menikmati HAM yang dijamin secara internasional, terutama hak hidup dan kesehatan sebagai hak fundamental bagi generasi saat ini dan kehidupan generasi akan datang.

 

Hamparan tanah sudah bersih, yang sebelumnya hutan adat Malind Anim di Desa Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Nanang Sujana

 

‘Menghijaukan’ HAM

Negara harus memastikan lingkungan hidup yang aman, bersih, sehat serta berkelanjutan sebagai bentuk penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM. Sebaliknya, negara harus menghormati, melindungi dan memenuhi HAM untuk memastikan lingkungan aman, bersih, sehat serta berkelanjutan. Begitulah keterkaitan antara esensi lingkungan hidup dan eksistensi HAM.

Tujuan utama hukum lingkungan hidup adalah sebagai pembatas dan pengaturan kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Sementara sistem HAM menawarkan norma dan mekanisme ekstra-hukum untuk mengatasi kegiatan suatu institusi baik negara maupun non negara yang berimplikasi pada HAM dan degradasi lingkungan hidup.

Menempatkan keprihatinan lingkungan hidup dalam tradisi HAM semata-mata sebagai tanggapan terhadap ketidakmampuan sejumlah perjanjian hukum dan kebijakan lingkungan hidup internasional serta terbatasnya artikulasi hukum nasional terhadap urgensi perlindungan strategis terhadap lingkungan hidup yang aman, bersih, sehat dan berkelanjatuan.

Dalam beberapa dekade terakhir, Badan HAM internasional, telah menguraikan secara mendasar pengertian bahwa, lingkungan hidup yang aman, bersih, sehat dan berkelanjutan adalah penting secara mendasar untuk penikmatan sepenuhnya dari berbagai macam hak.

Badan HAM internasional bahkan menggambarkan bagaimana degradasi lingkungan hidup mengganggu dan mengancam hak-hak tertentu, seperti hak hidup, kesehatan, makanan, air, perumahan, sosial, budaya, pembangunan, properti dan perumahan serta kehidupan dan kebebasan pribadi.

HAM dan lingkungan hidup saling terkait, HAM tidak dapat dinikmati tanpa lingkungan yang aman, bersih dan sehat dan berkelanjutan. Tata kelola lingkungan hidup yang berkelanjutan, tidak bisa ada tanpa penerapan dan penghormatan terhadap HAM.

Hubungan ini makin diakui, karena hak atas lingkungan hidup bersih dan sehat telah diabadikan lebih dari 100 konstitusi negara termasuk Indonesia. Meskipun demikian, eksploitasi dan kerusakan lingkungan hidup terus berlanjut.

Setidaknya, tiga orang dalam seminggu terbunuh karena membela hak atas lingkungan hidup di dunia. Termasuk, banyak dari mereka yang dilecehkan, alami intimidasi, kriminalisasi dan terusir dari hak atas tanah.

David Boyd, pelapor khusus HAM dan lingkungan hidup menegaskan, betapa penting “menghijaukan” HAM untuk memastikan dan memberi makna substantif dan kewajiban prosedural untuk mengintroduksi prinsip ketat kualitas lingkungan hidup sebagai bagian dari jaminan pemenuhan HAM.

 

Sejumlah siswa menggunakan masker karena asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Meskom, Kabupaten Bengkalis,  Riau. Karhutla, berdampak ke semua aspek termasuk kesehatan masyarakat. Foto:  Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Lompatan hukum

Pada 2015, penyakit yang timbul dampak kerusakan lingkungan hidup bertanggung jawab atas 9 juta kematian prematur di dunia, sama dengan 16% dari semua kematian global diduga terpapar polusi udara, maupun air, dan tanah yang terkontaminasi.

Perusakan lingkungan hidup juga bertanggung jawab atas kematian tiga kali lipat korban virus AIDS, TBC, dan malaria, bahkan hampir 15 kali lebih banyak kematian ini daripada korban perang dan semua bentuk kekerasan.

Untuk itu, jutaan kematian di dunia terhubung langsung dengan kerusakan lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai kejahatan ekologis (ecocide). Namun, secara internasional kejahatan ini belum mendapatkan kedudukan hukum pidana internasional setara dengan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia disebut dalam Statuta Roma.

Ecocide penting dan mendesak ditambahkan dalam Statuta Roma, untuk membantu membatasi perkembangan dan ancaman perubahan iklim global, di mana bisa berdampak menenggelamkan sebagian daratan dan akan menyebabkan migrasi paksa massal di wilayah kepulauan di dunia.

Kondisi ini akan memicu banyak sekali konflik, tidak hanya antar masyarakat juga antar negara guna mempertahankan dan melindungi sumberdaya mereka.

Pada 2016, Administratur International Criminal Court (ICC) mengeluarkan kertas posisi yang menegaskan, kerusakan lingkungan hidup dan jenis perampasan tanah telah menyebabkan penyingkiran dan pelanggaran HAM harus jadi perhatian hukum pidana internasional.

Posisi ICC ini mendapatkan respon positif dari negara-negara kepulauan seperti Fiji, Vanuatu dan Maladewa. Mereka mengusulkan, perlunya lompatan hukum melalui amandemen Statuta Roma, dan memasukkan ekosida jadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) setara dengan kejahatan kemanusian, genosida, kejahatan perang dan kejahatan agresi.

Indonesia adalah negara yang sudah memiliki UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang menyebutkan, kejahatan kemanusiaan dan genosida sebagai kejahatan luar biasa. UU ini bukan bagian dari ratifikasi Statuta Roma, secara politik hukum dan dalam konteks ancaman kerusakan lingkungan luar biasa di Indonesia. Amandemen UU ini bisa jadi peluang hukum mendorong kejahatan ekosida sebagai kejahatan luar biasa dalam lompatan hukum lingkungan hidup di Indonesia.

 

*Penulis adalah aktivis HAM dan Lingkungan Hidup dan penulis buku: Ecocide: politik kejahatan lingkungan hidup dan pelanggaran hak asasi manusia. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Begini tampilan tepian pantai tercemar kala ada tambang nikel. Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

 

Keterangan foto utama: Kebakaran hutan dan lahan merugikan berbagai aspek kehidupan termasuk kesehatan manusia. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version