Mongabay.co.id

Amir Hamidy Tidak Pernah Takut “Mencari” Ular Berbisa

 

 

Sosok ular ini tidak menarik. Tubuhnya tanpa corak, tidak bermotif. Warnanya cokelat abu-abu dengan strip hitam di bawah mata.

Tidak seperti ular kobra [Naja], jenis ini tidak berbisa. Hanya aktif malam hari, berburu tikus. Habitatnya di semak belukar.

Meski terkesan biasa, nyatanya ini jenis langka. Namanya ular tikus Enggano [Coelognathus enganensis]. Menurut Badan Konservasi Dunia [IUCN], statusnya Data Deficient [DD] alias kurang data.

Masyarakat setempat pun jarang, bahkan tidak pernah melihat reptil ini, sebagaimana pengakuan warga Desa Kahyapu, Enggano, Engga Zakaria Kauno. “Saya belum pernah lihat. Saya tahu adanya ular endemik Enggano ini hanya dari litelatur penelitian LIPI,” kata dia kepada Mongabay Indonesia, Senin [08/6/2020].

Engga mengatakan, ular yang sering ditemui masyarakat Enggano adalah ular laut [Laticauda]. Ular ini mirip ular welang karena warnanya belang-belang. “Ular laut ini sangat berbisa,” tuturnya.

Enggano adalah pulau terdepan Indonesia, bagian barat. Secara administrasi masuk wilayah Provinsi Bengkulu. Luasnya sekitar 4.000 kilometer persegi.

Baca: Hanya di Enggano, Ular Istimewa Ini Hidup

 

Amir Hamidy menunjukkan spesimen king kobra di laboratorium Herpetologi Bidang Zoologi, LIPI Cibinong. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI] mengakui, informasi terkait herpetofouna [reptil dan amfibi] yang hidup di Pulau Enggano, Bengkulu, masih minim. Padahal, pulau ini unik karena banyak satwa endemik.

“Pembaruan informasi yang menggambarkan secara umum jenis ular endemik belum maksimal,” tutur Amir Hamidy, Peneliti Herpetologi Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI, saat acara Bincang Alam Mongabay Indonesia bertajuk “Ular Kobra di Sekitar Kita” Minggu [07/6/2020].

Dari catatan LIPI, publikasi mengenai jenis-jenis herpetofouna Pulau Enggano diterbitkan pada abad ke-19 lalu.

Baca: Foto: Enggano dalam Bingkai Herpetofauna

 

Amir Hamidy bersama rekannya Evi Arida dari LIPI, meneliti ular sanca batik. Foto: Facebook/Dok. Amir Hamidy

 

Menemukan Ular Tikus Enggano

Amir bertutur, informasi terkini Coelognathus enganensis pada 2015 lalu, saat ia menemukannya bersama tim LIPI. Tentu saja, ini kabar gembira setelah 80 tahun tiada berita satwa melata tersebut.

“Saya menemukannya tak sengaja, di pinggir hutan saat ekspedisi Pulau Enggano, 16 April-5 Mei 2015,” kata Amir.

Ular tikus enggano pertama kali ditemukan oleh peneliti Italia, Elio Modigliani tahun 1892, sebanyak 2 spesimen. Dia orang pertama yang mendeskripsikan spesimen ular ini sebagai jenis baru.

Tahun 1936, ular ini ditemukan kembali dan dikoleksi oleh peneliti Belanda, De Jong, sebanyak 3 spesimen. Sejumlah spesimen itu disimpan di Museum Zoologi Bogor.

Menurut Amir, Coelognathus enganensis sulit dijumpai karena memang populasinya sedikit, jarang dilakukan penelitian, dan terancam seiring kerusakan lingkungan di Kepulauan Enggano.

“Bukan hilang dalam artian punah. Namun, memang ularnya tak banyak, ditambah minimnya publikasi,” terangnya.

Baca: Urusan King Kobra dan Kobra, Amir Hamidy Pakarnya

 

Ular tikus Enggano yang hanya ada di Enggano. Foto: Amir Hamidy

 

Data LIPI menunjukkan, Indonesia memiliki total 349 jenis ular. Persebarannya, di semua pulau dan berbagai habitat, mulai hutan, savanna, mangrove, sungai, persawahan, hingga permukiman. Dari jumlah itu, ada 77 jenis ular berbisa, yaitu Elapidae 55 jenis, Viperidae 21 jenis, dan Colubridae 1 jenis.

“Indonesia kaya jenis ular karena wilayah zoogerafinya merupakan pertemuan fauna Asia dan Australia. Kekayaan jenis di tempat kita banyak yang endemik,” katanya.

Ditambah lagi daya adaptasi beberapa ular cukup bagus di beberapa habitat. “Perubahan habitat kadang tidak melulu mengancam keberlangsungannya, malah ada yang membuatnya berkembang biak,” tuturnya.

Dia mencontohkan ular dengan daya adaptasi baik adalah kobra, baik kobra jawa [Naja sputatrix] maupun kobra sumatra [Naja sumatrana].

“Ketika hutan diubah menjadi sawah atau permukiman, ular ini tidak terganggu karena di habitat baru tersebut semakin banyak mangsanya, misalnya tikus,” lanjut dia.

Faktor ini ditambah pula dengan hilangnya predator alami pembunuh ular dan anakannya, misalnya biawak. “Nah, kasus meledaknya anakan kobra di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi [Jabodetabek] Desember 2019 lalu, selain karena memang musim menetasnya telur, juga karena predator ular yang habis,” kata Amir. Selain biawak, pemangsa alami ular adalah garangan jawa dan elang ular bido.

Dibanding kobra, ular tikus Enggano tidak begitu mengancam penyebarannya. Apalagi informasi daya adaptasi reptil ini belum bisa dipastikan dengan jelas. “Kajian ular ini masih sedikit. Kasus yang menghebohkan karena pergerakan jenis ini juga tak ada, ditambah juga penyebarannya tidak luas,” jelas dia.

Baca: Ular Kobra Masuk Rumah Warga, Fenomena Apa?

 

Amir menunjukkan spesimen ular tikus Enggano di Laboratorium Herpetologi, LIPI. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Bila bertemu ular berbisa

Bagaimana menandai ular berbisa? Amir menjelaskan, dapat dilihat dari sisik belakang mata dan hidung. Jika berbisa akan nyambung, sedangkan yang tidak bervenom dipisahkan sisik independen antara mata dan hidung.

“Ini memang susah bagi khalayak umum untuk mengenali, karena kepala ular harus dipegang dulu,” kata lelaki berkacamata ini.

Tapi jangan khawatir, kata Amir, ular berbisa ditandai dengan adanya warna mencolok di kepala dan ekor. Misalnya, warna merah. “Itu peringatan dari si ular agar dia cepat jadi perhatian, seolah berkata: Saya di sini dan berbisa loh, segera pergi kamu!” tuturnya.

Walau demikian, tak semua ular dengan warna mencolok itu berbisa. Ada juga ular biasa namun meniru ciri ular berbisa, tujuannya mempertahankan diri dari ancaman.

Di Jawa, jenis ular darat berbisa hanya ada 13 jenis. “Yang jelas, ular berbisa memiliki taring. Taring ini sebagai pengantar venom atau racun, yang diproduksi oleh kelenjar di geraham belakang ular,” jelasnya.

Baca: Ular Muncul di Perkebunan Sawit, Fenomena Apakah Ini?

 

Ular kobra yang juga agresif dan bisa menyemburkan racun hingga dua meter. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Untuk Indonesia bagian barat, ular berbisa kategori 1 [sangat berbahaya dan belum ada anti venom] ada beberapa yang terdata. Jenis Elapidae, yaitu ular weling [Bungarus candidus] yang persebarannya mulai dari Pulau Sumatera, Jawa, hingga Bali. Ular kobra jawa [Naja sputatrix] persebarannya di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat [NTB], Sumbawa, dan Flores. Kemudian ular kobra sumatera [Naja sumatrana], wilayah Pulau Sumatera, Bangka Belitung, dan Kalimantan.

Jenis Viperdae: ular tanah [Calloselasma shodostoma] persebarannya di Pulau Jawa dan Madura. Ular bangkai laut atau viver hijau [Trimeresurus t. albobladris] ada di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Juga, ular bandotan puspa [Daboia siamensis] di Yogyarta, Jawa Timur, Bali, NTB, Pulau Komodo, dan Flores.

Sedangkan kategori 2 merupakan ular berbahaya dan berbisa tapi tidak terlalu mengancam), yaitu king kobra [Ophihangus hannah]. Perbedaan ular kobra dan ular king kobra adalah pada keahlian penyemburan bisa, untuk king kobra tidak bisa menyembur. Ciri lainnya ada pada tudung di leher ketika marah; ular kobra lebih besar, sedang king kobra tidak terlalu besar. Selanjutnya pada ukuran badan, king kobra jauh lebih besar, dan panjang.

King kobra juga biasanya hidup jauh dari lingkungan, misalnya di hutan, tapi kualitasnya racunnya sangat berbisa. Sampai sekarang belum ada anti bisanya di Indonesia. “Namun dengan alasan habitat di dalam hutan, jauh dari lingkungan hidup manusia, maka ular ini dianggap kategori 2,” tutur Amir.

Amir menambahkan, cara terbaik bila bertemu ular adalah berlaku tenang dan segera menghindari pertemuan. Cara mudah agar ular tidak mendatangi lingkungan kita adalah dengan menjaga kebersihan.

“Ular tidak suka bau-bauan menyengat, misalnya cairan pembersih lantai, minyak tanah, bensin, dan sebagainya,” tuturnya.

Baca: Dua Tahun Terakhir, Korban Meninggal akibat Gigitan Ular Meningkat

 

King kobra [Ophiophagus hannah], ular sangat berbahaya. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Bagaimana merawat korban gigitan ular?

Tri Maharani, Dokter Spesialis Emergency dan penasehat untuk Badan Kesehatan Dunia [WHO/World Health Organization] kepada Mongabay Indonesia, telah menerangkan bagaimana menangani seseorang yang dipatuk ular berbisa.

Tri menuturkan, mengatasi gigitan ular bukan hanya pada masalah ketersediaan antivenom atau antibisa, tetapi kondisi ini belum menjadi prioritas nasional. Artinya, belum menjadi perhatian penuh.

Untuk mendapatkan serum anti-bisa ular [SABU] bukan hal mudah. Selain harganya mahal, sampai saat ini Indonesia juga baru memproduksi satu jenis SABU yang mencakup 3 jenis ular yaitu kobra jawa [Naja sputatrix], welang [Bungarus fasciatus], dan ular tanah [Calloselasma rhodostoma].

Tri menuturkan, pertolongan pertama yang tepat adalah melakukan imobilisasi. Sesaat setelah tergigit ular, bawa segera korban ke tempat aman. Jangan panik. Jika terkena ular laut, pindahkan korban ke daratan agar tidak tenggelam.

Imobilisasi dilakukan dengan membuat penyanggah dari kayu pada bagian tubuh yang terkena gigitan ular, untuk tidak bergerak. Tujuannya, agar racun tidak menjalar luas ke bagian organ tubuh lain. Pada fase lokal itu, kemungkinan besar korban bertahan hingga mendapat pertolongan medis lebih lanjut.

“Sederhananya, otot yang bergerak hanya akan mempercepat reaksi bisa. Karena itu harus dilakukan imobilisasi. Hasil penelitian terbaru menyebutkan, bisa tidak menjalar lewat pembuluh darah melainkan melalui kelenjar getah bening. Artinya, anggapan menyedot darah dan membuat sayatan untuk mengeluarkan bisa itu tidak relevan,” terangnya, awal Februari 2020.

Bila bisa dapat dipertahankan pada daerah lokal yang tergigit, sistem metabolisme tubuh akan dengan sendirinya mengeluarkan racun. Bila tidak dilakukan imobilisasi, dan bisa telah menjalar ke seluruh bagian tubuh, penanganannya akan sulit. Hanya antivenom yang dapat mengikat racun untuk keluar dari tubuh.

 

 

Exit mobile version