Mongabay.co.id

Menggandeng Masyarakat Pulihkan Lahan Perambahan di TN Kerinci Seblat

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) terhampar di 4 provinsi yaitu: Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, dengan luas 1.386.000 hektar. Ia menjadi taman nasional terluas kedua di Indonesia setelah TN Lorentz di Papua dengan luas 2.450.000 hektar.

Menurut Data Unit Pelaksana Teknis Balai Besar TNKS (UPT-BBTNKS), 2016, terdapat sekitar 41 ribu hektar dalam kawasan TNKS yang mengalami perambahan. Adapun perambahan terluas berada di Kabupaten Kerinci dan Merangin, dengan total 20 ribu hektar.

Data lain yang dipublikasikan oleh Tropenbos International Indonesia bersama UNESCO (2015) mencatat angka yang lebih besar, yaitu luas perambahan total di TNKS adalah 130.322 hektar.

Wilayah TNKS sendiri menjadi perhatian dunia karena beberapa status yang melekat padanya. Dalam perspektif Internasional, TNKS masuk dalam kawasan (i) ASEAN Heritage Park sejak 18 Desember 2003; (ii) Situs Warisan Dunia (world heritage site) Kluster Hutan Hujan Tropis (Cluster Tropical Rain Forest) bersama dengan TN Gunung Leuser dan TN Bukit Barisan Selatan sejak 2004; (iii) Secara landscape, TNKS merupakan areal konservasi harimau level 1.

Sebagai situs perhatian dunia, maka banyak perhatian dalam perlindungan dan pelestarian kawasan konservasi TNKS yang telah dilakukan. Seperti pendanaan dari Flora Fauna International, ICDP Fund, WWF, TFCA, dan FP II KfW. Belakangan, adanya pendanaan pelaksanaan program kehutanan dari KfW (Kreditanstalt fur Wiederaufbau) Jerman menjadi katalisator UPT-BBTNKS untuk aktif bergerak mengatasi perambahan kawasan.

Dari sekitar 130 ribu-an hektar perambahan di empat provinsi yang masuk kawasan konservasi TNKS, maka otoritas melakukan tipologi perambah yang dibedakan sebagai berikut:

Pertama, para petani yang memang kesulitan ekonomi sehingga membuatnya menggarap kawasan untuk bertahan hidup. Ciri khas dari kelompok jenis ini ialah lahan garapan relatif kecil. Mereka merambah dalam ke kawasan karena faktor ekonomi, dan tidak punya sumber daya untuk menggarap secara masif.

Kedua, pemodal pencari lahan. Kelompok ini mempunyai modal atau sumber daya untuk membuka kawasan secara masif, maupun melakukan praktik pembelian terhadap perambah-perambah terdahulu yang kecil-kecil tapi banyak.

Baca juga: Jaga dari Beragam Ancaman, Empat Polda Bentengi Taman Nasional Kerinci Seblat

 

Ilustrasi hutan hujan tropis di Sumatera yang masih terjaga. Foto: Rhett A Butler/Mongabay

 

Bertahap melalui pendekatan

Dalam strateginya, pihak otoritas menetapkan syarat utama pendampingan dan dukungan bagi tipologi perambah yang pertama. Di tahap awal, upaya validasi dan verifikasi dilakukan untuk memastikan bahwa ladang digarap sendiri untuk memenuhi kehidupan, dan bukan yang didorong oleh pemodal yang memberi pengupahan kerja bagi buruh ladang mereka.

Dalam penangan konflik tenurial UPT-BBTNKS melakukan pendekatan sebagai berikut: (1) identifikasi dan inventarisasi aktor perambah, (2) pembentukan gugus tugas penanganan konflik tenurial, dan (3) melalui pendekatan dengan kelompok yang terlibat konflik tenurial ini.

Berikutnya dilakukan dengan (4) membuka ruang persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (FPIC), (5) memfasilitasi pembentukan kelompok tani hutan, (6) penerapan skema perhutanan sosial di kawasan konservasi, dan terakhir (7) melakukan pemberdayaan peningkatan usaha ekonomi masyarakat.

Menurut Dian, Staf Kerjasama UPT-BBTNKS yang penulis wawancarai, maka tahapan yang dilakukan bertujuan untuk melakukan Pemulihan Ekosistem Taman Nasional yang telah dirambah. Di sisi lain mendorong agar masyarakat tidak lagi melakukan pembukaan wilayah hutan dan memiliki alternatif mata pencaharian baru.

Baca juga: TNKS yang Tak Lekang oleh Ancaman Pembelahan Kawasan

Dalam program pendampingan yang dimulai sejak 2017, telah terdapat beberapa kelompok yang bersinergi untuk melakukan role model pengelolaan kawasan. Sudah ada empat Kelompok Tani Hutan (KTH) di Desa Giri Mulyo dan Kebun Baru, Kabupaten Kerinci yang telah menyepakati SK Perjanjian Kerjasama (PKS) Kemitraan Konservasi dengan pihak TNKS.

Di daerah Kebun Baru, dua KTH telah dibina untuk melakukan program pemulihan ekosistem, yaitu KTH Meranti Jaya yang beranggotakan 20 orang yang melakukan penggarapan di dalam kawasan seluas 29 hektar. Satu lagi, KTH Sejahtera Bersama yang beranggotakan 17 orang yang melakukan area garapan di lahan seluas 25 hektar.

Pada tahun 2018, pihak otoritas melakukan insentif pemberdayaan ekonomi lewat kegiatan peternakan. Di samping tetap bertani, KTH Meranti Jaya sedang mengembangbiakan 20 ekor kambing, sementara itu KTH Sejahtera Bersama tengah mengembangbiakkan 2 ekor sapi.

Baca juga: Tokhtor Sumatera yang Kembali Terpantau di Taman Nasional Kerinci Seblat

Insentif yang diberikan wajib diiringi dengan tugas pemulihan ekosistem kepada kelompok tani. Diantaranya pengembangan tanaman penghijauan seperti medang jahit, medang hijau, kulit manis, dan rotan di areal garapan, dimana 10 ribu bibit telah disediakan oleh TNKS. Mereka pun diminta membantu pihak resor dalam melaksanakan patroli hutan.

Saat ini tanaman medang telah mulai ditanam di pinggiran kebun masyarakat. Meski dalam implementasinya belum mencapai kata sepakat untuk penanaman tanaman medang di tengah kebun petani (1 pohon di per tiga meter persegi lahan). Petani menyebut jarak tersebut amat rapat, dan ditakutkan akan mematikan tanaman petani.

Dalam restorasi ekosistem, cara paling efektif memang dilakukan lewat upaya bertahap. Jika tidak akan rentan terhadap konflik. Diperlukan upaya pembimbingan masyarakat sehingga berangsur-angsur ekonomi alternatif berkembang, dan upaya restorasi lingkungan dapat dipulihkan.

 

* Alek Karci Kurniawan, penulis adalah Analis Kebijakan Konservasi, saat ini bekerja untuk prakarsa iklim dan hutan di dataran rendah Sumatera. Artikel ini adalah opini penulis.

 

***

Gambar utama: Gunung Kerinci yang dilihat dari Kayu Aro, Kerinci, Sumber: Wikipedia

Exit mobile version