Mongabay.co.id

Rindu Berat Para Pendaki, Tidak Bisa Naik Gunung Selama Pandemi

 

 

Tiga bulan ini, para pendaki gunung di Indonesia “memedam rindu”. Akibat pendemi COVID-19, mereka tidak bisa mendaki. Apa yang mereka harap?

“Semoga saja pandemi segera berakhir, sehingga gunung dapat dikunjungi kembali. Saya sudah rindu, walau hanya minum kopi sembari menyaksikan tenggelam dan terbitnya matahari dari puncak gunung,” kata Ferdiyansyah, pendaki dari Komunitas Shelter Dempo Palembang, kepada Mongabay Indonesia, Jumat [05/6/2020].

Hal paling dirindukan adalah perjalanan menuju puncak, cuaca dingin, dan minum kopi bersama saudara-saudara pendaki. Semoga setelah pandemi ini, gunung segera dibuka.

“Pada akhirnya, para pendaki dapat lebih menghargai dan menjaga gunung, bukan hanya sebagai objek wisata,” kata Nur Iqbal Malasta, Mahasiswa Pencinta Alam UIN Sultan Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan.

Semoga saja, wisata pendakian segera dibuka, karena masyarakat sekitar gunung yang paling merasakan dampaknya. “Sepertinya, harus ada upaya pembukaan kembali sejumlah wisata pendakian sebagai solusi, dengan catatan tetap mengikuti protokol kesehatan,” kata Sandika, Ketua Komunitas Pecinta Alam IAIN SAS Bangka Belitung.

“Sudah beberapa bulan ini saya hanya di rumah, lumayan membosankan. Biasanya, kalau sudah begini, gunung menjadi tujuan. Di gunung, kita bisa berdamai dengan diri kita, sekaligus belajar menghargai kehidupan dan alam. Semoga wisata pendakian gunung bisa dibuka dengan tetap melaksanakan protokol keselamatan,” kata Sobarudin, dari Generasi Muda Penggiat Alam Semesta [Gemapaka].

Kondisi begini, gunung tempat yang sesuai untuk menenangkan diri. Semoga saja pendakian dibuka, tetapi bertahap. “Tujuannya, tidak terjadi penumpukan pendaki, yang tentunya sangat berbahaya. Tidak lucu jika gunung menjadi episentrum penyebaran virus corona,” kata Maulana Mahardika, pendaki gunung dari Depok, Jawa Barat.

Baca: Mendaki Kerinci Bukan Hanya Menaklukkan Atap Sumatera

 

Dari Gunung Maras, Teluk Kelabat yang mengalir ke Laut Cina Selatan terlihat jelas. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia.

 

Pendapatan menurun

Bagaimana masyarakat yang hidup di sekitar gunung?

“Sejak tidak ada lagi pendaki, pendapatan warga di sini berkurang. Apalagi harga karet dan lada turun. Kalau ada pendaki, ada pemasukan tambahan dari parkir, ojek, guide atau porter,” kata Damino, Kepala Unit Wisata Gunung Maras kepada Mongabay Indonesia melalui telepon, Selasa [02/6/2020].

Damino adalah warga Desa Berbura, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Bangka Belitung. Desa ini berada di kaki Gunung Maras.

Gunung Maras merupakan gunung tertinggi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sekitar 669 meter dari permukaan laut. Setiap pekan, banyak pendaki dari berbagai wilayah di Bangka-Belitung berkunjung. Namun, sejak merebaknya virus corona, gunung ini tertutup untuk para pendaki.

Desa Berbura yang luasnya sekitar 3.512 hektar adalah titik awal pendakian menuju gunung yang didampingi dua bukit kecil: Bukit Tambun Tulang dan Bukit Garang. Sebagian besar warga desa yang berjumlah sekitar 1. 442 jiwa tersebut, berprofesi sebagai petani kebun karet, lada, dan sawit.

“Sebelum pendakian ditutup, warga bisa mendapat uang 100-150 ribu Rupiah per hari hasil ojek atau tour guide. Apalagi saat perayaan hari besar, seperti Idul Fitri atau 17 Agustus, bisa dua hingga tiga kali lipat dari biasanya,” jelas Damino.

Baca: Pesona Gunung Papandayan yang Tidak akan Terlupakan

 

Puncak Gunung Maras yang dihiasi pohon mati, akibat bekas kebakaran beberapa tahun lalu. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Samin, warga Dusun Buhir, satu dari tiga dusun di Desa Berbura, yang sehari-hari bekerja sebagai penyadap karet, yang kerap mendapat hasil sampingan menjadi porter para pendaki, mengaku hidupnya pas-pasan.

“Saat ini, saya menghasilkan Rp28 ribu dari menyadap getah karet, yang rata-rata 7 kilogram per hari. Dulu, saat ada pendakian, saya mendapat pemasukan antara Rp50-100 ribu sehari, dari hasil ojek atau porter,” katanya.

Dia berharap pemerintah kembali membuka pendakian ke Gunung Maras. “Tetapi, sesuai aturan yang dianjurkan pemerintah. Maklum, sekarang lagi merebak virus corona.”

Hingga saat ini, belum ada kepastian kapan pendakian Gunung Maras dibuka. “Surat edaran sudah ada, akan tetapi belum sampai ke tangan kami. Jadi, masih ditutup,” katanya.

Baca juga: Berburu Embun Beku di Lautan Pasir Gunung Bromo

 

Trek pendakian Gunung Maras yang didominasi pohon pelawan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Masih tutup

Tahun 2016 melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK. 575/Menlhk/Setjen/Pla.2/7/2016 tanggal 27 Juli 2016, KSA/KPA Gunung Maras ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung Maras di Kabupaten Bangka dan Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan luas 16.806,91 hektar. Namun, wewenang pengelolaan berada pada Balai KSDA Sumatera Selatan.

Septian Wiguna, Kepala Resort Konservasi Wilayah Bangka, Balai KSDA Sumatera Selatan, menjelaskan pihaknya sudah menerbitkan penutupan kunjungan wisata ke Taman Wisata Alam [TWA] dan Taman Nasional [TN] lingkup BKSDA Sumatera Selatan melalui pengumuman No.PG.503/K.12/TU/KSA/03/2010 tertanggal 20 Maret 2020.

“Penutupan dimulai 21 Maret 2020 hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Pembukaan kunjungan menunggu arahan atau surat edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebagaimana penutupan,” katanya.

Masih menurut Septian, hingga saat ini belum ada arahan Menteri LHK untuk membuka akses kunjungan wisata di seluruh Indonesia, termasuk di Taman Nasional Gunung Maras.

“Oleh kerena itu diimbau bagi seluruh masyarakat yang berencana melakukan pendakian, harap ditunda keinginannya. Hal ini bertujuan mencegah penyebaran virus COVID-19. Jika ada yang bandel akan diberi sanksi di tempat dan dipulangkan,” katanya.

Hal yang sama disampaikan Nurhamidi, Kepala SPTN 1 Kerinci, Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS]. Jelas dia, seluruh kawasan wisata alam dalam lingkungan TNKS, sampai saat ini belum dibuka. Masih menunggu Surat Edaran KLHK untuk pembukaan kembali.

“Dampaknya tentu ada, seperti masyarakat yang berkecimpung di pariwisata alam [guide, porter, homestay], yang menyebabkan penghasilan mereka berkurang. Teman-teman petugas tetap menjaga pos untuk mengantisipasi penyelundup ke dalam kawasan,” katanya melalui pesan WhatsApp, Rabu [3/06/2020] lalu.

 

Suasana Gunung Kerinci tahun lalu, sebelum pandemi virus corona. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sebagai informasi pada 2019 lalu, jumlah wisatawan ke Gunung Kerinci mencapai 265 ribu pengunjung, dikutip dari metrojambi.com. Larangan pendakian tentunya berdampak signifikan terhadap pendapatan negara dan masyarakat.

“Corona tentu saja berdampak pada jumlah wisatawan yang datang ke Kerinci, bahkan tidak ada sama sekali. Homestay saya dan kawan lainnya sepi,” kata Paiman, pemilik penginapan Paiman di kawasan Gunung Kerinci, melalui telepon, Rabu [03/06/2020].

Tapi memang ada untungnya juga. Selama pelarangan, sejumlah gunung di Indonesia dapat memperbaiki diri secara alami. “Tentunya, gunung jadi lebih bersih, karena tidak ada sampah pendaki,” tegas Septian.

 

 

Exit mobile version