Mongabay.co.id

Gubernur NTT Didesak Batalkan Izin Tambang dan Pabrik Semen di Manggarai Timur. Kenapa?

 

Sebanyak 66 organisasi yang bergabung dalam Koalisi Rakyat Tolak Tambang dan Pabrik Semen di Manggarai Timur menyerahkan surat kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Victor Bungtilu Laiskodat.

Dalam surat tersebut, mereka mendesak gubernur membatalkan izin tambang dan pabrik semen di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur.

Koalisi ini beranggotakan berbagai elemen, baik masyarakat dari Luwuk dan Lengko Lolok, lembaga-lembaga agama, aktivis maupun mahasiswa yang tersebar di seluruh wilayah NTT dan di sejumlah kota lain.

Warga Lengko Lolok penolak tambang, Isfridus Sota mengatakan wilayah yang akan menjadi tempat operasi perusahaan mencakup perkampungan warga dan lahan-lahan pertanian yang telah bertahun-tahun menghidupi mereka.

Bila ada tambang dan pabrik semen, katanya, maka relokasi kampung dan alih fungsi lahan pertanian menjadi tidak terhindarkan. Relokasi kampung tidak sekedar soal pindahnya warga, tetapi juga tercerabutnya komunitas warga dari kampungnya yang bernilai budaya dan historis.

“Relokasi itu juga berpotensi melahirkan masalah sosial baru, terkait adanya resistensi dari warga-warga di kampung sekitar lokasi baru, yang kini mulai mencuat,” sebutnya dalam rilis yang diterima Mongabay Indonesia, Kamis (18/6/2020).

baca : Warga dan WALHI NTT Tolak Tambang dan Pabrik Semen di Manggarai Timur. Kenapa?

 

Masyarakat Adat Serise Desa Satar Punda Kecamatan Lamba Leda Kabupaten Manggarai Timu sedang memagari tanah yang menjadi hak ulayat mereka di lokasi tambang PT Arumbai Mangabekti. Foto : JPIC OFM Indonesia

 

Gubernur Harus Konsisten

Direktur JPIC-OFM Indonesia, Pastor Alsis Goa Wonga, menyebutkan pihaknya meminta agar gubernur menolak izin pabrik semen PT Semen Singa Merah NTT serta mencabut IUP Eksplorasi No.540.10/119/DPMPTSP/2019 milik PT Istindo Mitra Manggarai yang diterbikan pada 25 September 2019 pada lahan seluas 599 Ha.

“Kami berpendapat bahwa langkah memberi ruang bagi investasi pertambangan dan pendirian pabrik semen ini, alih-alih membawa kesejahteraan. Yang terjadi adalah ancaman kehancuran lingkungan dan masa depan masyarakat di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk, maupun wilayah-wilayah di sekitarnya,” ungkapnya dalam rilisnya kepada Mongabay Indonesia, Kamis (18/6/2020)

Alsis mengatakan pihaknya meminta agar gubernur konsisten dengan pernyataan pada 9 Juni 2020 lalu saat sidang di DPRD NTT yang menyebutkan belum melanjutkan proses izin karena adanya penolakan berbagai elemen.

Pernyataan itu, sebutnya, harus ditindaklanjuti dengan langkah menghentikan seluruh rangkaian proses pemberian izin dan upaya lain oleh dua perusahaan itu, baik yang saat ini sedang dilakukan di tingkat Pemerintah Provinsi NTT, di tingkat Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur maupun di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk.

Dia melanjutkan koalisi menilai  komitmen gubernur untuk mendengarkan berbagai aspirasi yang menolak investasi itu tidak sinkron dengan langkah yang diambil Bupati Manggarai Timur. Bupati  aktif dan bertendensi menekan masyarakat yang menolak tambang dan pabrik itu agar mereka mengubah sikap.

“Pihak perusahaan terus melakukan berbagai cara untuk memuluskan misi mereka. Termasuk kembali membagi-bagi uang kepada masyarakat pada 9 Juni 2020, persis pada hari saat gubernur menyampaikan pernyataan dalam sidang itu,” ucapnya.

baca juga : Pabrik Semen Vs Keteguhan Orang Flores Pertahankan Ekologi Pulau Kecil

 

Aksi masyarakat Serise melakukan aksi demo menolak tambang di Kantor Bupati Manggarai Timur, Flores, NTT. Foto : Lentaratimur.com

 

Berbagai Alasan

Alsis mengatakan wilayah di sekitar dua kampung itu merupakan bekas tempat beroperasinya perusahaan tambang mangan selama puluhan tahun.

Faktanya kehadiran perusahan tersebut, katanya tidak membawa perubahan signifikan bagi situasi kehidupan masyarakat. Salah satu perusahaan yang pernah beroperasi itu adalah PT Istindo Mitra Perdana yang masih terkait dengan PT Istindo Mitra Manggarai.

“Aktivitas tambang di sejumlah wilayah itu telah merampas tanah-tanah warga, menyebabkan beberapa orang ditangkap dan dipenjara serta memicu konflik sosial yang berkepanjangan akibat politik adu domba,” tuturnya.

Setelah perusahaan berhenti beroperasi, kata dia, yang tersisa hanya lingkungan yang rusak, di mana lubang-lubang bekas tambang masih menganga, tanpa ada proses pemulihan.

Sedangkan Manager Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Melky Nahar menambahkan, rencana penambangan dan pabrik semen ini yang terintegrasi dengan pembangunan PLTU Batubara serta terminal pengepakan dan pelabuhan membawa potensi kerusakan yang dahsyat dan berkepanjangan.

Hal ini terjadi kata Melky, mengingat lokasi tambang dan pabrik ini dekat dengan pemukiman warga. Debu yang dihasilkan oleh kegiatan industri semen,j elasnya, baik pada tahap penambangan hingga pengantongannya berisiko besar bagi kesehatan pekerja dan masyarakat sekitar.

“Debu juga berpotensi merusak tanaman dan sumber air. Ini tentu belum termasuk limbah pabrik semen yang masuk ke dalam kategori limbah gas dan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3),” ungkapnya.

perlu dibaca : Pater Simon, Pejuang Penjaga Manggarai Dari Tambang

 

Lokasi tambang di hutan lindung Torong Besi, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, NTT. Foto: JPIC OFM Indonesia

 

Proses pembakaran batubara dari PLTU tambah Melky, juga menghasilkan PM2.5, partikel halus yang dihasilkan dari semua jenis pembakaran, termasuk pembangkit listrik. Partikel ini akan menetap di udara dalam jangka waktu lama dan mudah tertiup angin hingga ratusan mil.

PM2.5 ini mengandung senyawa beracun yang jika terhirup dapat masuk hingga aliran darah manusia. Dalam jangka panjang, katanya, dapat menyebabkan asma, infeksi saluran pernapasan akut, kanker paru-paru dan memperpendek harapan hidup.

“PLTU juga menghasilkan emisi nitrogen dioksida (NO2) dan sulfur dioksida (SO2) yang dapat meningkatkan risiko penyakit pernafasan dan jantung pada orang dewasa,” terangnya.

Bahkan emisi tersebut, papar Melky, dapat menyebabkan hujan asam yang merusak tanaman dan tanah, serta membawa kandungan logam berat beracun, seperti arsenik, nikel, krom, timbal dan merkuri.

Akumulasi dari setiap jenis aktivitas yang akan dilakukan pihak perusahaan, sebutnya, jelas tak hanya berisiko bagi masyarakat di Lengko Lolok dan Luwuk, tetapi juga masyarakat sekitar.

Sementara Direktur Eksekutif  WALHI NTT,Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi menambahkan, wilayah yang akan ditambang merupakan satu-satunya ekoregion perbukitan karst di Pulau Flores.

Karst itu telah disahkan oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan surat Nomor  SK.8/Menlhk/Setjen/PLA.3/1/2018 tentang Penetapan Wilayah Ekoregion Indonesia.

“Wilayah karst ini menjadi regulator air yang menyediakan suplai air bersih bagi daerah sekitarnya. Juga memberikan penghidupan bagi ribuan komunitas di belahan barat Pulau Flores, khususnya dari Reo di Kabupaten Manggarai hingga Riung di Kabupaten Ngada,” jelasnya.

Karena kawasan ini memiliki fungsi yang sangat vital, tegas Umbu, maka seharusnya dijadikan kawasan lindung ekologis dan tidak diperkenankan untuk dirusak termasuk dengan mengizinkan beroperasinya pertambangan.

Ia menambahkan, perihal perlindungan karst itu telah diatur dalam UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan lebih spesifik dijabarkan juga dalam SK Nomor SK.297/Menlhk/Setjen/PLA.3/4/2019 tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Air Nasional.

“Konversi lahan pertanian menjadi pertambangan, bertentangan dengan kecenderungan global untuk mengupayakan ketahanan pangan pasca pandemi COVID-19 yang kini masih melanda dunia, termasuk NTT,” tegasnya.

baca juga : Soal Moratorium Tambang, Gubernur NTT Ditagih Janji Utamakan Pariwisata dan Pertanian

 

Sawah produktif warga Luwuk Desa Satar Punda Kecamatan Lamba Leda Kabupaten Manggarai Timur ,NTT yang terancam digusur untuk pembangunan pabrik semen.Foto : Norbert Nomen

 

Masih Belum Produksi

Kepala Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) NTT Jusuf Adoe kepada Mongabay Indonesia, Kamis (18/6/2020) mengaku sudah menerima surat dari Diaspora Manggarai di Jawa terkait keputusan menteri soal bentang alam karst.

Kalau ditetapkan menjadi bentang alam karst, kata Jusuf, harus melalui studi baru ditetapkan melalui keputusan menteri. Dan bila sudah ada keputusan tersebut sebutnya, tidak boleh lagi ada aktifitas apapun disitu karena kawasan tersebut untuk lingkungan dan air.

“PT. Isitindo mau menaikan statusnya dari eksplorasi ke operasi produksi sehingga perlu dilakukan studi AMDAL. Saat ini sedang dilakukan dan perusahaan belum berproduksi,” jelasnya.

Bicara moratorium pemberian izin tambang baru, sebut Jusuf,  hanya berlaku untuk mineral dan logam sementara batuan tidak. Menurutnya,  mineral logam tidak ada penerbitan izin baru.

Hanya saja, kata dia, semua izin yang diterbitkan oleh para bupati, ditata lagi dan dilakukan evaluasi. Perusahaan pun dipanggil untuk evaluasi apakah sudah memenuhi semua kewajibannya atau belum seperti PMDP, jaminan reklamasi dan studi AMDAL-nya.

“Kalau yang batuan atau tambang Galian C boleh diterbitkan izin baru. Domain izinnya juga ditentukan kabupaten dan kota. Batuan kan untuk pembangunan sehingga kalau tidak diberikan izin maka akan repot,” tegasnya.

 

Lokasi tambang mangan di Sirise, Desa Satar Punda Kecamatan Lamba Leda Kabupaten Manggarai Timur,NTT. Foto: JPIC-OFM

 

Dinas ESDM NTT, tegas Jusuf, terus mengawasi karena tidak ingin kegiatan pertambangan melanggar aturan. Alasannya, karena pertambangan merupakan aktivitas tidak terbarukan sehingga kalau lingkungan rusak maka yang rugi anak cucu kita.

“Tambang Mangan di Pulau Timor masih berlangsung dan ada izin Gulf Mangan Group untuk kirim ke Cina sebab dapat kuota dari kementerian ESDM dan Perdagangan untuk kirim  konsentrat tetapi belum bisa karena smelter pengolahannya belum selesai dibangun,” pungkasnya.

 

Exit mobile version