Mongabay.co.id

RI- Norwegia akan Perkuat Aksi Iklim, Dana US$56 Juta Segera Cair

Hutan dihancurkan untuk kebun sawit. Inikah bisnis yang akan dilanggengkan dengan omnibus law? Foto: Save Our Borneo

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

 

Kerjasama Indonesia dan Norwegia sudah memasuki tahun kesepuluh. Kedua negara berkomitmen memperkuat kerja sama guna mengatasi krisis iklim melalui Letter of Intent (LoI) ke depan. Satu dekade lalu, Mei 2010, Indonesia dan Norwegia menandatangani perjanjian bilateral guna mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan. Dalam kaitan kerjasama ini, Indonesia segera memperoleh sekitar US$56 juta atau lebih Rp840 miliar dari Norwegia dan kemungkinan cari Juni 2020.

“Kerja sama antara Indonesia dan Norway ini sudah berjalan cukup lama, 10 tahun dalam pengurangan emisi khusus dari deforestasi dan degradasi dan banyak achievement sudah dicapai, tentu berlandaskan achievement itu, kedua negara sepakat memperpanjang kerja sama ini melalui amandemen LoI,” kata Alue Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam konferensi pers 10 Tahun Kerja Sama Indonesia-Norwegia, di Jakarta, akhir pekan ini.

Sebelumnya, pemerintah Norwegia menjanjikan dukungan pendanaan hingga US$1 miliar yang dibayarkan berdasarkan hasil pengurangan emisi deforestasi dan defradasi hutan dan lahan gambut Indonesia.

Kerja sama melalui kerangka kerja reducing emissions from deforestation and forest degradation plus (REDD+) yang bernaung di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Kesepakatan ini pun telah memasuki tahap tiga, yakni, pembayaran hasil (result base payment/RBP). Artinya, Indonesia akan memperoleh sekitar US$56 juta dari Norwegia sebagai pembayaran pendanaan iklim dan hutan pertama atas keberhasilan penurunan emisi gas rumah kaca.

“Kami sedang dalam proses diskusi waktu dan format untuk result base payment pertama. Pencairannya harus menunggu sampai Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup beroperasi secara penuh,” kata Vegard Kaale, Duta Besar Norwegia untuk Indonesia.

Berdasarkan hasil verifikasi verifikator independen yang ditunjuk Norwegia memperlihatkan, Indonesia berhasil melakukan upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia hingga 11,2 juta ton CO2eq. Angka itu, jauh lebih tinggi dari laporan awal oleh Indonesia, yakni, 4,8 juta ton CO2eq.

Hasil penilaian dari Norwegia itu jadi dasar pembayaran kinerja pengurangan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan Indonesia 2016-2017. Adapun harga per ton CO2eq sebesar US$5, yang mengacu harga berlaku pada World Bank tentang REDD+.

 

Kebakaran hutan dan lahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK menyebutkan, keberhasilan pencapaian kesiapan REDD+ Indonesia dengan berbagai kebijakan, antara lain, pertama, moratorium penerbitan izin baru pengelolaan hutan alam primer dan lahan gambut pada 2011 dan jadi permanen 2019.

Kedua, melindungi area gambut dan pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 2016. Ketiga, moratorium izin sawit pada 2018 dengan mengedepankan pada intensifikasi perkebunan. “Kebijakan satu peta, yang dikenal dengan one map policy, merupakan alat perencanaan tata ruang umum untuk seluruh Indonesia dan semua pemerintahan,” katanya, seraya bilang, praktik pengelolaan hutan di tingkat lokal diperkuat melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan program perhutanan sosial.

“Diproyeksikan Juni 2020 dana dibayarkan dengan skema RBP. Ini pembayaran pertama kali atas prestasi penurunan emisi karbon dari kehutanan pada 2016/2017. Keberhasilan mengurangi emisi ini tidak terlepas dari komitmen, dukungan dan upaya korektif pemerintah secara kolektif di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi,” ujar Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam rilis kepada media.

Saat ini, pemerintah menyiapkan sejumlah dokumen dan laporan sebagai prasyarat pembayaran, seperti dokumen measurement, reporting, and verification (MRV) sebagai basis panduan penghitungan RBP untuk kinerja REDD+ Indonesia sejak 2016, dan mencapai kesepakatan pada Februari 2019.

Siti mengatakan, presiden memerintahkan dana ini untuk program pemulihan lingkungan berbasis masyarakat, yaitu, sebanyak mungkin melibatkan partisipasi masyarakat, seperti penanaman pohon dan upaya-upaya revitalisasi ekonomi lokal berkelanjutan.

 

Selanjutnya?

Alue mengatakan, LoI akan diperkuat dalam komitmen pencapaian iklim. “Kalau di REDD+ yang pertama kita hanya fokus pada pengurangan degradasi dan deforestasi hutan, saat ini kita mau memasukkan gambut dan mangrove dalam kerja sama yang baru,” katanya.

Menurut dia, upaya restorasi gambut saat ini sudah baik dan perlu dapat penghargaan. “Jadi title utamamya masih REDD+, tapi konteksnya lebih banyak dukung di kegiatan tapak. Seperti perhutanan sosial, kan banyak izin-izin perhutanan sosial yang kita berikan untuk kelola dan rehabilitasi hutan serta pengembangan bibit-bibit rakyat dan desa,” katanya.

Berdasarkan pengalaman kerjasama selama satu dekade, kedua negara sepakat, beberapa bidang pokok akan mendapat perhatian bersama, yakni, meningkatkan, memperbaiki dan berinvestasi pada kesejahteraan pedesaan berkelanjutan, dan penegakan hukum ketat di kawasan lindung. Juga, kajian atas konsesi dan izin-izin untuk memastikan kepatuhan hukum dan lingkungan, membangun bisnis berkelanjutan dan melindungi hak-hak masyarakat adat serta masyarakat lain yang bergantung pada hutan.

“Pencegahan kebakaran, restorasi dan pembasahan kembali lahan gambut yang rusak. Menguatkan pengelolaan hutan lestari, dan berinvestasi pada penelitian berbasis ilmiah yang memastikan kualitas semua kegiatan,” kata Ruanda.


KLHk juga akan mengenalkan instrumen-instrumen keuangan yang memberikan penghargaan pada penekanan deforestasi dan perilaku perencanaan tata guna lahan berkelanjutan untuk masyarakat lokal, dan pemerintah daerah.

Vegard Kaale, mengatakan, amandemen LoI masih didiskusikan intens antara KLHK dan Kementerian Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia. Dia memastikan, amandemen ini akan disepakati tahun ini.

“Reformasi kebijakan Indonesia mulai membuahkan hasil. Saya senang, deforestasi menurun dibandingkan rata-rata 10 tahunan.”

Dia optimis dan siap melanjutkan kerja sama ini. “Kita sedang berhadapan masalah yang sangat kompleks hingga membutuhkan waktu dalam menjalankannya.”

Kaale menyambut baik upaya Indonesia lebih ambisius dalam tata kelola hutan dan deforestasi. Mereka juga akan menggunakan standar lingkungan lebih tinggi untuk meverifikasi pengurangan emisi.

 

Harus tepat sasaran

Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi arahan presiden Joko Widodo yang memerintahkan agar dana ini untuk program-program pemulihan hutan dan lingkungan berbasis masyarakat. Contoh, perhutanan sosial berpotensi kontribusi hingga 34,6% terhadap pencapaian target nationally determined contributions (NDC) Indonesia dari pengurangan deforestasi. Terutama, kalau fokus pada wilayah dengan risiko deforestasi tinggi dan diberi pendampingan maksimal untuk pengembangan ekonomi lokal sejalan dengan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang diberi mandat mengelola dana ini harus segera memastikan ada perwakilan multi pihak dalam struktur tata kelolanya, termasuk masyarakat sipil dan masyarakat adat atau lokal. “Agar program-program pengurangan deforestasi dan degradasi yang dijalankan betul-betul tepat sasaran dan bermanfaat bagi komunitas,” katanya.

Berdasarkan analisis Madani terhadap data deforestasi KLHK, angka deforestasi bruto Indonesia menunjukkan tren penurunan selama 2003-2018, namun terdapat lonjakan besar pada 2014-2015, saat momentum politik pemilihan umum.

Deforestasi bruto tertinggi pada periode 2003-2018 terjadi di Riau (1,8 juta hektar), Kalimantan Tengah (1,4 juta hektar), Kalimantan Timur (1,2 juta hektar), dan Kalimantan Barat (1,16) juta hektar).

Hutan alam tersisa Indonesia pada 2018, paling luas terdapat di Papua (24,9 juta hektar), Papua Barat (8,8 juta hektar), Kalimantan Tengah (7,2 juta hektar), Kalimantan Timur (6,5 juta hektar), Kalimantan Utara (5,6 juta hektar), dan Kalimantan Barat (5,4 juta hektar).

Meski terlihat luas, katanya, luasan hutan alam di luar peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB) dan peta indikatif dan areal perhutanan sosial (PIAPS) yang belum terbebani izin atau konsesi sangat kecil, hanya 9,5 juta (10,7%) dari 88,7 juta hektar hutan alam tersisa pada 2018. Dari situ, katanya, terluas berada di Papua (1,3 juta hektar), Maluku (912.000 hektar), Nusa Tenggara Timur (857.000 hektar), dan Kalimantan Tengah (855.000 hektar). Kemudian, Sulawesi Tengah (821.000 hektar), Kalimantan Timur (586.000 hektar), dan Maluku Utara (581.000 hektar).

“Hutan alam dengan luas 9,5 juta hektar ini perlu segera dilindungi oleh kebijakan penghentian izin baru yang diperluas cakupan agar tidak lenyap akibat perluasan izin skala besar,” kata Teguh.

Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah mengumumkan angka deforestasi kotor (bruto) Indonesia pada 2018-2019, sebesar 465.500 hektar dan angka deforestasi bersih (netto) 462.400 hektar.

“Madani mengapresiasi penurunan angka deforestasi Indonesia meskipun tidak terlalu signifikan sebagai hasil dari berbagai kebijakan korektif yang dikeluarkan pemerintah serta kerja sama internasional yang baik dengan berbagai negara sahabat, termasuk Norwegia.”

Teguh berharap, kemitraan kedua negara ini lanjut dan makin kuat dengan menekankan pada aspek keterbukaan data dan informasi, partisipasi, serta penghormatan pada hak-hak masyarakat adat maupun lokal terhadap hutan dan sumber daya alam.

 

Keterangan foto utama: Hutan yang terbabat akan jadi kebun sawit. Foto: SOB

 

Kondisi hutan mangrove di Pulau Kucing yang masih terjaga dengan baik. Hutan mangrove, salah satu poin yang akan dimasukkan dalam kerja sama Indonesia-Norwegia lanjutan.  Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version