- Mewujudkan laut dunia yang berkelanjutan menjadi tanggung jawab bersama negara-negara secara global. Tanggung jawab tersebut harus menjadi acuan untuk melaksanakan program kerja bagaimana menjaga laut agar tetap lestari
- Salah satu yang menjadi komitmen dari negara-negara di dunia, adalah melaksanakan konsep ekonomi kelautan yang bertujuan untuk menjaga laut dari pemanfaatan yang berlebih. Dengan ekonomi kelautan, laut juga akan terus dijaga kelestariannya
- Bagi Indonesia, komitmen ekonomi kelautan bisa diterapkan dalam banyak aspek. Namun, saat ini fokus yang dijalankan adalah bagaimana ekspor sampah dari negara lain ke Indonesia bisa berjalan dengan lebih ketat
- Melalui ekonomi kelautan, sampah yang diekspor ke Indonesia akan dipilah lebih ketat lagi. Jika sampah yang masuk adalah yang tidak bisa diolah lagi atau dimanfaatkan, maka Pemerintah Indonesia akan langsung memulangkan ke negara asalnya
Indonesia menguatkan tekad untuk menjalankan komitmen mewujudkan laut dunia terus berkelanjutan melalui transformasi ekonomi kelautan yang saat ini sedang diterapkan Pemerintah. Komitmen tersebut menjadi bukti bawah Indonesia tak main-main dalam memberikan kontribusinya kepada dunia berkaitan dengan upaya menjaga kelestarian ekosistem laut beserta sumber daya alam di dalamnya.
Pada pertemuan tingkat Sherpa yang ke-8 High Level Panel (HLP) on Building Sustainable Ocean Economy yang berlangsung di New York, Amerika Serikat, 1-3 Februari 2020, Indonesia menyampaikan komitmen tersebut melalui forum resmi sebagai bagian dari upaya mewujudkan laut dunia yang berkelanjutan dan lestari.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Aryo Hanggono mengatakan, Indonesia penting untuk menyampaikan komitmennya dalam forum tersebut, karena ada sejumlah hal yang menjadi kepentingan Indonesia. Contoh utama, adalah menyangkut ekspor sampah yang masih terus terjadi dilakukan kepada Indonesia.
“Agar pemulangan kembali sampah yang sudah masuk ke Indonesia dapat tetap terakomodir,” jelasnya pekan lalu di Jakarta.
baca : Dua Elemen Penting untuk Bersihkan Laut dari Sampah Plastik
Aryo mengungkapkan, berkaitan dengan ekspor sampah, Indonesia akan bersikap tegas dengan mengembalikan sampah yang tidak dapat diolah kembali ke negara asal pengirim. Komitmen tersebut menjadi bagian dari komitmen aktif Indonesia atas delapan tema HLP yang sedang dijalankan.
Adapun, kedelapan tema itu, di antaranya adalah energi laut terbarukan (ocean renewable energy), pengiriman dekarbonisasi (shipping decarbonization), solusi berbasis alam (nature based solution), penghitungan potensi ekonomi laut (ocean accounting finance), perencanaan tata ruang laut (marine spatial planning), sumber pangan dari laut (food from the sea), dan pariwisata (tourism).
Selain ekspor sampah yang menjadi fokus Pemerintah Indonesia, Aryo menambahkan kalau pihaknya juga saat ini terus berkonsentrasi untuk menambah luasan kawasan konservasi laut (marine protected area/MPA). Tetapi, untuk penambahan tersebut Pemerintah menargetkan ada penambahan luasan kawasan secara nasional hingga 10 persen .
“Sementara untuk target secara global, luasan kawasan konservasi di dunia bisa mencapai 30 persen,” jelasnya.
Di luar MPA, perencanaan tata ruang laut juga tak luput menjadi perhatian Pemerintah Indonesia saat ini. Untuk program tersebut, KKP akan mendorong agar pelaksanaan untuk perencanaan tata ruang laut bisa dilaksanakan terintegrasi dengan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) atau watershed management yang ada di seluruh Nusantara.
Menurut Aryo, Indonesia dalam pertemuan tersebut menekankan bahwa fokus utama pemanfaatan laut yang berkelanjutan adalah bagaimana masyarakat lokal bisa tetap menjaga keseimbangan aspek perlindungan yang selaras dengan pemanfaatan kelautan, rehabilitasi dan revitalisasi terhadap laut yang tidak sehat.
baca juga : Pentingnya Pembaruan Data Sampah Plastik untuk Pengendalian Produksi di Laut
Selaras
Kemudian, selaras juga dengan penetapan target kawasan konservasi laut yang realistis, penguatan pemberantasan illegal fishing, penetapan target yang sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) 2030 dan kemitraan antara HLP Action Agenda dengan pihak terkait.
Diketahui, pertemuan tingkat tinggi yang berlangsung di New York tersebut menjadi kelanjutan dari pertemuan sebelumnya yang digelar di Cambridge, Inggris pada 16-19 Desember 2019. Pertemuan lanjutan tersebut menjadi upaya untuk menyempurnakan konsep rekomendasi HLP tentang transformasi ekonomi kelautan yang berkelanjutan.
HLP Ocean adalah inisiatif 14 kepala negara dan kepala pemerintahan yang mengakui sudah terjadi eksploitasi ekonomi dan perlunya perlindungan lautan secara bersama, serta membangun komitmen untuk mencari solusi dan kebijakan yang baik untuk kesehatan dan kebaikan lautan yang mendukung program TPB.
Negara yang bergabung dalam HLP Ocean adalah Australia, Kanada, Cile, Fiji, Ghana, Indonesia, Jamaika, Jepang, Kenya, Meksiko, Namibia, Norwegia, Palau, dan Portugal. Selain pemimpin negara-negara tersebut, ikut bergabung juga kelompok ahli, dan jaringan penasihat yang fokus pada isu kelautan secara global.
Tujuan dari HLP Ocean adalah mengembangkan peta jalan (road map) untuk melaksanakan transisi yang cepat menuju ekonomi laut yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Untuk melaksanakan tujuan itu, seluruh negara anggota berkomitmen untuk saling memperkuat dan mempercepat tindakan responsif di seluruh dunia.
Sebelum perhelatan di New York, Indonesia juga sudah menyatakan komitmennya untuk melaksanakan ekonomi kelautan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Komitmen itu dibacakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019 Susi Pudjiastuti pada pertemuan pemimpin dunia Our Ocean Conference 2018 yang berlangsung di Bali, Indonesia.
Selain Susi, komitmen itu kemudian dipertegas oleh Direktur Jenderal Perikanan Budi daya KKP Slamet Soebjakto saat menjadi panelis pada salah satu sesi utama kegiatan akbar tersebut. Menurut dia, ekonomi kelautan yang berkelanjutan akan diterapkan pada sub sektor perikanan budi daya yang menjadi masa depan dari industri perikanan dunia.
Dengan menerapkan prinsip bertanggung jawab dan berkelanjutan, Slamet meyakini kalau pengembangan perikanan budi daya di Indonesia bisa dilakukan lebih baik dan efisien. Dampak positif yang akan dirasakan, adalah pengelolaan potensi kelautan menjadi lebih produktif dan berwawasan lingkungan.
Di sisi lain, tantangan ekonomi kelautan yang dihadapi Indonesia saat ini dan di masa mendatang diyakini akan sangat berat. Tantangan itu, mencakup pengembangan sub sektor perikanan budi daya yang hingga saat ini masih kalah jauh dibandingkan saudara tuanya, sub sektor perikanan tangkap.
baca juga : Dimulai, Program Pengurangan Sampah di Laut dari Sungai. Seperti Apa?
Tantangan
Menurut Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan, Menteri KP Edhy Prabowo harus bisa mengambil langkah yang tepat dalam perencanaan dan implementasi pembangunan kelautan dan perikanan. Fokus yang bisa diambil, adalah kesejahetraan yang merupakan jalan ketiga setelah kedaulatan dan keberlanjutan.
“Sudah lima tahun ini tiga hal itu konsisten dijalankan oleh KKP,” tutur dia.
Abdi Suhufan menambahkan, KKP harus cepat menentukan prioritas pembangunan selama lima tahun ke depan. Itu juga sekaligus untuk menjawab keraguan publik terhadap rencana yang sedang dijalankan oleh KKP di bawah kepemimpinan Edhy Prabowo sekarang.
Peneliti DFW Indonesia Muh Arifuddin yang melanjutan pernyataan Abdi Suhufan, menyatakan bahwa target yang ditetapkan KKP pada 2020 untuk produksi perikanan budi daya sebanyak 18,44 juta ton merupakan target yang ambisius. Agar target tersebut bisa terwujud, perlu dukungan semua pihak yang konsisten dan berkesinambungan.
Menurut dia, KKP perlu memulai dari baseline untuk bisa mengerjar target yang sudah ditetapkan tersebut, karena hingga saat ini Indonesia belum memiliki peta detail tentang tambak untuk keperluan teknik dan manajemen pembudi daya. Selain itu, perlu juga dilakukan pemilihan komoditas yang potensial untuk dikembangkan dalam usaha budi daya perikanan.
“Udang windu tetap harus jadi prioritas. Untuk daerah yang kurang potensial komoditas bandeng, rumput laut (gracillaria) dan ikan kakap putih bisa juga dikembangkan atau dipolikultur dengan windu. Tapi tentunya setelah syarat teknis lahan tambak eksisting dibenahi,” papar dia.
Selain budi daya perikanan, Arifuddin juga menyoroti alokasi bantuan kapal yang jumlahnya mencapai 30 unit untuk 2020. Meski jumlahnya tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya, namun KKP berkewajiban untuk menyampaikan hasil evaluasi kepada publik tentang pemanfaatan bantuan kapal ikan yang sudah berjalan selama lima tahun terakhir.
Bagi DFW Indonesia, alasan pemberian jumlah 30 unit kapal tersebut juga harus dijelaskan oleh KKP kepada publik. Mengingat, lembaga Negara tersebut pada 2020 menargetkan produksi perikanan tangkap bisa mencapai 8,02 juta ton.
“Upaya meningkatkan produski tangkap melalui pemanfaatan potensi ikan di laut lepas mesti menjadi prioritas KKP. Bagaimana dan dengan cara apa pemanfaatan itu bisa dilakukan,” pungkas dia.