Mongabay.co.id

Indonesia Tegaskan Komitmen Ekonomi Laut Berkelanjutan dalam Pertemuan Sustainable Ocean Economy

Nelayan Cilacap tengah mencari ikan di sekitar kawasan perairan selatan CIlacap, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya mempromosikan pembangunan ekonomi laut berkelanjutan untuk kesejahteraan warga negaranya. “Sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati laut dan komunitas pesisir yang tinggi, kita perlu mengubah tantangan menjadi peluang, dan memastikan bahwa tindakan kita seimbang dengan kebutuhan masyarakat, kesehatan laut, dan kemakmuran bagi semua,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam pertemuan Sherpa Meeting High Level Panel on Sustainable Ocean Economy (HLP SOE) Selasa (16/6/2020).

Menteri Edhy mengikuti HLP SOE yang berlangsung virtual selama dua hari pada 16-17 Juni 2020. Edhy ditunjuk sebagai Sherpa (perwakilan tetap) mewakili Presiden Joko Widodo yang merupakan anggota HLP SOE. HLP SOE merupakan dewan panel tingkat tinggi untuk ekonomi kelautan yang berkelanjutan, beranggotakan pimpinan dunia dari 14 negara yaitu Norwegia, Palau, Australia, Kanada, Chili, Fiji, Ghana, Indonesia, Jamaika, Jepang, Kenya, Meksiko, Namibia, dan Portugal. Ke-14 negara tersebut memiliki 60 persen wilayah laut dunia dan 30 persen kawasan mangrove dunia seluas 5,4 juta ha.

Edhy menjelaskan pentingnya membangun komunikasi dengan berbagai golongan hingga pemangku kepentingan untuk memperkuat sektor perikanan dan mencapai pembangunan ekonomi laut berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan mandat yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo.

“Saya sungguh percaya bahwa menjaga komunikasi yang berkelanjutan dengan semua pemangku kepentingan adalah kunci dalam mencapai tujuan ekonomi kelautan yang berkelanjutan,” kata Edhy dalam siaran pers KKP, Rabu (17/6/2020).

baca : Misi Indonesia Terapkan Ekonomi Kelautan yang Berkelanjutan

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam pertemuan Sherpa Meeting High Level Panel on Sustainable Ocean Economy (HLP SOE) Selasa (16/6/2020). Foto : Humas KKP

 

Edhy juga mengapresiasi Sekretariat HLP atas peluncuran pernyataan bersama tentang peran ekonomi kelautan berkelanjutan di dunia pasca-COVID-19 yang bertepatan dengan Hari Laut Sedunia 8 Juni 2020. Pernyataan tersebut berisi pesan dari para pemimpin dunia tentang pentingnya lautan dalam kehidupan, terutama untuk mengantisipasi dampak dan pemulihan kondisi ekonomi akibat pandemi Covid-19.

“Pandemi COVID-19 menyebabkan persoalan serius di seluruh dunia termasuk Indonesia. Tidak hanya dari sisi kesehatan, tapi juga ekonomi dan sosial. Indonesia telah mengambil langkah serius untuk mengatasi COVID-19,” urai Menteri Edhy.

Menteri Edhy melanjutkan, baru-baru ini Indonesia juga memprakarsai resolusi yang diadopsi pada sesi ke-76 Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik PBB. Resolusi itu bertujuan memperkuat kerja sama, mempromosikan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya laut melalui Riset dan Pengembangan; kerjasama Selatan-Selatan, dan kemitraan sektor publik dan swasta. Lebih lanjut dalam resolusi itu, Pemerintah Indonesia juga menyadari dampak COVID-19 di Asia dan Pasifik.

Sebelumnya dalam pernyataan bersama tentang peran ekonomi kelautan berkelanjutan di dunia pasca-COVID-19, ke-14 pemimpin negara anggota HLP SOE mengusulkan lautan sebagai solusi menuju dunia yang lebih tangguh dan makmur, terutama saat memulai pemulihan pasca-COVID-19.

Disebutkan lautan dunia merupakan bagian dari bangunan fundamental dari ekonomi global yang menyumbang lebih dari 2,5 triliun USD per tahun dalam layanan bernilai tambah, memberi makan dan mata pencaharian bagi lebih dari tiga miliar orang, dan mengangkut sekitar 90 persen perdagangan dunia. Lautan juga merupakan sumber energi terbarukan dan bahan-bahan utama untuk memerangi penyakit. Dan bisa lebih banyak lagi jika kita mengelolanya secara berkelanjutan.

baca juga : Memetakan Dampak Positif dan Negatif Pandemi COVID-19 pada Kapal Ikan

 

Ilustrasi. Nelayan menyiapkan perbekalan sebelum berangkat melaut di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan, Jatim. Nelayan mengalami dampak pandemi covid-19, salah satunya harga ikan yang menurun. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Kontraproduktif Kebijakan

Menanggapi pernyataan pemerintah Indonesia dalam HLP SOE, Direktur Eksekutif Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan bisa berjalan apabila ditopang oleh ketersediaan data saintifik yang mumpuni sesuai dengan prosedur yang ditetapkan di dalam Pasal 6-7 UU No.45/2009 tentang Perikanan

“Pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan kontraproduktif dengan praktek pemanfaatan sumber daya ikan (SDI) di tingkat nasional. Setidaknya terbaca dari diterbitkannya Permen 12/2020 yang membolehkan ekspor benih lobster di tengah status stok lobster ukuran dewasa sudah fully dan over-exploited,” kata Halim kepada Mongabay Indonesia, Rabu (17/6/2020).

Halim menambahkan wacana pembolehan pemakaian cantrang juga bertolak belakang dengan spirit pembangunan ekonomi kelautan yang berkelanjutan. “Selain mengancam kelestarian ekosistem pesisir dan keberlanjutan SDI, juga beresiko menghidupkan kembali konflik sosial di sentra-sentra produksi perikanan tangkap nasional. Terlebih lagi 90% pelaku usaha perikanan nasional adalah small scale fisheries dengan kapasitas kapal <10 GT,” katanya.

Sebelumnya Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menyatakan, diberikannya izin penggunaan cantrang pada kapal perikanan, menjelaskan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) lebih dominan keberpihakannya kepada segelintir orang saja. Dalam artian, KKP lebih berpihak kepada pengusaha dibandingkan kepada nelayan kecil.

“Jika KKP sudah tak berpihak kepada nelayan tradisional dan nelayan skala kecil, lebih baik KKP dibubarkan,” ucapnya di Jakarta, Rabu (10/6/2020).

Jika nelayan kecil sudah tidak dijadikan lagi prioritas, maka konflik horizontal akan muncul lagi dengan melibatkan kapal nelayan berukuran besar di atas 10 gros ton (GT) dengan kapal nelayan berukuran kecil di bawah 10 GT. Itu semua, dampak dari diberikannya perizinan penggunaan cantrang dari Pemerintah Indonesia.

baca : Pelegalan Cantrang Jadi Bukti Negara Berpihak kepada Investor

 

Sejumlah kapal dengan alat tangkap ikan berupa cantrang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tasikagung, Rembang, Jawa Tengah, pada Selasa (13/2/2018). Kapal-kapal tersebut belum bisa melaut sebelum administrasi kapal dan menyanggupi kesediaan mengganti cantrang dengan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

***

 

Keterangan foto utama : Nelayan Cilacap tengah mencari ikan di sekitar kawasan perairan selatan CIlacap, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version