Mongabay.co.id

Mengurai Persoalan Penegakan Hukum Kejahatan Kehutanan di Papua

Sebanyak 384 kontainer kayu merbau ilegal asal Papua diamankan, sejauh ini bagaimana hukuman terhadap pelaku kejahatan sumber daya alam tersebut? Foto: Dok. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

 

 

 

 

Kasus penyitaan ratusan kontainer kayu ilegal asal Papua tahun lalu sudah memproses hukum beberapa pimpinan perusahaan. Sayangnya, berbagai kalangan menilai, hasil kurang memberi efek jera bagi pelaku, tak sepenuhnya mengembalikan kerugian negara, dan belum sampai pada tanggungjawab memulihkan kerusakan hutan. Demikian terangkat dalam diskusi bertema Menyibak Penegakan Hukum Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup di Tanah Papua, medio Mei lalu.

Dalam diskusi yang diselenggarakan Yayasan Pusaka, Auriga Nusantara, dan Pusat Bantuan Hukum Keadilan dan Perdamaian (PBHKP) Sorong ini hadir sebagai narasumber antara lain, Lory Da Costa dari PBHKP Sorong; Refky Saputra dari tim peneliti Auriga Nusantara. Lalu, Sulistyanto, anggota Tim Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Muslim Lobubun, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak dan Yazid Nurhuda, Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkugan HIdup dan Kehutanan (KLHK).

Baca juga: Sudah 384 Kontainer Kayu Merbau Ilegal Asal Papua Diamankan, Bagaimana Hukuman Pelaku?

Pada 2019, ramai informasi penyitaan ratusan kontainer kayu asal Papua. Aparat penegak hukum KLHK menyita kayu-kayu ini di Kaimana, Surabaya, Makassar dan Maluku.

Para pelaku lalu dijerat dengan Undang-undang Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UUP3H).

Dua kasus jadi contoh. Pertama, terdakwa Henock Budi Setyawan alias Ming Ho. Ming Ho adalah Direktur CV Alco Timber Irian dan CV Sorong Timber Irian. Kedua, perusahaan ini didakwa atas kepemilikan 81 kontaiter kayu ilegal. Satuan Tugas Ditjen Penegakan Hukum KLHK menemukan kayu-kayu ini di gudang milik perusahaan pelayaran PT. Salam Pasific Indonesia Lines (SPIL) di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Kayu-kayu ini berasal dari Sorong Papua Barat.

Ming Ho disidang di Pengadilan Negeri Sorong. Jaksa menjerat dengan Pasal 95 Ayat (1) huruf a yaitu memanfaatkan kayu dari pembalakan liar dengan mengubah bentuk. Juga Pasal 86 Ayat (1) huruf a yaitu mengedarkan kayu dari pembalakan liar melalui darat, perairan atau udara. Dia dituntut hukuman sembilan tahun penjara dan denda Rp 20 miliar subsider enam bulan kurungan.

Baca juga: Jawa Timur yang Berpotensi Sebagai “Markas” Kayu Ilegal

Pada 23 Oktober 2019, Hakim memutuskan jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa. Ming Ho vonis lima tahun penjara, denda Rp2,5 miliar subsider tiga bulan penjara.

Kasus kedua dengan terdakwa Daniel Garden. Daniel , merupakan Direktur PT. Mansinam Global Mandiri. Sebanyak 58 kontainer kayu ilegal milik perusahaan ini juga ditemukan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Kayu-kayu ini dari Jayapura.

Garden sidang di Pengadilan Negeri Surabaya. Beda dengan Ming Ho, Ketua Asosiasi Pengusaha Kayu Gergaji dan Olahan Indonesia Papua ini memenuhi unsur kejahatan terorganisir. Dia dituntut Pasal 94 ayat 1 jo Pasal 86 ayat 1 yaitu mengorganisir, mendanai, dan mengubah kayu hasil pembalakan liar dan Pasal 83 ayat 1 yaitu mengangkut, memiliki dan memnafaatkan hasil pembalakan liar. Jaksa menuntut empat tahun penjara, denda Rp1 miliar miliar subsider enam bulan kurungan.

Pada 27 September 2019, hakim memvonsis lebih ringan. Garden hanya dihukum 1,5 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider dua bulan kurungan.

Dirjen Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menunjukkan isi kontainer kayu ilegal jenis merbau asal Papua, di Pelabuhan Teluk Lamong, Surabaya. Foto: Petrus Rsiki/Mongabay Indonesia

 

 

Vonis rendah, hilang unsur kejahatan terorganisir

KLHK juga mengakui banyak aktor terlibat dalam praktik illegal logging ini. Ada masyarakat adat, penebang, industri primer, perusahaan jasa pengangkutan dan pelayaran, hingga industri lanjutan yang menerima kayu. Sayangnya, penerapan UU P3H dalam proses hukum kasus-kasus ini tak berjalan sebagaimama mestinya.

Refki Syahputra, peneliti Auriga Nusantara menguraikan kelemahan-kelemahan penegakan hukum dalam kasus ini, pertama, unsur kejahatan terorganisir hilang dari dari tuntutan. Dalam kasus Ming Ho, pelaku hanya dituntut atas kegiatan menerima dan mengedarkan kayu ilegal. Padahal, perusahaan menggerakkan dan mengorganisir pembalakan liar.

Ming Ho memberikan dana kepada para pihak yang membalak kayu di lapangan, mengatur pengangkutan hingga sampai ke perusahaan pembeli di Surabaya.

“Harusnya kan ini sebagai satu rangkaian kejahatan. Bukan hanya satu kejahatan tunggal di mana Ming Ho atau Alco Timber Grup hanya berperan menerima kayu. Kejahatan tidak sesederhana itu. Harusnya digiring ke potret kejahatan lebih besar, lebih terorganisir,” katanya.

Pasal yang dikenakan, katanya, mestinya Pasal 94 seperti Daniel Garden. Hukuman, lebih berat yaitu pidana penjara minimal delapan tahun dan maksimal 15 tahun, serta denda minimal Rp10 miliar dan maksimal Ro100 miliar.

Kedua, putusan hakim di persidangan ringan. Meski Daniel Garden memenuhi unsur kejahatan terorganisir, namun hakim memvonis lebih ringan dari tuntutan jaksa. Bahkan, baik Garden maupun Ming Ho vonis hukuman di bawah aturan minimal UU PH3. Denda pun bersifat subsider (pilihan) hingga makin meringankan pelaku..

“Kalau saya pelaku, saya memilih dikurung saja tiga bulan daripada membayar Rp2,5 milliar.”

Ketiga, korporasi luput dari jerat hukum. Meski Ming Ho dihukum namun Alco Timber Grup tidak ikut terjerat. Pun SPIL yang mengangkut kayu dan perusahaan penerima di Surabaya.

“Di UU P3H yang membeli kayu-kayu ilegal juga kena tapi sampai sekarang juga belum dijerat.”

Jadi, kejahatan kehutanan terorganisir yang khusus diatur dalam UU P3H tidak tercermin dalam proses hukum kasus-kasus ini.

 

Petugas dari KLHK memeriksa kontainer berisi kayu ilegal asal Soring, Papua, yang diselundupkan ke Surabaya. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Kendala di KLHK

Yazid Nurhuda, Direktur Penegakan Hukum Pidana KLHK mengatakan kendala dalam upaya penegakan hukum ini. Dia bilang, waktu penyidikan bagi penyidik Gakum LHK jadi kendala utama.

Dalam UU P3H, waktu yang disedikan bagi penyidik LHK hanya 90 hari. Setelah kewenangan habis, penyidikan lanjut oleh jaksa.

“Tapi tidak semua jaksa serta merta mau melanjutkan kasus itu.”

Dalam UU P3H, ada satu lembaga yang disebut lembaga P3H yang membawahi penyidik dan jaksa. Yavid bilang, lembaga ini berperan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi Sumber Daya Alam. Penyidik dan jaksa, katanya, harusnya berada di bawah lembaga ini untuk mempermudah koordinasi. Sayangnya, lembaga ini tidak pernah terbentuk.

Penyidik tetap ada ada di bawah PPNS atau kepolisian sementara dan jaksa di bawah kejaksaan agung. Sisi lain, jangka waktu penyidikan tidak diubah tetap 90 hari.

“Itu kendala kami untuk mengeksekusi utamanya terkait membuktikan kejahatan terorganisir karena itu mebutuhkan penelitian terlebih dahulu.”

Penyidik, katanya, tidak bisa mengintervensi putusan hakim bahkan lebih rendah dari aturan minimal. Penyidik, katanya, sudah berusaha menyediakan berkas bagus hingga baik tuntutan jaksa maupun putusan hakim juga sesuai.

“Kita tidak bisa mencampuri kewewangan karena ada kewenangan hakim untuk memutuskan berdasarkan keyakinannya. Di samping UU mengatur, keyakinan hakim juga mempengaruhi.”

Untuk itu, katanya, baik penyidik, jaksa, maupun hakim, harus memiliki pemahaman sama atas kasus kejahatan kehutanan.

Terkait tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus-kasus ini, UU P3H juga mengatur kewenangan penyidik tetapi dibatasi oleh aturan UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

“Jadi, walalupun kewenangan kami punya untuk penyidikan TPPU tapi dalam kenyataan kami belum bisa mengeksekusi itu. Hingga kontribusi untuk membawa uang itu kembali kepada negara belum bisa berjakan dengan baik. Padahal, di UU P3H ancaman bisa sampai Rp1 triliun,” katanya.

Soal pemulihan hutan, katanya, ada peluang menjerat perusahaan-perusahaan ini dengan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Kita sedang proses diskusi apakah memungkinkan. Perlu ada pembuktian, hasil dari illegal logging itu merusak lingkungan hingga tunduk pada UU 32/2009.”

Selama 2019, ada 26 berkas penyidikan sudah naik ke Kejaksaan Tinggi Makassar, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan Kejaksaan Agung. Dari 26 kasus, 12 berkas lengkap atau P21, 13 kasus perlu perbaikan berkas dan habis kewenangan dan enam daftar pencarian orang, serta satu kasus masih proses sidik.

 

 

Mobil beserta kayu sitaan di Halaman Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Papua. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Rekomendasi

Hasil kajian litbang KPK menunjukkan, besarnya kerugian negara dari praktik illegal logging di Papua. Untuk Kabupaten Sarmi saja, tiap hari sekitar 20 truk kayu olahan beredar. Satu truk memuat lima meter kubik kayu. Total 36.500 meter kubik kayu beredar tiap tahun.

Ketidakpastian status kawasan hutan, perizinan rentan suap, dan ketimpangan pengeolaan hutan jadi akar masalah. Untuk itu, sebagai bagian dari rencana aksi Gerakan Penyelamantan Sumber Daya Alam (GNPSDA) di Papua, ada dua hal rekomendasi KPK. Pertama, perbaikan tata kelola kehutanan, kedua, meningkatkan efektivitas penegakan hukum.

Untuk penegakan hukum, KPK penguatan kapsitas pada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan polisi, meningkatkan kapasitas penyidikan dan penuntutan untuk jaksa, koordinasi antara penegak hukum dan PPNS, dan membangun mekanisme berbagi pengetahuan terkait kejahatan sumber daya alam. Juga, penguatan kapasitas masyarakat dalam memmantau proses penegakan hukum.

“Ini yang akan kita lakukan dalam mendorong efektivitas penegakan hukum sumber daya alam dan lingkungan hidup.”

KPK juga merekomendasikan proses audit idustri yang terlibat, audit perusahaan pemegang hak pengelolaan hutan (HPH), dan penegakan hukum terhadap perusahaan pelayaran bermasalah.

Ada 10 perusahaan dengan kapasitas produksi di bawah 6.000 meter kubik masuk kategori pelanggaran berat. Mereka memanipulasi produksi lebih dari 1.000 kali dan memalsukan dokumen.

Muslim Lobubun, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak menyatakan, ada banyak dasar hukum pengelolaan sumber daya alam di Papua. Ketidakpaduan, antara lain jadi akar masalah yang harus diselesaikan pemerintah.

“Selama regulasi belum harmonis dan tak berpihak pada masyarakat Papua, orang Papua tidak akan merasakan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam.”

Lory Da Costa dari PBHKP Sorong mengatakan, penting keterbukaan informasi perizinan dan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan. Menurut dia, harus ada kolaborasi antara penegak hukum dengan masyarakat dalam dan sekitar hutan. Kolaborasi, katanya, bisa dalam bentuk pelatihan paralegal untuk masyarakat.

“Mereka yang jadi ujung tombak dalam melaporkan ke isntransi terkait pihak-pihak yang melakukan tindakan illegal logging.”

Yazid mengatakan, penting keterlibatan semua pihak dalam mendukung penegakan hukum atas kejahatan kehutanan di Papua. Wilayah ini, katanya, memiliki sumber daya alam masih bagus tetapi rawan tindak kejahatan.

Kolaborasi para pihak, kolaborasi antara aktor, katanya, merupakan keharusan. Ada kepolisian, pemerintah daerah, masyarakat sipili, aktivis, media dan kementerian maupun lembaga seperti KPK.

“Kalau kolaborasi ini bisa dilakukan serius dan konsisten, mudah-mudahan kita bisa sama-sama menyelematkan bumi Papua dari kegiatan merusak.”

 

Keterangan foto utama: Sebanyak 384 kontainer kayu merbau ilegal asal Papua diamankan, sejauh ini bagaimana hukuman terhadap pelaku kejahatan sumber daya alam tersebut? Foto: Dok. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Aparat penegak hukum memasang police line di pintu gerbang PT. Victory di Nimbontong, Kabupaten Jayapura. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version