Mongabay.co.id

UU Minerba Baru Makin Ancam Hutan Lindung dan Konservasi

 

 

 

 

 

Revisi Undang-undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang baru usai bulan lalu mengancam keberlangsungan hutan lindung maupun konservasi. Pasalnya, dalam UU mengisyaratkan semua kawasan, termasuk lindung dan konservasi boleh eksplorasi.

“Kita kalah total, apalagi daya dukung lingkungan, kalah telak (oleh UU Minerba),” kata Edo Rahman, Wakil Kepala Departemen Advokasi Walhi Nasional, baru-baru ini.

Baca juga: RUU Minerba Lanjut di Tengah pandemi, Berikut Kritikan Masyarakat Sipil

Hutan lindung, katanya, berada dalam kewenangan pemerintah pusat dan minim atau bahkan, masyarakat susah mengaksesnya. Dengan begitu, kemungkinan sedikit atau tak ada warga yang protes eksplorasi karena khawatir berdampak bagi lingkungan mereka.

“Dengan izin eksplorasi, akan makin mulus eksplotiasi di kawasan ini,” kata Edo.

Tukirin Partomihardjo, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia berharap, kemudahan dan kelonggaran eksplorasi di hutan lindung tidak berujung eksploitasi. Eksplorasi, katanya, dapat diterima sebatas memberikan kesempatan untuk mengkaji.

“Tapi, ya, selalu seperti buah simalakama, penilaian ekonomi itu lebih dikedepankan daripada konservasi,” katanya.

 

Bertentangan dengan UU Kehutanan

Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) menilai, Undang-undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan jadikan senjata melawan eksploitasi pertambangan di hutan lindung. Dalam UU Kehutanan, dipastikan pertambangan di hutan lindung hanya boleh dalam bentuk pertambangan tertutup.

“Terkait pengelolan hutan, semua perspektif harusnya pakai UU 41/99 ini. Karena UU ini belum diubah. Kita tidak boleh bertentangan dengannya,” katanya.

Baca juga: UU Minerba Ketok Palu: Jaminan Korporasi, Ancaman bagi Rakyat dan Lingkungan

Dia bilang, pertambangan terbuka seperti batubara ataupun bauksit tak akan bisa kalau mengacu UU Kehutanan. Lain dengan pertambangan emas maupun gas bumi, merupakan pertambangan tertutup.

Kondisi saat ini, katanya, mengkhawatirkan lantaran Undang-undang Kehutanan pun masuk prolegnas 2020. Dia belum tahu detil perubahan seperti apa pada UU Kehutanan ini.

Dia melihat, kuatnya politik kepentingan melatarbelakangi legislatif dan eksekutif dalam menggenjot UU kontroversial ini. Menurut dia, hanya segelintir orang akan merasakan manfaat dari setumpuk kebijakan ini.

Pasal-pasal kontroversial seperti eksplorasi di hutan lindung, katanya, hanya akan menghasilkan efek eksternalitas seperti banjir, longsor dan segala macam bencana yang justru dirasakan rakyat kecil di sekitaran kawasan.

“Saya melihat mereka ugal-ugalan (membuat Undang-undang-red), mau menang sendiri aja, gitu lho. Mending kalau mereka yang minta seperti ini adalah orang tidak punya. Di sana itu orang kaya semua,” katanya.

 

Tambang emas yang beroperasi di hutan Sumatera Utara. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

***

Hendra Sinadia, Ketua Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia membenarkan kalau UU ini memberikan kepastian hukum bagi pengusaha tambang di Indonesia.

Dengan UU ini, katanya, juga memberikan ketegasan hukum bagi pelanggaran dalam pertambangan termasuk pelanggaran lingkungan terkait reklamasi dan pasca tambang.

Hendra bilang, kondisi saat ini, permintaan batubara menurun karena wabah Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Negara-negara yang biasa mengimpor batubara dari Indonesia saat ini cenderung memprirotaskan kepentingan nasional masing-masing.

Baca: Pengesahkan UU Minerba dan Potensi Besar Korupsi di Sektor Energi dan Pertambangan

Dampaknya, batubara berlebih (over supply) dan harga diperkirakan bakal terus menurun.

“Outlook ke depan kita juga masih bertanya-tanya. Tergantung bagaimana negara-negara ini menyelesaikan pandemi di negaranya,” kata Hendra dalam sebuah diskusi daring.

Catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), estimasi produksi batubara nasional tahun ini 510 juta ton. Sekitar 66,66% oleh perusahaan pemegang perjanjian karya pengelolaan batubara (PKP2B), sekitar 340 juta ton.

 

Fakta tambang di kawasan hutan

M Dedy P Sukmara, peneliti Auriga Nusantara, mengatakan, hasil evaluasi sampai 2018 ada 917 IUP batubara masih aktif dan 829 mendapat sertifikat clean and clear , 88 IUP tak CnC.

Berbeda dengan IUP, PKP2B tidak ikut dalam evaluasi KESDM dan tidak wajib tersertifikasi CnC.

“Padahal, dilihat aspek luas area dan produksi, PKP2B jauh lebih besar daripada IUP, harusnya juga dievaluasi kinerjanya. Mengingat delapan PKP2B generasi pertama telah dan akan berakhir kontrak kurang dari lima tahun lagi,” kata Dedi.

Temuan Auriga, dalam konsesi delapan PKP2B terdapat 59.791 hektar tutupan hutan dan 87.307 hektar lubang tambang yang belum direklamasi, di antaranya, 5.901 hektar dalam kawasan hutan namun tak punya izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).

‘Terdapat potensi pelanggaran kewajiban delapan PKP2B ini. Hingga KESDM harus evaluasi terlebih dahulu.”

Menurut Auriga, pemerintah perlu memastikan pembatasan luas wilayah izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dan memastikan tutupan hutan tak termasuk dalam IUPK. Pemerintah juga perlu mengevaluasi dan memastikan kewajiban pemegang PKP2B dan IPPKH dipenuhi termasuk kewajiban penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

“Memastikan pemegang PKP2B mendapatkan perpanjangan (IUPK-red) setelah semua kewajiban dipenuhi,” katanya.

Dalam konteks politik dan kekuasaan, Yogi Setya Permana, peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI menilai, ada dua kata kunci harus jadi bandul dalam pengelolaan pertambangan di Indonesia. Pertama, kepastian hukum untuk investasi dan memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

“Ini jadi dua tujuan dilematis,” katanya.

UU ini, katanya, muncul tanpa ada diskusi publik secara masif. Pandemi Corona, tak jadi alasan ketika ada urusan kepentingan umum bersama. Dalam website resmi DPR juga tak ada informasi proses penyusunan yang melibatkan publik.

Yogi juga menyoroti sentralisasi pengelolaan minerba terkait ketimpangan ekonomi dan pengelolaan dampak tambang.

Dalam konteks ketimpangan, katanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 10-15 tahun ini jadi salah satu yang impresif di Asia Tenggara. COVID-19, katanya, tidak membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia jadi paling buruk.

Meski demikian, dalam 10 tahun pertumbuhan ekonomi, ketimpangan di Indonesia paling menonjol dibanding negara lain.

“Ketimpangan rasio gini Indonesia paling buruk setelah China, di Asia Tenggara.”

“Kenapa ‘rejeki’ sumber daya alam melimpah ini tidak bisa mengatasi ketimpangan? Padahal konstitusi mengamanatkan untuk sebesarnya kemakmuran rakyat.”

Tren ketimpangan ini, katanya, konsisten memburuk, walau sempat membaik pada 2017. Menurut dia, perlu meletakkan UU Minerba dalam konteks buruknya ketimpangan Indonesia ini. Hal ini, katanya, tak bisa lepas dari politik oligarki.

Dalam dunia akademik, kata Yogi, juga diakui Indonesia sebagai negara oligarki yang dimaknai sebagai kekayaan dikuasai segelintir orang.

Mengutip Helena Varkkey dalam buku The Haze Problem in Southeast Asia, Yogi menganalogikan peran oligarki dan dampak terhadap lingkungan, seperti kesulitan pemadaman asap setiap kali kebakaran hutan dan lahan selama lebih dari 20 tahun.

Dalam buku itu disebutkan, kondisi itu bukan karena keterbatasan alat atau sumber daya manusia, tetapi karena ada hubungan antara perusahaan sawit dengan elit politik.

“Ini yang bikin sistem sanksi tidak berjalan baik.” Kondisi serupa juga terjadi pada sektor minerba.

Saat UU Minerba baru kembali pada sentralisasi pemerintah pusat, katanya,peran pemda sebagai bagian akar rumput yang pertama kali menghadapi masalah di masyarakat.

LIPI telah menyusun Indonesia Green Government Index (IGGI) sebagai instrumen evaluasi pemda dalam mengelola sumber daya alam. Indeks ini disusun dengan premis bahwa pengelolaan sumber daya alam yang baik oleh pemda dapat jadi sarana mendistribusikan kesejahteraan kepada warga. Warga terlibat dalam pengelolaan hingga terserap dalam aktivitas pengelolaan sumber daya alam.

Sisi lain, menurut indeks ini kalau pengelolaan sumber daya alam dengan baik, dampak terkait lingkungan, ekonomi dan sosial juga dapat dikelola maksimal.

“Kualitas lingkungan harus tetap terjaga sekaligus pendapatan daerah dapat optimal.”

 

Lubang tambang batubara di wilayah DAS Air Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. pKajian Yayasan Auriga Nusantara, memperlihatkan, sekitar 5.000-an lubang tambang berada di kawasan hutan. Foto: Dok. Genesis

 

Dari hasil uji coba LIPI terhadap IGGI, ditemukan, pemda sangat impresif untuk menarik investor, namun mitigasi dampak minim, misal, ada PNS tak punya sertifikasi dalam menganalisis analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Dengan sentralisasi dalam UU Minerba baru ini, Yogi khawatir, menimbulkan saling lempar tanggungjawab antara pemda dan pemerintah pusat kalau terjadi masalah lingkungan.

Catatan LIPI, hanya 7% dari 15.000 kata dalam UU Minerba membahas soal dampak tambang. Dalam UU Cipta Kerja pun, semua manajerial soal dampak dikontrol pemerintah pusat.

Seharusnya, pandemi COVID-19 ini jadi momentum bagi pemerintah dalam memikirkan hubungan manusia dengan alam.

Mengutip sebuah riset dari Cambridge University yang menyatakan, eksploitasi sumber daya alam rentan memicu deforestasi yang berakibat makin ‘intim’ hubungan manusia dengan alam dan hewan liar, seperti saat ini hingga menimbulkan wabah di dunia.

Yogi mengakui, pemda tak luput dari berbagai persoalan dalam eksploitasi sumber daya alam. Sejumlah izin tiba-tiba terbit, rawan korupsi dan penegakan hukum lemah. Beberapa daerah juga rentan dinasti kecil oligarki seperti di pusat.

Meskipun begitu, katanya, menarik semua kewenangan ke pusat bukan solusi. “Sebaiknya, ada perbaikan dulu ke daerah, karena pusat juga akan kesulitan jika menemui persoalan di akar rumput.”

Oligarki tambang, kata Yogi, juga menyulitkan bagi pengusaha kecil yang ingin ikut andil dalam industri tambang. Mereka tak termasuk dalam oligarki yang punya keistimewaan sejak zaman Orde Baru.

 

Ekonomi tumbuh tinggi bukan di daerah tambang

Joko Tri Haryanto, peneliti madya Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan, mengingatkan, soal ketimpangan antara daerah kaya sumber daya alam, daerah kaya pajak dan daerah miskin di 34 provinsi Indonesia. “Daerah miskin paling banyak,” katanya.

Catatan BKF, pada 2016 kontribusi Jawa dan Bali untuk pendapatan nasional mencapai 58%. Sementara daerah yang kaya tambang seperti Kalimantan, Papua, Sulawesi, kontribusi tidak signifikan. Pada 2019, pemerintah membangun lebih banyak infrastruktur di timur Indonesia, tetap angka ini tak berubah jauh.

“Butuh banyak waktu untuk mengubah ini. Bagaimana mengurangi ketimpangan dan mengurangi beban Jawa ke daerah lain.”

Menurut Joko, daerah-daerah yang memiliki pendapatan dan pertumbuhan ekonomi tinggi justru daerah yang tidak mengandalkan sektor tambang, seperti Jawa Timur, Bali dan Jawa Barat.

Daerah kaya tambang seperti Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Banten, Kalimantan Utara dan Kalimantan Selatan, justru pertumbuhan ekonomi menurun dari tahun ke tahun.

“Daerah ini (tambang) share-nya tinggi tapi growth (ekonomi) negatif. Ini jadi early warning system,” kata Joko.

Balikpapan, daerah yang tak membuka tambang juga mengalami pertumbuhan ekonomi lebih baik.

EWS yang dimaksud Joko adalah supaya pemerintah daerah tidak lupa transisi ekonomi sebelum tambang berakhir. Pemda, katanya, harus berpikir bagaimana ekonomi daerah bisa tumbuh pasca tambang, dengan dana bagi hasil dari tambang.

Dengan kata lain, pendapatan daerah dari tambang untuk membangun berbagai sektor non tambang. Kalau tak dilakukan, katanya, hipotesa mengenai kutukan sumber daya alam akan terjadi di daerah.

“Ini bukan imajiner. Ketika daerah kaya sumber daya alam ini banyak konflik akibat tambang, menimbulkan ketimpangan dan pertengkaran. Kutukan sumber daya alam bisa jadi resource war,” katanya.

Lantas seperti apa transisi ekonomi harus dilakukan? Joko mencontohkan, inisiatif Pemda Bojonegoro yang membuat dana abadi minyak dan gas karena bupati sadar bahwa tambang tak bisa mensejahterakan rakyat secara langsung.

Dengan kondisi pandemi yang menyebabkan harga minyak turun, daerah bisa mengandalkan dana abadi ini alih-alih terus bergantung dana bagi hasil migas.

Selain itu, katanya, sebagian besar tenaga kerja industri tambang, perlu keahlian tertentu yang tak menyerap banyak tenaga kerja lokal. Masyarakat lokal, katanya, hanya di sektor informal. “Biasa masyarakat lokal teralienasi dari daerah tambang itu,” katanya.

Dengan sentralisasi dalam UU Minerba baru, Joko khawatir transmisi ekonomi akan jadi sangat kecil dan kesejahteraan masyarakat sekitar tambang makin terabaikan.

“Tambang hanya bisa mensejahterakan jika untuk boosting sektor lain.”

 

Keterangan foto utama: Hutan di Morowali yang terbabat untuk tambang nikel. Foto: Jatam Sulteng

 

Exit mobile version