Mongabay.co.id

Refleksi Hari Lingkungan Hidup di Masa Pandemi

Alex Waisimon saat berusaha melihat batas area yang sudah dibuka. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

”Makanan yang kita makan, udara yang kita hirup, air yang kita minum. Dan iklim yang membuat planet kita layak huni, semua berasal dari alam. Untuk merawat diri kita sendiri, kita harus memelihara alam. Sudah waktunya, untuk memelihara alam lebih baik bagi manusia dan planet ini.” Begitu antara lain sambutan Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2020.

Tahun ini, peringatan Hari Lingkungan Hidup berpusat di Kolumbia, kala dunia terkena pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) dengan tema,”Biodiversity, Time for Nature.”

Timbulnya bencana pandemi COVID-19 ini, kata Siti, menunjukkan bahwa kalau manusia merusak keragaman hayati, juga merusak sistem pendukung kehidupan manusia.

“Pandemi COVID-19 ini juga memberikan pelajaran berharga bagi kita semua untuk menjaga keseimbangan alam,” katanya.

Di masa pandemi, banyak negara lockdown, kegiatan industri tutup secara global, transportasi udara turun 96%, mobilitas manusia turun 90%, katanya, di berbagai belahan dunia terjadi perbaikan kualitas udara. Konsentrasi NO2 global turun 30%, stasiun pantauan kualitas udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat penurunan konsentrasi PM2,5 cukup signifikan di berbagai kota. Bahkan, selama dua bulan peneraban pembatasan sosial berskala global (PSBB) terjadi penurunan konsentrasi PM2,5 di Jakarta, sekitar 45%.

Kualitas air juga alami perbaikan secara global. Analisis satelit, danau-danau di India, terjadi penurunan konserntrasi rata-rata 15,9% di daerah yang terpengaruh industri. Data stasiun monitoring kualitas air KLHK, katanya, menditeksi penurunan chemical oxygen demand (COD) Sungai Brantas sebesar 21%.

Keragaman hayati, kata Siti, meskipun terjadi tekanan dalam pengelolaan, seperti taman nasional, maupun lembaga konservasi, tetapi di berbagai belahan dunia, tampak satwa liar [hidup bebas] di pemukiman manusia. “Berkurangnya tekanan manusia terhadap alam, menyebabkan alam memperbaiki dirinya sendiri.”

Bicara soal keragaman hayati, kata Siti, Indonesia, sebagai negara berhutan tropis luas dan mega biodiversiti hingga berperan strategis dalam menjaga keragaman hayati global.

Keragaman hayati, katanya, pondasi pendukung semua kehidupan, di daratan, lautan dan udara. Ia mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia, mulai dari kesehatan, penyediaan udara, air bersih, makanan, obat-obatan, dan mitigasi perubahan iklim.

Pemerintah, kata Siti, berkomitmen menjaga keragamanhayati melalui upaya konservasi yang sistematis, yakni perlindungan sistem pendukung kehidupan, pelestarian keragaman spesies dan ekosistem dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Bagaimana implementasi menjaga dan melindungi ekosistem, merawat keragamanhayati maupun pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan itu masih tantangan di negeri ini yang masih bergantung kepada beragam industri ekstraktif. Dalam diskusi berbeda, Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup pertama Indonesia mengatakan. pembangunan ramah lingkungan harus jadi prioritas pemerintah Indonesia.

“Pembangunan sekarang harus tertuju pada manusia dengan fokus sustainable development,” katanya dalam diskusi Membangun Kembali Indonesia Pasca Pandemi.

Dia menyinggung, DPR dan pemerintah yang sedang menggodok RUU Cipta Kerja, yang menyederhanaan berbagai aturan atau bisa disebut omnibus law dengan mengutamakan ekonomi, sebagai tindakan keliru. “Itu zaman Orde Baru,” katanya.

 

Lubang tambang batubara di wilayah DAS Air Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Foto: Dok. Genesis

 

Pembangunan berbasis lingkungan hidup harus jadi prioritas pemerintah. Selain itu, katanya, swasembada pangan dan energi berkelanjutan harus jadi prioritas pembangunan di tengah krisis global. Kondisi ini, dimana banyak negara di dunia mengamankan produk pangan dalam negeri.

”Pengertian pangan harus diubah menjadi nutrition based atau gizi. Pangan pokok itu bukan hanya beras, tapi jagung, ubi, sorgum, sagu dan lain-lain.”

Indonesia, katanya, harus mengembangkan diversifikasi pangan dengan penekanan pada nutrisi. Diversifikasi pangan ini, katanya, dengan memanfaatkan kekayaan hayati dalam landasan pembangunan berkelanjutan.

Berbicara pada kedaulatan energi, kata Emil, Indonesia masih bergantung pada energi fosil seperti minyak bumi dan batubara, padahal secara global alami penurunan.

“Indonesia harus banting setir dari fosil fuel energy jadi renewable energy. Kita punya matahari besar, kenapa tidak ada ikhtiar memanfaatkan solar. Kita negara kepulauan di kelilingi lautan, air, mengapa tidak memakai pembangkit listrik tenaga air atau ombak dan lain-lain.”

Dia bilang, pembangunan berkelanjutan, diversifikasi pangan maupun beralih ke energi terbarukan, jadi kunci menghadapi pandemi dan masa depan. “Sayangnya, Indonesia seolah-olah menganggap ini business as usual,” kata pria juga ekonom dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) ini.

Menurut Emil, dalam masa pandemi alam mambaik karena pola manusia dalam kegiatan ekonomi berubah. Secara praktis, pembangunan ekonomi gaya lama berhenti, alam mengalami rehabilitasi secara mandiri.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, pandemi ini jadi krisis dari berbagai krisis ekologis yang tejadi beberapa dekade terakhir. Momentum ini, katanya, seharusnya jadi saat tepat untuk bangkit bersama memulihkan ekologi dengan perubahan orientasi kebijakan pembangunan Indonesia.

“Perlu dilihat kembali indikator kemajuan sebagai bangsa,” kata Yaya, sapaan akrabnya.

Selama ini, katanya, indikator kemajuan identik dengan pertumbuhan ekonimi. Hal itu, katanya, menyebabkan pemerintah membangun bandara, sawah baru lewat BUMN. “Sudah saatnya kita tidak bicara quantity tapi quality dari pembangunan.”

Farhan Helmy, akademisi dari Thamrin School bilang, sebelum ada pandemi, dunia telah mengalami krisis lingkungan, ada tanda-tanda krisis dengan kehilangan spesies dan keragaan hayati.

“Krisis ini tidak hanya terjadi pada satu negara, perlu ada dorongan goverment (pemerintah) lebih luas. Ini karena ekonomi berkaitan dengan krisis iklim, krisis hilangnya spesies keanekaragaman hayati yang kami percaya akan menyebabkan gangguan pada rantai makanan.” ”

Momentum pandemi ini, katanya, jadi langkah dalam mendorong tata kelola perubahan di level global, nasional maupun lokal. Tidak dapat dipungkiri, katanya, berbagai intervensi dipastikan selalu ada dinamika kepentingan di dalamnya. Hal ini, katanya, perlu didorong konsisten dalam pemenuhan komitmen pembangunan berkelanjutan.

 

Dari Direktorat Pengendalian Pencemaran dan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, turun ke lokasi ambil sampel. Hasilnya, perusahaan buang limbah ke sungai melebihi baku mutu. Foto: Dinas LIngkungan Hidup Siak

 

Kekayaan alam dan kearifan lokal

Masyarakat adat di berbagai penjuru bumi, termasuk di Indonesia, banyak memberikan contoh hidup serasi bersama alam.

Emil mencontohkan, Orang rimba di Jambi, yang memiliki kearifan lokal bisa jadi contoh pola pembangunan yang harus jadi contoh pemerintah. Masyarakat adat, katanya, membangun sesuai keadaan alam, tidak mengeksploitasi dan merusak alam, malah mereka memperkaya alam.

Hal prinsipil yang terlihat antara masyarakat adat dan masyarakat maju adalah sikap dalam memperlakukan alam. Masyarakat maju, katanya, jadikan alam tunduk,, merusak, mengubah tatanan hingga kehidupan ekosistem alam babak belur.

Peranan masyarakat adat, jadi penting karena memiliki kemampuan alami memperkaya alam. “Kita perlu terus mencari pengetahuan yang mereka miliki. Mereka bukan orang yang hanya untuk kita lindungi dan kasihani, mereka itu resource of information untuk pola pembangunan yang baru dan resource perkaya keragaman hayati, sekaligus meningkatkan pri kehidupan masyarakat.”

Dia menegaskan, agar alam tetap lestari, perlu jadi pembelajaran bagi manusia untuk mengubah pola pembangunan konvensional seperti praktik selama ini. ”Bekerja dengan terobosan teknologi, membangun dengan tak eksploitasi sumber daya alam tapi bagaimana memperkaya sumber daya alam.”

Pola pembangunan saat ini mengkhawatirkan. Rudi Syaf, Direktur KKI Warsi khawatir terjadi ethnocide atau pemusnahan etnis karena kultur sosial budaya masyarakat berubah karena ada pembangunan.

Dia contohkan, Orang Rimba yang hidup di kawasan hutan di Taman Nasional Bukit Dua Belas. Mereka, katanya, banyak tinggal di perkebunan sawit milik perusahaan atau masyarakat lain, perkebunan kayu monokultur milik perusahaan.

“Sumber daya terbatas, mereka tidak bisa mengandalkan budaya meramu dan berburu. Kami khawatir etnis orang Rimba akan hilang.”

 

Orang Rimba hidup di bawah sudung, semacam tenda dari terpal dan kayu. Mereka hidup berpindah-pindah mencari apapun yang bisa untuk bertahan hidup. Foto: Human Rights Watch

 

Menurut Yaya, tak menyangka krisis tahun ini lebih besar dibandingkan krisis multidimensi yang jadi catatan Walhi awal 2020. Ekonomi pembangunan kapitalistik, katanya, jadi penyebab utama laju kerusakan bumi dan melahirkan jenis wabah penyakit seperti ini.

Dalam jangka panjang, krisis iklim akan jadi ‘hadiah’ buruk bagi bumi dan penghuninya. Tidak hanya manusia, keragaman biodiversiti juga terancam laju perubahan iklim.

Indonesia sudah meratifikasi Perjanjian Paris melalui UU 16/2016, sekadar jadi norma yang sama sekali tidak mengubah cara pandang negara. Hingga kini, masih melegalkan praktik ekonomi ekstraktif yang acuh aspek sosial dan lingkungan.

Krisis yang terjadi saat ini pun, katanya, tidak membuat pemerintah sadar, malahan terus memberikan karpet merah terhadap korporasi alias investasi.

Situasi saat ini malah dimanfaatkan korporasi perusak lingkungan untuk menggusur, merampas bahkan membunuh pejuang agraria dan lingkungan hidup yang berjuang mewujudkan wajah bumi lebih adil.

“Pemerintah dan DPR pun sibuk berusaha meloloskan RUU [omnibus law] yang sangat jelas aroma busuknya, tidak berpihak pada kemanusiaan dan lingkungan hidup.”

Dia meminta, pemerintah segera menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja, dan menerbitkan peraturan perundangan-undangan yang berpihak pada rakyat . Juga evaluasi perizinan industri ekstrakif yang merusak dan mengancam rakyat maupun lingkungan hidup.

“Pemerintah perlu mengubah haluan ekonomi kapitalistik ke praktik ekonomi nusantara, praktik ekonomi berbasis kearifan lokal yang adil dan lestari.”

 

Lokasi tambang emas liar di Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Penyidik Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi, Seksi Wilayah III Manado, melimpahkan kasus tambang emas liar itu kepada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, Senin (20/4/20). Foto: Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi/Mongabay Indonesia.

 

Krisis iklim sesungguhnya

Tiza Mafira, Associate Director Climate Policy Initiative mengatakan, sebelum ada pandemi terjadi masif di Indonesia, sebenarnya sudah ada peringatan melalui krisis iklim awal 2020, antara lain, banjir besar di Jabidetabek dan longsor di Banten. Juga kebakaran hutan di berbagai belahan bumi, seperti Amazon, Australia dan Indonesia.

”Kita benar-benar memasuki tahun mencenangkan. Saat ini, untuk dekade ke depan kita harus segera membereskan iklim dan menurunkan emisi pada 2030 sebelum menghadapi pemanasan global yang jauh lebih mengerikan lagi.”

Dia mengingatkan, apa yang dihadapi saat ini semacam ‘latihan’ untuk menghadapi bencana di masa depan.

Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK menyebutkan, dalam momentum penanganan pandemi sekaligus menuju dunia lebih berketahanan perubahan iklim, Indonesia perlu meningkatkan upaya dalam mengintegasikan semua elemen pembangunan ketahanan ekonomi, sosial dan lingkungan melalui pembangunan rendah karbon.

“Planet bumi hanya satu, tidak ada planet B. Mari kita bertindak konkret dan realistis sekarang juga,” pean Ruandha.

 

Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2020!

 

Keterangan foto utama:  Alex Waisimon saat berusaha melihat kawasan yang sebelumnya penuh dengan pepohonan  sudah terbabat. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version