Mongabay.co.id

RUU Cipta Kerja Bahas Lingkungan dan Kehutanan, Berikut Masukan Para Pakar

Hamparan tanah sudah bersih, yang sebelumnya hutan adat Malind Anim di Desa Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Nanang Sujana

 

 

 

 

Pada 10 Juni lalu, Badan Legislasi DPR mengundang tiga pakar dan satu koalisi masyarakat sipil untuk mendapatkan masukan soal RUU Cipta Kerja bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Para pakar ini menyatakan, DPR harus berhati-hati dalam penyusunan RUU ini karena dinilai tidak mengedepankan lingkungan dan kepentingan rakyat.

Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) RUU Cipta Kerja, Baleg DPR mengundang Ramdan Andri Gunawan Wibisana, pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Asep Warlan Yusuf, dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan dan San Afri Awang, Guru Besar Fakultas Universitas Gadjah Mada. Sedang Walhi menolak hadir karena menilai, pembahasan RUU Cipta Kerja tak memiliki urgensi dan tak relevan berlanjut.

RDPU yang berlangsung sekitar 3,5 jam ini lebih menekankan perizinan, sanksi dan analisis dampak lingkungan amdal (amdal).

Andri Gunawan berpendapat, sanksi pidana penting tidak dihapus RUU ini karena tidak hanya berbicara tentang penjara juga denda pidana.

Baca juga: Was-was ‘Sapu Jagat’ Omnibus Law

Selain itu, ada ketidak konsistenan karena terdapat pasal lain terkait pertanggungjawaban korporasi. Ketidakseragaman tindak pidana yang bisa dipertanggungjawabkan korporasi menunjukkan kekeliruan dalam memahami sanksi pidana dan pertanggungjawaban korporasi.

Ada juga pola diskriminatif dalam RUU ini karena sanksi pidana diberikan kepada pelaku yang tak bisa membayar denda administratif. Hal ini bisa jadi berbahaya dalam penegakan hukum untuk korporasi yang menimbulkan pencemaran, seperti pembuangan limbah. Dalam RUU ini, pelaku pelanggaran, tidak bisa langsung kena pidana karena harus melalui sanksi administrasi terlebih dahulu.

Asep Warlan meminta, perlu aja kajian ulang aturan perizinan, amdal dan sanksi dalam RUU Cipta Kerja. “Kalau tidak dirumuskan ulang, bahkan dihapus dan diganti, bahaya karena banyak tumpang tindih, inkonsistensi. Jadi perlu betul-betul dirumuskan ulang dan perlu ada bantuan dari akademisi. Mudah-mudahan ini bukan suatu produk yang terburu-buru, tergesa-gesa,” katanya.

Dia pun mengatakan, kalau RUU ini untuk membuka keran investasi, jangan jadikan lingkungan hidup dan kehidupan sosial masyarakat terganggu.

Baca juga: Horor RUU Cipta Kerja: dari Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum

Asep mengatakan, harmonisasi dalam investasi, ekonomi dan lingkungan hidup sangat perlu dalam pembahasan RUU Cipta Kerja agar memberikan manfaat. Tujuannya, agar RUU ini bisa mencegah konflik, tumpang tindih, penyeragaman kebijakan pemerintah pusat dan daerah serta lintas sektor dan memangkas pengurusan izin serta mencegah kekosongan hukum.

Dalam konteks lingkungan hidup, katanya, keadilan lingkungan hidup itu tak bisa lepas oleh Undang-undang manapun, termasuk RUU Cipta Kerja. Ia jadi landasan konstitusi, dimana ada perlindungan HAM dan dalam konteks global menjadi bagian dalam pembangunan berkelanjutan.

“Meski kita bangun investasi, ekonomi, kesejahteraan, mohon lingkungan tidak diabaikan. Kita khawatir UU ini membuka kembali perbuatan-perbuatan yang menafikan kepentingan bersama. Jangan diabaikan komitmen global kita, baik dalam konteks ekonomi maupun lingkungan.”

 

Sidak lapangan yang dilakukan DLHK Bengkulu ke lokasi pencemaran . Foto: Dok. DLHK Bengkulu

 

Secara subtansi, Asep menyoalkan persetujuan pemerintah yang setara dengan perizinan. DI mana izin lingkungan hanya melalui persetujuan lingkungan, padahal derajat ‘persetujuan’ di bawah izin.

“Ini menurunkan derajat fungsi dan efektivitas izin. Hingga perlu pertimbangan untuk tidak mengganti izin lingkungan dengan persetujuan.”

Menurut Andri, kalau izin lingkungan dan izin usaha dihapus, RUU ini malahan akan menambah kerumitan birokrasi dengan menambah izin baru. Pasalnya, kalau menghapus izin lingkungan, sebuah usaha akan memerlukan persetujuan terpisah tentang buang limbah. “Saran saya, izin lingkungan harus tetap ada, meski namanya apa, tapi tetap harus tetap ada.”

Baca juga: Omnibus Law Jangan sampai Perparah Krisis Iklim

San Afri Awang pun meminta, izin lingkungan tidak hilang. Izin itu, katanya, jadi alat bagi pemerintah dalam melakukan tindakan koordinasi, pengawasan dan pemulihan.

“Saya hanya beri catatan hati-hati, karena omnibus law ini lebih banyak ditulis untuk kepentingan pengusaha.”

Dia menilai, dalam RUU ini banyak pengusaha jadi penumpang gelap hingga kepentingan rakyat hilang.

Supratman Andi, Ketua Badan Legislasi yang memimpin rapat mengatakan, masih membuka diri menerima masukan. Dia pun berkomitmen, pertimbangan lingkungan jadi salah satu yang penting.

Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengatakan, RUU ini selesai Juli ini. Dengan ada UU ini, Indonesia mampu memiliki daya tarik investasi dan diprediksi jadi negara yang cepat pulih dari pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) karena membangun industri dari hulu hingga hilir.

 

Sawit dalam kawasan hutan dan perhutanan sosial

San Afri mengatakan, RUU ini bisa jadi dasar hukum dalam penyelesaian masalah kehutanan di lapangan. Salah satunya, terkait penyelesaian sawit dalam kawasan hutan dengan luas 3,4 juta hektar.

Profesor yang pernah menjadi Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini mengatakan, upaya penyelesaian melalui regulasi tingkat presiden maupun peraturan menteri tidak mampu menyelesaikan masalah.

“Lebih baik kita tambahkan pasalnya. Pelanggaran-pelanggaran negara dan pengusaha kita atur, mau dikasih denda atau apa, itu bisa ditulis. Kalau tidak, persoalan sawit dalam kawasan hutan tidak bisa diselesaikan.”

Dia pun mendorong, perhutanan sosial jadi norma yang tertulis dalam regulasi ini. San Afri menyayangkan, Pasal 27, 28 dan 29 pada UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan dihapuskan. Pasal-pasal itu, katanya, berhubungan dengan perizinan untuk masyarakat dan koperasi yang mendukung program perhutanan sosial saat ini.

“Saya mengusulkan perhutanan sosial masuk salah satu pasal untuk menjadikan job creation.”

 

Batang kayu sisa-sisa hutan alam yang terbabat jadi kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Memasukkan soal perhutanan sosial dalam RUU Cipta Kerja, katanya, sejalan dengan cita-cita Presiden Joko Widodo menargetkan luasan 12,7 juta hektar akses kehutanan bagi masyarakat sekitar hutan. Kalau program perhutanan sosial tak memiliki payung hukum kuat, khawatir pemerintahan berganti, kebijakan berganti pula.

Dalam penyelesaian konflik masyarakat, katanya, ada sekitar 37 juta hektar hutan masih belum ada penetapan karena ada masalah, antara lain, kawasan konflik dan klaim dari masyarakat adat. Tata batas pun tidak bisa jalan.

Pelaksana tata batas, katanya, jarang menggunakan persetujuan bebas tanpa paksaan (free, prior and informed consent/FPIC). “Jarang mau nanya rakyat, karena mereka dikejar waktu untuk mengukur tata batas. Hingga lokasinya terbuka terus, itu jadi arena konflik,” kata San Afri.

Penggunaan sistem koordinat geografis dan satelit disambut baik, namun dia menegaskan, hak-hak masyarakat adat dan konsultasi publik harus tetap jalan. “Ini harus menambah ayat di pasal ini. Jika tidak tertulis dan tidak melibatkan masyarakat, apapun yang tertulis, konflik akan tetap jalan. UU ini tidak akan memecahkan masalah.”

  

Gugatan hukum

Secara terpisah, Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, Walhi menolak ikut serta dalam semua proses pembahasan RUU Cipta Kerja ini. Walhi menyampaikan alasan penolakan secara tertulis.

Dia bilang, Walhi menyatakan pembahasan RUU Cipta Kerja tidak mempunyai urgensi dan tak relevan terus lanjut. “DPR-RI, harus menghentikan seluruh proses yang berlangsung,” katanya saat konferensi pers.

Yaya, sapaan akrabnya, menilai, RUU ini tidak berpihak pada perlindungan kepentingan lingkungan hidup dan kepentingan rakyat. Ia berpotensi menambah laju kerusakan lingkungan hidup dan melanggengkan kondisi krisis dan meletakkan rakyat di bawah ancaman bencana.

“Secara keseluruhan, napas dari RUU ini benar-benar berusaha menegasikan kepentingan rakyat. Secara keseluruhan subtansinya bermasalah, hingga tidak bisa diperbaiki hanya dari pasal per pasal,” katanya saat konferensi pers.

 

Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

RUU ini dinilai masih mempertahankan model-model pembangunan lama yang terbukti tidak mensejahterakan masyarakat dan memperlebar kesenjangan sosial.

“Harusnya pemerintah memikirkan bisnis baru pasca pandemi karena dampaknya akan panjang, seperti memperkuat sendi-sendi ekonomi seperti pangan dan tempat tinggal layak bagi rakyat.” Walhi pun berencana mengambil jalur hukum kalau RUU ini tetap pada ketok palu, seperti UU Minerba.

Pada Mei lalu, Tim Advokasi untuk Demokrasi pun menggugat Surat Presiden (Surpres) Joko Widodo ke DPR terkait pengajuan pembahasan RUU Cipta Kerja ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

“Yang menjadi obyek gugatan adalah surpres yang dikirim ke DPR pada 12 Februari 2020,” kata Arif Maulana, Tim Advokasi untuk Demokrasi. Empat penggugat, antara lain, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konfederasi Buruh Indonesia (KPBI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Perkumpulan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Tim advokasi menilai ada pelanggaran prosedur dan substansi, salah satu, pemerintah sebagai inisiator mengabaikan pelibatan masyarakat dalam penyusunan draf RUU yang diatur dalam UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

RUU ini juga dinilai menabrak peraturan perundang-undangan, yaknu UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi.

Arif berharap, PTUN dapat mengabulkan gugatan dengan pembatan surpres ini. Kalau dinyatakan batal, baik pemerintah ataupun DPR tak berhak melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja.

 

Ancam masyarakat adat

Penelitian Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) Indonesia menyatakan, dari 1.200 pasal yang merangkum 79 UU, ada 72 pasal menyebutkan masyarakat hukum adat dengan frasa-frasa yang tidak seragam dalam mengatur masyarakat hukum adat dan hak atas wilayah adat.

Huma contohkan, ada 23 frasa menyebut dengan masyarakat hukum adat, lima frasa masyarakat adat, lima frasa masyarakat lokal, dan enam frasa masyarakat tradisional. Lalu, dua frasa wilayah kelola masyarakat hukum adat, satu frasa desa adat, empat frasa tanah hak ulayat, dua frasa tanah ulayat, dan satu frasa lahan hak ulayat.

Nadya Demadevina, Koordinator Riset Huma mengatakan, argumentasi pemerintah selama ini dengan melahirkan omnibus law adalah menghilangkan ego-sektoral dan tumpang tindih peraturan.

 

 

RUU ini, katanya, gagal menyelaraskan antara dalih dengan kenyataan. ”Akibatnya, alih-alih dianggap jadi solusi, malahan ini tidak bisa menyelesaikan problem pelik masyarakat adat, yakni tumpang tindih izin di wilayah mereka, terutama dengan industri yang diberi hak oleh pemerintah mengelola sebuah kawasan,” katanya.

Perbedaan frasa-frasa ini terjadi karena di dalam berbagai UU sektoral memang menyebutkan istilah berbeda tentang masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. Ternyat,a persoalan itu dilanggengkan RUU ini.

Kurnia Warman, Dosen Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Andalas menyebutkan, omnibus law ini tidak menyelesaikan permasalahan dan tidak memanfaatkan momentum mengurangi ego sektoral pengelolaan sumber daya alam dalam pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat.

Dalam konteks subyek hukum dan pengaturan wilayah adat, katanya, masih sangat beragam. Ketidaksinkronan ini, katanya, jhawatir mengakibatkan proses pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat kian rumit.

Selama ini, katanya, masyarakat adat dianggap sebagai penghambat investasi karena banyak konflik terjadi dengan industri ekstraktif buntut tumpang tindih lahan. Dalam RUU ini, tak ada bahasan dan perlindungan masyarakat adat pun tidak ada.

Menurut HuMa, RUU ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012 yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara. Ketidakjelasan pengakuan masyarakat hukum adat dan wilayah adat, katanya, menyebabkan mereka rentan jadi korban perampasan tanah.

Rikardo Simamarta, pakar hukum adat Universitas Gadjah Mada mengatakan, persoalan utama dalam pengakuan masyarakat adat dalam menikmati hak tradisionalnya adalah syarat prosedural dan substantif. “Padahal, UUD 1945 mencita-citakan agar masyarakat hukum adat dapat menikmati hak-hak tradisionalnya.”

Secara prosedur, pengakuan masyarakat hukum adat, ada yang tidak sinkron dalam aturan ini, yakni, pertama, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku, kedua, diserahkan kepada pemerintah pusat dan ketiga, harus melalui peraturan daerah.

Pengaturan itu, katanya, melanggengkan ‘pengakuan bersyarat’ bagi masyarakat hukum adat. Karena terdapat syarat prosedural untuk mengakui masyarakat hukum adat secara hukum, yaitu harus terlebih dahulu ditetapkan melalui produk hukum.

Menurut Nadya, ada berbagai masalah dalam pengaturan yang berhubungan dengan wilayah adat dalam RUU ini. Pertama, penggunaan frasa ‘hak ulayat’ tanpa disertai definisi pada ketentuan umum.

Kedua, penggunaan frasa ‘hak ulayat’ dengan definisi berbeda dari konstitusi yang berlaku atau Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012.

Ketiga, kewenangan terbatas bagi masyarakat hukum adat. Contoh, peraturan mengenai ‘kawasan adat’ berkaitan dengan penataan ruang. Tetapi tak diatur kewenangan masyarakat hukum adat dalam kawasan adat.

Keempat, meski terdapat sejumlah pasal yang seolah melindungi kepentingan masyarakat hukum adat, tetapi tidak menyelesaikan perampasan wilayah adat karena konflik penguasaan tanah dan sumber daya alam.

Apalagi, katanya, pasal-pasal terkait wilayah adat dalam RUU Cipta Kerja untuk pembukaan tanah demi kepentingan investasi.

Kelima, pengaturan wilayah adat dalam RUU Cipta Kerja masih sangat sektoral. “Ini bisa menciderai semangat penghargaan hak tradisional masyarakat hukum adat yang harusnya bersifat holistik,” kata Nadya.

 

Bongku terjerat hukum, yang buka lahan untuk tanam ubi di lahag Suku Sakai, yang bertumpang tindih dengan konsesi Arara Abadi.

 

 

Ancaman kriminalisasi

Secara terpisah, Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tegas menolak pembahasan RUU ini lanjut. “Kami justru meminta dan mendesak DPR dan pemerintah memprioritaskan pembahasan dan pengesahan RUU tentang Masyarakat Adat jadi UU yang selama ini terbengkalai.”

Masyarakat adat, katanya, memerlukan penguatan hukum terhadap praktik kearifan tradisionalnya. Dia contohkan, dalam praktik berladang dengan cara membakar.

Dia khawatir, ada UU ini ancaman kriminalisasi warga adat makin tinggi. Sata AMAN, sejak 2019-2020, ada lebih 100 peladang tradisional alami kriminalisasi.

Ketiadaan perlindungan terhadap wilayah adat, katanya, justru berdampak pada makin masif perampasan wilayah adat untuk kepentingan investasi.

“Ini akan berdampak pada hilangnya berbagai pekerjaan tradisional masyarakat adat, seperti berladang, nelayan, pengumpul madu, kemenyan dan lain-lain. Juga berdampak lanjut pada hilangnya identitas masyarakat adat.”

 

 

Keterangan foto utama: Hutan Papua. Dulu, ini hutan, kini lapangan, yang akan digunakan oleh industri ekstraktif. Foto: Nanang

Exit mobile version