Mongabay.co.id

Sengketa Lahan Petani Sampit versus ‘Crazy Rich Surabaya’

Aksi warga Desa Penyang memasang Hinting Pali, portal secara adat, setelah mereka mendengar Hermanus (almarhum) dan Dilik, ditangkap aparat pada 17 Februari 2020. Foto: Habibi/Save Our Borneo

 

 

 

 

DI AULA Kepolisian Kotawaringin Timur, Dilik duduk mendengarkan para hakim Pengadilan Negeri Sampit, membacakan keputusan mereka soal masalah hukum yang menimpa Dilik dan rekannya, James Watt, 15 Juni lalu.

Sidang secara virtual berhubung wabah Virus Corona. Hakim, jaksa, dan kedua terdakwa, bersama pengacara mereka, tersambungkan lewat program Zoom –sebuah pemandangan yang mulai terjadi pada 2020 ketika virus mulai menular di seluruh dunia.

Baca: Perjuangkan Tanah yang Diklaim Perusahaan Sawit, Tiga Warga Kotawaringin Timur Malah Ditahan

Para hakim, termasuk ketua AF Joko Sutrisno, berada di ruang sidang Pengadilan Sampit. Mereka memutuskan Dilik bersalah karena “secara tidak sah memanen” hasil perkebunan PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP). Dia disebut melanggar Pasal 107 (D) UU Perkebunan tahun 2014. Pasal itu juga menjerat James Watt karena “menyuruh” Dilik memanen hasil perkebunan sawit HMBP.

Sutrisno membacakan vonis bahwa Dilik dihukum delapan bulan penjara. James Watt 10 bulan.

Sutrisno bertanya apakah mereka menerima vonis.

“Saya terima, Yang Mulia,” ucap Dilik.

James Watt menjawab masih akan pikir-pikir dahulu: menerima putusan atau banding.

Dalam sidang ini seharusnya ada terdakwa ketiga. Namanya, Hermanus, juga orang Dayak, yang meninggal dalam tahanan polisi. Dia mengeluh dipukul dalam tahanan. Hermanus sudah mengeluh sakit, memakai kursi roda dalam persidangan. Hermanus meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah Sampit pada 26 April 2020.

Baca juga: Pejuang Agraria di Kotawaringin Meninggal, Koalisi Minta Sidang Dihentikan

Kematian Hermanus membuat sidang ketiga petani Dayak versus HMBP–anak perusahaan dari Best Agro, mendapat sorotan media massa dan aktivis lingkungan.

Tempat di mana ketiganya didakwa “mencuri sawit” adalah obyek sengketa lahan antara warga Desa Penyang, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, dengan Best Agro.

 

Sidang terhadap Hermanus, Dilik, dan James Watt yang dilangsungkan di Polres Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Foto: Dok. Walhi Kalteng/SOB

 

 

Riwayat sengketa

Bama Adiyanto adalah pengacara dari Justice, Peace, Integrity of Creation (JPIC Kalimantan), sebuah organisasi hak asasi manusia di Palangkaraya. Bama juga penasihat hukum James Watt dan Dilik hingga mengikuti kasus ini sejak awal.

Bama mengatakan, sengketa antara para petani Dayak versus Best Agro mulai di Desa Penyang saat HMBP menggarap lahan melampaui izin hak guna usaha (HGU).

HMBP memperoleh izin konsesi dari pejabat pelaksana Bupati Kotawaringin Timur Suandi seluas 8.200 hektar pada 13 September 2003. Sebelumnya, izin itu diberikan pada PT Karya Agung Sumber Kencana (KASK) berlokasi di Desa Tanah Putih, Kecamatan Kota Besi dan Desa Natai Nangka, Kecamatan Mentaya Hilir.

“Ketika surat ini sudah keluar, HMBP mulai land clearing milik masyarakat. Kebetulan salah satunya yang masuk di-land clearing mereka adalah lahan milik masyarakat Desa Penyang seluas 117 hektar,” kata Bama.

Warga Penyang tentu keberatan. Mereka mendorong Panitia Khusus DRPD Kotawaringin Timur untuk pengukuran bersama pada 2011, guna melihat lahan Best Agro.

“Berdasarkan hasil pengukuran saat itu didapati 1.726 hektar tanaman sawit di luar HGU, 117 hektar di lahan yang dimiliki masyarakat.”

Masyarakat Penyang juga dapat rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang memperkuat keputusan DPRD Kotawaringin Timur.

“HMBP harus mengembalikan lahan milik masyarakat Desa Penyang. HMBP harus membayar kompensasi atas tindakan yang sudah menggarap, menguasai, memanfaatkan hasil dari tanah milik Desa Penyang.”

Hasil gelar kasus Badan Pertanahan Nasional juga menyimpulkan tanah warga Penyang memang berada di luar HMBP.

“Artinya, tidak sesuai sertifikat HGU. Kemudian (BPN) juga memerintahkan agar perusahaan menjalankan rekomendasi yang sudah diberikan oleh pansus.”

Menurut Bama, pada 2 September 2019, Forum Warga Penyang dan Tanah Putih memberi kuasa tertulis kepada James Watt dan tiga orang lain untuk mendampingi warga dalam mengambil tanah 117 hektar itu.

Pada 15 Oktober 2019, muncul surat pernyataan dari Manajer Legal HMBP, M. Wahyu Bima Dharta dan Supervisor Legal M. Arif Hidayat. Isinya, perusahaan bersedia menyerahkan atau memitrakan lahan seluas 117 hektar itu.

Wahyu Bima Dharta juga anggota pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesiasebuah organisasi beranggotakan pelaku usaha persawitan di Indonesia.

Surat ini, kata Bama, dipahami warga Penyang bahwa mereka sudah mendapatkan kembali lahan yang dirampas Best Agro.

 

Hermanus saat berada di tahanan Polres Kotawaringin Timur. Foto: Dok. SOB

 

Menariknya, James Watt punya riwayat sengketa dengan HMBP di wilayah Bangkal, Kabupaten Seruyan.

“Jadi, di kampung Pak James, Desa Bangkal, berhasil menggalang gerakan massa, untuk memaksa HMBP mau bernegosiasi dengan masyarakat,” kata Bama.

Kemampuan James Watt inilah yang membuatnya dipercaya bantu advokasi masyarakat Penyang.

“Maka, ketika November masyarakat panen massal, HMBP melaporkan Pak James ke Polres Kotawaringin Timur dengan tuduhan provokator Desa Penyang. Polres Kotim tidak ditindaklanjuti. Karena berdasarkan kesimpulan pemeriksaan awal, kasus ini lebih condong ke ranah perdata.”

Belakangan ada perkembangan lain. Dua petani Penyang, Hermanus dan Dilik ditangkap di Sampit pada 17 Februari 2020.

Sebelumnya, 29 Januari 2020, ada pertemuan antara warga Desa Penyang dan perusahaan dengan mediator Setda Kotawaringin Timur. Pertemuan menemui jalan buntu.

“Kami junjung tinggi apa yang jadi keputusan,” kata Wahyu Bima Dharta, kala itu, seraya bilang, kalau tak ada titik temu, juga sepakat proses hukum.

Kemudian pada Maret 2020, Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah mencari James Watt sampai di Jakarta saat James sedang mengadukan sengketa lahan oleh Best Agro ke Walhi–organisasi lingkungan paling besar di Indonesia. James juga menginap di mess Walhi di Jakarta.

Pada 7 Maret 2020, dini hari polisi dari Palangkaraya mendatangi mess dan menangkap James Watt dan Dedi Susanto–belakangan jadi saksi.

”Tindakan kepolisian terhadap kedua orang itu murni kriminalitas terkait kasus pencurian buah sawit. Tidak ada kaitan dengan konflik sengketa lahan antara masyarakat dengan HMBP. Ditreskrimum Polda Kalteng sudah menerbitkan dua kali panggilan, tertanggal 24 Februari dan 28 Februari,” kata juru bicara polisi Kalimantan Tengah Hendra Rochmawan.

Satu perkembangan menarik. Polisi mengubah perkara perdata jadi pidana “pencurian buah sawit” dan mengeluarkan biaya buat terbang ke Jakarta, menangkap James Watt dan Dedi Susanto, lantas membawa ke Palangkaraya, belakangan diserahkan kepada Kejaksaan Sampit untuk didakwa pencurian.

Apa yang membuat polisi begitu rajin mengejar perkara pencurian?

 

Kelompok Tani Sahai Hapakat saat bergerak menggelar aksi panen massal pada 22 Januari 2020. Aksi ini sebagai bentuk perlawanan mereka kepada PT. HMBP yang tidak juga merealisasikan penyerahan lahan sesuai janji. Foto: Herlianto/SOB

 

Crazy Rich Surabaya

PT Hamparan Masawit Bangun Persada, adalah anak perusahaan Best Agro International, sebuah bisnis sawit raksasa, milik keluarga Tjajadi asal Surabaya. Dalam sebuah investigasi tahun 2011, Reuters menyebutnya sebagai perusahaan yang penuh rahasia dipimpin dua bersaudara: Winarto and Winarno Tjajadi. Pada anggaran dasar HMBP Desember 2017 dicantumkan Winarto Tjajadi (komisaris) dan Robby Zulkarnaen (direktur).

“Best Group memiliki lahan konsesi sawit seluas 200.000 hektar di Kalimantan Tengah. Best juga pemain hilir dengan klaim sebagai satu dari lima kilang minyak sawit terbesar di Indonesia,” kata Dimas Novian Hartono, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah.

Best Agro tak memiliki kebijakan “No Deforestation, No Peat, and No Exploitation,” sebagai perkebunan yang berniat berkomitmen terhadap kelestarian lingkungan hidup. Orang utan pernah ditemukan mati dengan puluhan peluru di tubuhnya dalam perkebunan mereka. Ia jadi berita buruk buat Indonesia.

Panama Paper, sebuah investigasi soal persembunyian kekayaan orang super kaya, mencatat tiga nama Tjajadi: Winarno, Rendra dan Sujanto Tjio. Mereka memiliki perusahaan yang ditaruh di British Virgin Islands.

Nama Rendra Tjajadi, pernah bikin ramai pada Desember 2018 ketika menikahkan putranya, Jusup Maruta, dalam pernikahan mewah di hotel bintang lima, The Mulia Bali. Jusuf dan mempelai perempuan Clarissa Wang, melakukan pre-wedding di lima benua: Afrika, Eropa, Amerika, Australia dan Asia. Lengkap dengan video, koin emas sebagai souvenir, dan door prize buat ratusan tamu. Mereka juga mengumumkan penggalangan dana sosial, selama pesta berlangsung, sebesar Rp1,2 miliar.

Marcelino Wuran dari Bali Wedding Association mengatakan, “sebagian tamu mereka dibayarin. Tamu yang datang antara 100-500 tamu dari Indonesia dan luar negeri.” Wuran menyebut keluarga ini sebagai “crazy rich Surabaya” –orang Surabaya yang luar biasa kaya, plintiran dari film “Crazy Rich Asians.”

Pemberitaan besar-besaran soal kemewahan acara tersebut membuat Rendra Tjajadi bikin pertemuan pers, sesuatu yang jarang dilakukan keluarga Tjajadi, dan membantah kemewahannya. Dia berkali-kali mengatakan “keluarga sederhana.” Ketika ditanya berapa biaya buat pesta, dia menjawab, Pernikahan ini biasa cuma tidak lebih Rp10 miliar.”

Instagram pasangan itu @jusupclarissa kini dibikin tertutup namun jejak berbagai acara mereka, dengan hashtag #TalesofJnC, masih bisa dilihat di berbagai tempat.

Di luar urusan pernikahan yang mewah –tentu saja tak melanggar hukum—kelompok bisnis ini punya nama tak sedap di Kalimantan Tengah.

“Perusahaan ini tidak transparan dan banyak melanggar hukum, dengan praktik-praktik perampasan tanah, sering dilakukan di Kalimantan Tengah,” kata Arie Rompas dari Greenpeace Indonesia menilai Best Agro.

The Gecko Project dan Mongabay melaporkan, bahwa Best Agro mendapat izin bikin perkebunan sawit dengan memasuki Taman Nasional Tanjung Puting.

 

Aksi massa Desa Penyang memasang Hinting Pali, portal secara adat,. Foto: Save Our Borneo

 

Fakta persidangan

Berbagai kesaksian dalam persidangan di Sampit membuat Bama Adiyanto menduga, apa yang terjadi pada James Watt, Dilik dan Hermanus sebenarnya usaha kriminalisasi. Penangkapan dan peradilan itu, lebih dipakai untuk menakut-nakuti warga Desa Penyang agar bukan saja tak mendapat tanah 117 hektar juga berbagai kasus lain yang melingkari Best Agro.

Panen massal buah sawit memang dilakukan pada November 2019 lewat Kelompok Tani Sahai Hapakat dari Desa Penyang. Ketika Dilik dan Hermanus ditangkap polisi, juga James Watt, Bama Adiyanto kesulitan untuk menemui mereka.

“Kami tidak bisa langsung bertemu orang ini. Selalu ada alasan dari Polda yang untuk menghalang-halangi kami, untuk bisa bertemu dan mendengar langsung versi penangkapan dari tiga orang ini.”

“Merasa hak kami sebagai penasehat hukum dibatasi, kami coba ajukan praperadilan. Ajaibnya lagi, ketika kami mengajukan praperadilan, tidak sampai satu minggu, penyidik sudah segera men-tahap-dua-kan penyidikan ke kejaksaan. Oleh kejaksaan, dalam waktu dua hari itu sudah P21 (berkas lengkap-red), hingga kami tidak bisa melanjutkan praperadilan,” katanya.

Persidangan juga dinilai janggal.

Best Agro, selaku pelapor, tak bisa membuktikan dalil di persidangan. Sertifikat hak guna usaha HMBP, yang diklaim dalam Berita Acara Pemeriksaan, tak diperlihatkan di persidangan.

Dalam persidangan ada sembilan saksi dengan keterangan tak sesuai tentang keabsahan kepemilikan lahan 117 hektar, yang sawit dipanen warga.

Bama menambahkan, lahan 117 hektar itu tak pernah dilepaskan oleh Desa Penyang dan ada kesaksian dari pihak desa dalam persidangan. Sayangnya, tak diperhatikan majelis hakim.

Palu hakim sudah diketuk. James Watt dan Dilik vonis bersalah. Kematian Hermanus tak diselidiki. Polisi yang diduga memukul Hermanus juga tak diperiksa.

James Watt belum memutuskan apakah akan banding dan tetap mencari keadilan atau memutuskan menerima serta memikirkan cara lain buat menegakkan keadilan. Jalan perjuangan mewujudkan keadilan agraria dan lingkungan makin terjal.

Safrudin dari Save Our Borneo, yang selalu mengawal sidang ini, kesal dengan vonis ini. “Hakim menyatakan, sebenarnya permasalahan ini banyak unsur perdata. Artinya, hanya di ranah persidangan perdata, penyelesaian soal kepemilikan lahan, unsur yang selama ini digunakan penasehat hukum untuk pembelaan.”

Dia menyesalkan, hakim mengabaikan surat pernyataan penyerahan lahan pihak legal perusahaan kepada warga pada 15 Oktober 2019. “Mereka (pihak legal dianggap) tak punya kewenangan dalam mengambil keputusan perusahaan. Bahwa pengambil kebijakan legal itu bukan mereka. Makanya itu dikesampingkan oleh majelis hakim.”

Safrudin curiga, dengan surat pernyataan itu. “Aku melihatnya, ‘surat penyerahan kepada kelompok Tani Sahai Hapakat ini jebakan Batman buat masyarakat.”

Entah bagaimana kelak sejarah menilai kematian Hermanus dan hukuman penjara pada Dilik dan James Watt. Entah bagaimana juga sejarah kelak menilai keluarga Tjajadi dan gelar “Crazy Rich Surabaya” … yang boleh jadi kekayaannya didapat dengan bersengketa lahan dengan para petani di Kalimantan Tengah.

 

 

Keterangan foto utama:  Aksi warga Desa Penyang memasang Hinting Pali, portal secara adat, setelah mereka mendengar Hermanus (almarhum) dan Dilik, ditangkap aparat pada 17 Februari 2020. Foto: Habibi/Save Our Borneo

Exit mobile version