Mongabay.co.id

Jejak Pelindung Tukik dari Pantai Sindangkerta

 

Malam tua dipertengahan Mei 2020. Hendri (38) seperti sendirian di hamparan pasir pesisir yang gelap. Lampu senter miliknya jeli menelusuri jejak penyu di Pantai Sindangkerta, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Petugas Pusat Konservasi Penyu Suaka Margasatwa Sindangkerta itu seolah mafhum memilah gundukan pasir yang menjadi tempat penyu bertelur.

Hendri juga dapat menebak jenis penyu berdasarkan karakteristik pasir pantai. Katanya, jika terdapat gundukan pasir pada kemiringan lebih dari 30 derajat, dipastikan itu merupakan telur penyu hijau (Chelonia mydas).

Beda lagi, jika gundukan pasir ditemukan di pasir yang bertekstur keras dan padat. “Tempat itu sarang bagi penyu lekang (Lepidochelys olivacea) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricate),” terangnya. Pantai di selatan Jabar ini memang masih disinggahi tiga jenis penyu saat musim bertelur pada Mei hingga Juli.

baca : Janji Setia Edi Suswanto Melestarikan Penyu

 

Hendri (38) petugas Pusat Konservasi Penyu Suaka Margasatwa Sindangkerta, memeriksa telur penyu hijau (Chelonia mydas) di pesisir pantai Desa Sindangkerta, Tasikmalaya Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tangannya terampil menemukan telur-telur putih seukuran telur ayam kampung tetapi punya cangkang lebih tebal dan kenyal. “Ini telur penyu hijau,” ujarnya sambil memasukan telur ke wadah styrofoam.

Dua dasawarsa sudah, bapak dua anak ini konsisten merelokasi telur-telur penyu dari sarang ke tempat penetasan semi-alamiah. Agaknya, penetasan buatan itu menjadi pilihan demi menyelamatkan penyu dari kepunahan lokal. “Kalau tidak dipindahkan potensi kematiannya tinggi,” imbuhnya.

Berada di ujung jalan Desa Sindangkerta, tempat penetasan berupa bangunan semi permanen bertembok beton dan berlantai pasir. Bangunan itu berukuran 8×12 meter yang di dalamnya terdapat dua kolam pembesaran dan satu bak penetasan.

 

Hendri (38) memperlihatkan telur penyu hijau (Chelonia mydas). Setiap tahun, sedikitnya 6.000 telur penyu berhasil ditetaskan dan dilepasliarkan di Pantai Sindangkerta, Tasikmalaya, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dua kolam penetasan sudah terisi puluhan tukik yang siap untuk dilepasliarkan. Di sisi lain, bak penetasan mampu menampung sekitar 30-50 sarang dengan jarak setengah meter. Kedalaman lubang sarang penetasan disesuaikan dengan keadaan asli yaitu 80-90 sentimeter. Telur-telur penyu yang ditanam setelah berumur 60-75 hari akan menetaskan tukik.

Mempelajari penyu selama 14 tahun, membuat Hendri terlatih. Contohnya, hasil pengamatannya menyimpulkan penyu hijau rata-rata bisa 6 kali bertelur selama musim berbiak. Sekali bertelur menghasilkan sekitar 120 butir. “Penyu hijau akan kembali lagi ke daratan dengan interval waktunya sekitar 12-15 hari,” katanya.

Sedikitnya 100 telur ditetaskan setiap hari di kolam-kolam pasir penetasan. Tukik perlu dibiarkan selama dua minggu hingga tiga bulan sebelum dilepaskan ke pantai.

baca juga : Mengintip Semangat Pedang Wutun Lestarikan Penyu di Solor

 

Tukik penyu hijau (Chelonia mydas) yang siap dilepasliarkan di pesisir pantai Desa Sindangkerta, Tasikmalaya Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menjaga telur penyu dan melepas tukik merupakan keseharian Hendri, dan empat rekannya. Kegiatan ini mereka jalani atas rasa karunya atau kasihan pada nasib penyu. Selain itu, karena memang penyu perlu diselamatkan.

Menurut Badan Konservasi Dunia (IUCN), nyaris semua penyu laut masuk dalam daftar merah spesies yang terancam keberlangsungannya. Istilahnya, Red List of Threatened Species. Apalagi, populasi penyu semakin terkikis. Catatan WWF menyebutkan rusaknya habitat dan tempat penyu bertelur, pencurian telur hingga perdagangan ilegal produk penyu, menjadi tantangan terberat konservasi penyu.

Sementara itu, populasi penyu juga terancam oleh perubahan iklim global. Apalagi adanya peningkatan suhu di sarang penyu sangat berpengaruh terhadap penentuan jenis kelamin. Itu terjadi juga di Sindangkerta.

Telur penyu yang dikubur dalam pasir bersuhu di bawah 29 derajat celsius akan menetaskan tukik jantan. Sementara itu, suhu di atas 32 derajat celsius akan menghasilkan tukik betina. Peningkatan suhu di Bumi berpotensi membuat persentase penyu jantan dan betina tidak imbang.

Masalahnya, mengetahui mana penyu yang berkelamin jantan dan betina menjadi tantangan para penggiat konservasi. Jenis kelamin tukik tidak selalu bisa terlihat dengan mudah. Terlebih pada tukik yang baru menetas.

Namun fenomena itu, Hendri tidak menghubungkannya dengan isu pemanasan global. “Kadang suhu pasir di pantai pada waktu tertentu bersuhu dingin,” ujarnya. Karena minimnya peralatan, sulit mengetahui seberapa besar dampak suhu pada perubahan jenis kelamin tukik.

Di sisi lain, persentase hidup tukik untuk bertahan hidup di alam tergolong rendah. Menurutnya, sekali bertelur sedikitnya 10 persen telur penyu tidak mentas. Maka, menghasilkan tukik saja sepertinya sudah merupakan pekerjaan luar biasa.

Tidak banyak regenerasi yang dihasilkan seekor penyu. Dari ratusan telur yang dikeluarkan induk penyu betina paling banter hanya belasan yang berhasil tumbuh dewasa.

baca juga : Kisah Insyaf Bagyo, DPO Perusak Laut yang Jadi Pejuang Konservasi di Malang Jatim

 

Hendri (38) melepaskan tukik penyu hijau (Chelonia mydas) di pesisir pantai Desa Sindangkerta, Tasikmalaya Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Perjuangan hidup, bertahan melawan tantangan alam dan pemangsa, lalu kawin dan kembali ke pantai tempat kelahirannya 30 tahun nanti, menjadi jalan terjal bagi hidup penyu. Seperti digambarkan pada film Nemo, penyu umumnya bermigrasi dengan jarak yang cukup jauh dengan waktu yang relatif lama. Penyu yang menetas di perarian Sindangkerta sangat mungkin ditemukan, semisal di Hawai atau belahan bumi lainnya.

Tetapi biarapun berkelana di lautan hingga puluhan tahun, sesekali hewan tergolong vertebrata kelas reptilian itu tetap harus naik ke permukaan air untuk mengambil nafas setiap 5 jam sekali. Saat bernafas dengan paru-paru itulah, penyu akan memainkan perannya.

Penyu berperan sebagai tukang bersih-bersih populasi alga atau fitopankton. Jika jumlah penyu menyusut, pertumbuhan alga bisa meledak menjadi tak terkendali. Akibatnya, kadar oksigen di perairan itu bisa tipis disedot tumbuhan yang hanya bisa dilihat di mikroskop.

Akan tetapi, kehidupan penyu ibarat menghadapi bom waktu. Daratan yang kian berkurang dilumat air pasang akibat vegetasi pantai hilang. Pantai tak lagi sepi dari manusia serta bisingnya sumber cahaya yang semakin terang mengganggu ingatan penyu untuk bertelur di tempat kelahirannya.

Meski tempat berbiaknya terancam kenapa penyu datang kembali? Rahasianya terletak pada kemampuan binatang ini memanfaatkan medan magnet bumi untuk orientasi navigasi. Tapi tentang mengapa penyu harus kembali ke tempat ditetaskan hingga kini masih jadi misteri.

Studi yang dirilis tahun 2015 lalu, jurnal Current Biology itu membuka tabir misteri akan kemampuan alami penyu kembali ke pantai kelahirannya tanpa tersesat. Penelitian itu dilakukan dengan menguji basis data 19 tahun pencatatan panjang penyu tempayan (Caretta caretta) di pantai timur Florida.

“Hasil penelitian kami menemukan bahwa penyu meninggalkan jejak magnetik ketika menetas sebagai tukik. Lalu mereka menggunakan tanda magnetik di sepanjang pantai ini sebagai informasi ketika ingin kembali ke tanah kelahiran sebagai penyu dewasa,” kata peneliti pada University of North Carolina di Chapel Hill, Amerika Serikat, J Roger Brothers dikutip Livescience.

perlu dibaca : Bangkaru, Satu-satunya Pulau Konservasi Penyu di Aceh

 

Tukik penyu hijau (Chelonia mydas) yang siap dilepasliarkan di pesisir pantai Desa Sindangkerta, Tasikmalaya Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Memberdayakan

Hari pun beranjak pagi. Dengan mata setengah mengantuk, Hendri telaten memilah tukik yang sudah siap dilepasliarkan. Berbekal wadah styrofoam, ia membawa puluhan tukik ke tepian pantai.

Di ujung pantai, Pipin (34), sibuk mengangkut air laut untuk kebutuhan sirkulasi di penangkaran semi-alami tersebut. “Air ini untuk mengganti air di kolam pembesaran. Kalau tidak rutin diganti pertumbuhan tukik bisa terganggu,” ujar warga sekitar yang diberdayakan di Konservasi Sindangkerta. Pipin diupah Rp 75.000 tiap kali diperbantukan.

Agaknya, tempat konservasi ini bukan hanya berperan untuk menyelamatkan penyu. Tempat ini juga menumbuhkan kesadaran sekaligus turut memberdayakan warga sekitar.

Dalam waktu dekat, kata Hendri, pihak Balai Konservasi Sumber Daya (BKSDA) wilayah III Jabar bakal membentuk kelompok Jamasewu untuk membantu upaya konservasi penyu. Anggotanya adalah warga setempat. Salah satu tugasnya, yaitu membantu menanam vegetasi endemik pantai.

Perjalanan tentunya masih panjang. Sekalipun, harus menempuh jarak 3 kilometer setiap hari demi menemukan telur penyu. Hendri menyukai pekerjaan itu. Baginya, menggeluti pekerjaan ini bukan melulu tentang ekonomi tetapi wujud kecintaan terhadap sesama makhluk Tuhan. Pemikiran sederhana, tetapi dampaknya sungguh luar biasa.

“Senang dan bangga rasanya bisa melepas tukik-tukik ini ke laut” pungkas Hendri menyaksikan puluhan tukik penyu hijau beradu cepat mencicipi deburan ombak Pantai Sindangkerta.

 

Seekor tukik penyu hijau (Chelonia mydas) yang siap berenang bebas pesisir pantai Desa Sindangkerta, Tasikmalaya, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version