Mongabay.co.id

New Normal: Momentum untuk Kembalikan Relasi Manusia dengan Alam

Kesehatan anak-anak sekolah dan masyarakat harus diperhatikan akibat asap yang ditimbulkan dari lahan yang terbakar. Terlebih saat virus corona masih berkecamuk. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

“Ketika kita menghancurkan hutan tropis, menggantikannya dengan permukiman, pertambangan, membunuh atau menangkap hewan liar untuk dimakan, kita membuka diri terhadap virus-virus itu.”

David Quammen,  Penulis buku Spillover: Animal Infections and the Next Human Pandemic

***

 

Tujuan kehidupan manusia dapat didefinisikan untuk mencari keselamatan jiwa dan kebahagian hidup. Ilmu pengetahuan dan teknologi, – pun agama, merupakan alat atau sarana untuk mencapai hal tersebut.

Namun upaya tersebut tak urung terhadang dengan berbagai masalah, seperti ancaman sakit, penyakit dan kematian. Sebagai contoh di Abad Pertengahan di Eropa, mengalami sanitasi buruk yang berakibat pada pandemi global. Wabah penyakit pes yang mematikan kemudian merenggut jutaan jiwa yang dikenal dengan nama Black Death.

Peristiwa tersebut lalu mendorong munculnya upaya perbaikan, penataan kota, permukiman dan sanitasi menjadi lebih baik. Pengembangan ilmu pengetahuan mendorong membaiknya kesehatan dan pengobatan, sehingga manusia dapat hidup lebih sehat.

Setelah masa itu, gagasan modernitas mendorong umat manusia menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk memanfaatkan sedemikian rupa kekayaan alam di Bumi. Tidak heran, dua abad terakhir, lompatan peradaban manusia begitu cepat dan tinggi. Semua mimpi umat manusia selama ratusan abad pun terwujud.

Lantas, apakah itu lalu telah berhasil mengalahkan musuh utama manusia, yaitu bebas dari rasa sakit, penyakit dan kematian?

Fakta mengungkap, bahwa di abad modern ini manusia harus terus bergelut dengan pelbagai penyakit. Mulai dari kanker, gangguan fungsi atau kerusakan organ tubuh, penyakit radiasi, keracunan, bakteri, hingga serangan virus.

Banyak penelitan dan pendapat pakar yang menyatakan gaya hidup modern mendorong perusakan alam yang memiliki relasi dengan munculnya beragam penyakit menular mematikan. Ironisnya, hal tersebut tampaknya tidak benar-benar disadari hingga pelbagai pandemi global menyerang balik peradaban manusia yang ada.

Bayangkan, tak sampai 20 tahun (2002-2020), umat manusia diserang berbagai virus mematikan, seperti SARS, Flu Burung, Flu Babi, Ebola, Cacar Monyet, dan terakhir COVID-19 yang saat ini tengah kita hadapi.

Baca juga: Jane Goodall: COVID-19 adalah Produk Hubungan Tidak Selaras Manusia dengan Satwa dan Lingkungan

 

Sungai-sungai di Indonesia terancam kerusakan, padahal sungai adalah awal tumbuhnya peradaban Nusantara. Ilustrasi: masyarakat yang hidup di pinggiran Sungai Musi di Palembang, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

“New Normal” sebuah momentum perubahan

Pandemi COVID-19 yang melanda dunia, – termasuk di Indonesia, membuat pranata kehidupan menjadi kacau. Seluruh hal yang dianggap common daily life terpaksa dihentikan.

Sekolah diliburkan, kuliah dan sebagian pekerjaan dilakukan dari jarak jauh atau daring. Orang dilarang ke tempat hiburan, dilarang ke rumah ibadah, dilarang berkumpul lebih dari empat orang. Dilarang melaksanakan pesta, bahkan saat Idul Fitri pun umat Muslim terpaksa hanya bisa bersilaturahim melalui media sosial atau telepon.

Dalam masa PSBB ini, kita diminta pemerintah untuk banyak berdiam di rumah. Setiap orang wajib menggunakan masker saat keluar rumah, harus cuci tangan berulang kali, menjaga jarak dengan orang lain, serta harus banyak mengonsumsi vitamin, protein, dan makanan sehat lainnya.

Dampak sosialnya pun luar biasa. Kita benar-benar tidak bahagia. Stres, panik, merasa  asosial. Tragisnya, jutaan orang di Indonesia pun terancam kehilangan pekerjaan (PHK). Masa depan pun menjadi buram. Dengan peradaban yang tercabik, dan rasa tidak bahagia, kita lalu menyebut waktu-waktu ini hidup tidak normal.

Setelah hampir tiga bulan hidup dengan penuh pembatasan, – sementara penyebaran virus belum berhenti karena belum ditemukan vaksin atau obatnya, banyak negara di dunia tampaknya tidak sanggup mempertahankan kondisi ini.

Ekonomi negara-negara terancam bangkrut pelbagai aktifitas ekonomi tidak berjalan. Jika negara bangkrut, maka kehancuran bangsa dan negara ini menjadi sangat terbuka. Itu jelas tidak kita inginkan. Kehidupan harus normal kembali.

WHO pun menawarkan konsep “New Normal”. Artinya aktifitas ekonomi, sosial dan kegiatan publik dibuka kembali, tapi tetap menggunakan standard kesehatan selama pendemi COVID-19.

Pertanyaannya, cukupkah standard kesehatan (menggunakan masker, rajin cuci tangan, menjaga jarak, menjaga kebersihan, mengonsumsi makanan sehat, terjaminnya pelayanan dan fasilitas kesehatan) menjamin kesehatan hari ini dan masa depan?

Saya meragukannya, jika itu hanya merujuk aktivitas bussines as usual kembali. “New Normal” harusnya juga menginfiltrasi tatanan hidup baru. Adaptasi baru, seharusnya bisa menjadi norma baru, – kebiasaan baru, yang pada akhirnya melahirkan paradigma tatanan kehidupan baru.

Tatanan baru pun, sudah selayaknya disertai dengan upaya untuk menghentikan berbagai aktifitas ekonomi yang merusak hutan, laut, sungai, air dan udara.

Baca juga: Kerusakan Alam Gerogoti Keragaman Hayati Negeri Ini

  

Eksploitasi terus terjadi di negeri ini. Salah satunya penebangan pohon yang terjadi hingga puncak Gunung Mangkol di Babel. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

  

Sekedar sebagai catatan, sebelum wabah pandemik COVID-19 kita telah menjadi bangsa yang gemar merusak alam, mengeksploitasinya hingga sampai ke ujung batas. Saya coba memberikan gambaran lewat contoh-contoh di bawah ini:

1) Setiap tahun, jutaan manusia dari sejumlah provinsi di Indonesia, terpapar kabut asap yang sangat berpengaruh bagi kesehatan. Kabut asap ini sebagai dampak pengrusakan hutan, konversi menjadi lahan perkebunan dan pembakaran di lahan gambut. Selama lima tahun terakhir [2015-2019] kebakaran hutan dan lahan mencapai 5.393.783,19 juta hektar. Dan, pada 2020, hingga akhir Mei, luas kebakaran mencapai 8.253 hektar. [sipongi.menlhk.go.id].

2) Tidak sedikit dari 500-an sungai di Indonesia, mengalami kerusakan. Baik akibat aktifitas dan limbah industri, perkebunan, pertambangan, serta masyarakat. Kerusakan ini, tentu saja menurunkan kualitas air sungai, sehingga tidak baik bagi kesehatan. Serta memengaruhi menurunnya populasi ikan sebagai sumber pangan.

3) Kemudian eksploitasi alam seperti kegiatan penambangan batubara, emas dan timah yang mengubah puluhan juta hektar lahan yang tidak dapat lagi dimanfaatkan sebagai pertanian atau dihutankan. Data Jatam [Jaringan Advokasi Tambang] menyebut sekitar 44 persen dari luasan Indonesia atau 190,5 juta hektar wilayah Indonesia diperuntukkan sebagai wilayah konsesi tambang.

4) Indonesia juga menghasilkan puluhan ton sampah plastik setiap tahun. Sehingga menempatkannya sebagai negara paling banyak menghasilkan sampah di dunia setelah Tiongkok. Meskipun data ini dibantah pemerintah Indonesia, faktanya sampah plastik telah mencemari daratan, sungai dan lautan Indonesia.

 

Meski sudah jelas terlihat bahwa berbagai hal di atas, – yang jelas-jelas mengancam kehidupan masa depan, ironisnya Pemerintah dan DPR malah mengesahkan RUU Mineral dan Batubara yang dinilai bakal makin mendorong insentif bagi laju perusakan alam.

Dengan demikian, alih-alih kehidupan pasca PSBB dilakukan, relasi kita dengan alam tampaknya tidak akan berubah. Kita masih menjadi mahluk ekonomi eksploitatif yang terus menggerus wajah Bumi.

Baca juga: Menyoal Insetif buat Industri Mineral dan Batubara dalam RUU Omnibus Law

 

Samarinda yang lagi-lagi direndam banjir, bahkan saat Idul Fitri lalu. Praktik pengelolaan sumberdaya alam yang buruk, berdampak pada kebutuhan manusia. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Penutup

“New Normal”, atau istilah lainnya yang merujuk kepada adaptasi kehidupan baru pasca PSBB, seharusnya digunakan pemerintah sebagai momentum untuk melakukan suatu perubahan yang fundamental. Narasi yang dibangun seharusnya tidak hanya terbatas untuk memulihkan geliat ekonomi, namun untuk memperbaiki relasi manusia dengan alam. Ia seharusnya menjadi norma, guidance etik, sekaligus perilaku baru. Cara-cara dan inovasi baru seharusnya dibangun, sebagai titik bangkit dari keterpurukan dampak pandemi.

Jika berbagai upaya menjaga relasi dengan alam diabaikan, maka hanya tinggal menunggu waktu penyakit infeksius post COVID-19 akan menanti. Wabah pun akan berulang kembali.

Rumusan pembangunan berbangsa pun dengan demikian seharusnya tidak lagi hanya untuk mencari keuntungan ekonomi semata, ia harusnya mampu untuk mendorong upaya yang berkelanjutan.

Pembangunan dengan demikian ditempatkan sebagai agen peradaban manusia Indonesia, untuk mencapai standard kualitas hidup yang lebih baik, sehat, dan lepas dari ketakutan akan penyakit.

 

* Taufik Wijaya,  penulis adalah penyair, seniman dan  jurnalis. Tinggal di Palembang. Artikel ini adalah opini penulis

 

***

Foto Utama: New Normal akan menjadi bentuk adaptasi baru setelah wabah COVID-19, apakah norma relasi manusia dengan alam juga akan semakin baik? Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version