Mongabay.co.id

Revisi UU Minerba Akan Perparah Krisis Ekologi di Sulawesi

 

DPR dan Pemerintah baru saja mengesahkan RUU Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) pada pada Selasa (12/5/20). Pengesahan ini mendapat kritikan karena dilakukan di saat kondisi krisis pandemi COVID-19, sehingga terkesan dipaksakan dan kurang pengawasan dan pelibatan masyarakat sipil di dalamnya.

Hampir semua wilayah di Indonesia akan terdampak revisi UU ini, termasuk di kawasan Sulawesi. Dalam sebuah diskusi daring yang diselenggarakan oleh Walhi se-Region Sulawesi, bertema “Menakar Masa Depan Sulawesi Pasca Revisi UU Minerba”, Rabu (20/5/2020), terungkap sejumlah prediksi dampak dari revisi UU ini yang diperkirakan akan semakin memperparah krisis ekologi di Sulawesi.

“Saya prediksi masa depan lingkungan Sulsel akan menghadapi apa yang saya sebut new social-ecological crisis, meniru terminologi new normal yang disampaikan presiden. Akan terjadi krisis ekologi yang semakin meluas dan efeknya bertambah banyak, seperti hilangnya pranata sosial, hilangnya wilayah kelola rakyat sebagai aset utama penghidupan mereka, pencemaran lingkungan, kesehatan masyarakat terutama perempuan serta hilangnya laboratorium ilmu pengetahuan yang dimiliki,” ungkap Muhammad Al Amin, Direktur Eksekutif Walhi Sulsel.

Menurut Amin, dengan kondisi saat ini saja tekanan terhadap sumber daya alam di Sulawesi Selatan sudah sangat besar. Dari kawasan hutan Sulsel seluas 2,6 juta hanya terdapat sekitar 1,3 juta hektar saja yang memiliki tutupan hutan, yang berarti 50 persen di antaranya telah hilang. Kawasan hutan ini sebagian besar berada bagian utara Sulsel seperti Luwu Raya, Toraja dan Enrekang, dan sebagian lagi merupakan kawasan karst.

“Tinggal daerah utara ini yang tersisa, yang kami sebut sebagai rimba terakhir di Sulsel. Ini pun dibebani oleh izin-izin usaha pertambangan yang besar. Di Luwu Timur saja ada 14 IUP (izin usaha pertambangan) yang luasannya 141 ribu hektar serta di Lutra terdapat 11 IUP luas 258 ribu hektar. Jadi hutan tropis dengan fungsi ekologis yang sangat luar biasa sekarang sudah ditimpa izin-izin usaha pertambangan,” tambahnya.

baca : UU Minerba Ketok Palu: Jaminan Korporasi, Ancaman bagi Rakyat dan Lingkungan

 

Sebuah kawasan pertambangan. Nilai ekonomi keberadaan tambang di suatu daerah harus dihitung, apakah sebanding antara nilai ekonomi yang dihasilkan dengan dampak kerusakannya, serta keuntungannya bagi daerah tempatan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Parahnya lagi, tambah Amin, usaha pertambangan kini tidak hanya di daratan, tetapi juga merambah ke kawasan laut berupa tambang pasir untuk kebutuhan reklamasi, di mana saat ini terdapat 8 IUP untuk tambang di laut.

“Sekarang ada tren perusahaan tambang sudah menyasar laut-laut Sulsel untuk pasir laut karena bahan utama untuk reklamasi berasal dari pasir laut. Sepemahaman kami, laut adalah wilayah kelola rakyat masyarakat pesisir untuk mencari ikan, menyuplai pangan ikan kita, tapi sekarang sudah dikonversi negara melalui usaha pertambangan,” tambahnya.

Di Sulawesi Tenggara kondisinya tak jauh beda. Direktur eksekutif Walhi Sultra, Saharuddin, mencontohkan pertambangan di Pulau Kabaena. Meski hanya sebuah pulau kecil, yaitu 873 Km2 namun di pulau ini terdapat 27 IUP. Tersisa hanya sekitar 30 persen sebagai kawasan hutan.

“Dengan adanya revisi UU Minerba harusnya separuh dari IUP ini habis di tahun 2021-2023. Namun ternyata akan berlanjut. Ini menjadi bonus lagi bagi pengusaha. Padahal masyarakat sudah menunggu izinnya akan habis dan bisa digunakan, baik melalui skema perhutanan sosial ataupun Tora (tanah obyek reforma agraria). Semua harapan itu sirna dengan adanya revisi UU ini,” ujarnya.

Saharuddin menyatakan sangat sulit membayangkan masa depan kondisi lingkungan hidup di Sultra dengan adanya revisi UU Minerba ini. Saat ini saja terdapat 500 IUP dengan sekitar 240-an di antaranya dalam kondisi aktif.

“Ini akan membuat kerja kita akan semakin berat, rakyat akan semakin menderita apa yang terjadi akibat pertambangan. Kita bisa kemudian punya titik temu, Sulsel dan Sultra wilayah batasnya hampir semua memiliki tambang. Kita harus bertemu untuk menyelesaikan ini,” harapnya.

baca juga : RUU Minerba Lanjut di Tengah Pandemi, Berikut Kritikan Masyarakat Sipil

 

Daerah terdampak banjir di Konawe Utara akibat rusaknya ekologi Sulawesi Tenggara. BNPB menyebut alih fungsi lahan ke perkebunan dan pertambangan jadi penyebab utama banjir. Foto: BPNB

 

Menurut Theo Runtuwene, Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Utara, kondisi di Sulawesi Utara tak jauh beda dengan daerah lainnya di Sulawesi. Terdapat banyak kasus pertambangan yang tidak tersentuh aparat dan justru mendapat intervensi. Ia khawatir kondisi ini akan semakin parah seiring ditetapkannya revisi UU Minerba ini.

Selain itu, Theo menilai revisi UU Minerba ini sebagai produk hukum politik yang sangat bertentangan UUD 1945 dan dasar negara karena adanya ketidakadilan di dalamnya, termasuk hilangnya akses masyarakat wilayah kelola mereka karena isi revisi UU yang pro pemodal.

“Semua terdampak terhadap UU ini, jelas bahwa UU ini menjual SDA kita dan mengabaikan hak asasi masyarakat untuk mendapatkan air, pangan, masuk dalam ruang-ruang wilayah kelola rakyat yang seharusnya dijaga.”

Ia menilai UU Minerba ini tidak mementingkan aspek-aspek atau norma-norma dari pembentukan perundang-undangan, di mana hak asasi dilanggar, organisasi masyarakat sipil tidak dilibatkan dan lebih mengakomodir pihak korporasi.

“Bayangkan mereka bisa mengintervensi DPR. Menggunakan akal sehat, saya mempertanyakan apakah DPR paham tentang dasar negara dan konstitusi negara kita atau hanya paham terkait bagaimana menyelamatkan perekonomian dan pertumbuhan, sementara nilai dan dasar negara dilanggar?”

Menurutnya, situasi ini bisa dimaknai atas pertentangan dasar negara versus pertumbuhan ekonomi, di mana negara lebih peduli pertumbuhan ekonomi namun abai pada lingkungan hidup dan hak asasi manusia.

perlu dibaca : Pengesahkan UU Minerba dan Potensi Besar Korupsi di Sektor Energi dan Pertambangan

 

Pembangunan CPI, Makassar, Sulsel yang terus digugat Walhi karena dinilai tidak memiliki payung hukum yang jelas. Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagai perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum ada, sementara AMDAL yang masih berupa addendum. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Pesimisme dan rasa frustrasi juga disampaikan Laode Muhammad Syarief, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi Periode 2015-2019, yang kini menjabat Direktur Eksekutif Kemitraan.

Laode menjelaskan bahwa berdasarkan temuan Gerakan Nasional Penyelamatan SDA- KPK dari 10 ribu IUP yang ada terdapat 6 ribu di antaranya ilegal atau tidak dalam kondisi clean and clear. Baik itu karena perizinan yang tak lengkap, ataupun tak berizin sama sekali. Terdapat juga berizin tetapi beroperasi di kawasan konservasi dan hutan lindung.

“Semua ini terjadi karena adanya pembiaran dan ini sudah dari dulu, baik di Sulawesi, Kalimantan, Papua, Maluku, dan di mana-mana selalu ada pembiaran. Biasanya pembiaran itu terjadi karena adanya korupsi. Mengapa korupsi karena memang banyak beking,” katanya.

Laode juga menyoroti revisi UU ini di mana semua wewenang diserahkan ke pusat yang bertentangan dengan azas desentralisasi dan otonomi daerah sebagai semangat reformasi.

“Kita selalu ngomong desentralisasi dan Otoda, tetapi pada saat yang sama pemerintah pusat kembali kepada model orde baru, zaman Soeharto.”

Menurut Laode, jika melihat peta korupsi di sektor sumber daya alam selama ini lebih fokus pada aspek perizinan, namun ternyata kemudian diketahui ada di aspek lain, seperti pada penentuan jumlah royalti dan pajak. Dalam hal ini banyak pemegang IUP yang tak melaporkan jumlah produksinya secara benar, hanya dalam bentuk estimasi.

Meski demikian, ia meminta kepada Walhi dan penggiat anti korupsi SDA lainnya lebih fokus dampak lingkungan yang diakibatkan oleh pertambangan besar tersebut dan membandingkannya dengan dampak ekonomi yang dihasilkannya.

“Kampanyenya sekarang harus smart, bahwa tambang memberi dampak ekonomi itu bagus, namun harus dikaji berapa yang sampai ke orang tempatan yang mengalami kerusakan.”

baca juga : Berikut Catatan Kritis soal Revisi UU Minerba

 

Pulau Sulawesi mengalami krisis ruang, dimana sebagian besar wilayahnya digunakan untuk tambang, migas dan industri ekstraktif. Foto : Wahyu Chandra

 

Dengan hanya alokasi 1,5 persen saat ini dari sebelumnya 1 persen pembagian manfaat untuk daerah, Laode menilai jumlah itu sangat sedikit dibanding kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dengan adanya tambang tersebut, apalagi manfaat tersebut lebih banyak mengalir ke kepemerintah pusat.

“Semua manfaat diambil pusat sementara kerusakan lingkungan dan penyakit yang ditimbulkannya dialami oleh masyarakat sekitar tambang tersebut.”

Laode juga menilai kinerja pemerintahan Joko Widodo periode kedua terkait anti korupsi dan perlindungan terhadap SDA sangat tidak menggembirakan.

“Sudah saatnya kita menyatakan ini. Bukannya kita benci tetapi saya pikir tolong beliau perhatikan agar kerusakan tidak makin masif di Indonesia.”

 

Exit mobile version