- Minggu, 26 April 2020, pukul 00.30 WIB, Hermanus [36] alias Tompel, pejuang lingkungan dan agraria Desa Penyang, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, meninggal dunia di Rumah Sakit Murjani Sampit.
- Hermanus, petani yang didakwa mencuri buah sawit, sejak awal memiliki penyakit. Sejak persidangan pertama di Pengadilan Negeri Sampit, ia sudah sakit dan harus menggunakan kursi roda.
- Pihak Koalisi Keadilan untuk Pejuang Lingkungan dan Agraria Desa Penyang, meminta sidang kasus tersebut dihentikan.
- Hermanus adalah satu dari tiga pejuang agraria dan lingkungan yang dikriminalisasi atas laporan perusahaan. Mereka adalah petani yang ditangkap atas tuduhan pencurian buah sawit, meski areal tersebut berstatus sengketa dan berada di luar HGU Perusahaan PT. Hamparan Mas Bangun Persada [PT. HMBP].
Kabar duka datang dari Kalimantan Tengah, Minggu, 26 April 2020, pukul 00.30 WIB. Hermanus [36] alias Tompel, pejuang lingkungan dan agraria Desa Penyang, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur, meninggal dunia di Rumah Sakit Murjani Sampit.
Walhi Kalteng yang tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Pejuang Lingkungan dan Agraria Desa Penyang, dalam keterangan tertulisnya membenarkan kabar pilu tersebut, Minggu [26/4/2020]. Pihak koalisi minta sidang kasus tersebut dihentikan.
Dalam rilis tersebut pihak koalisi menjelaskan, sedari awal Hermanus, petani yang didakwa mencuri buah sawit, memiliki penyakit. Sejak persidangan pertama di Pengadilan Negeri Sampit, ia sudah sakit dan harus menggunakan kursi roda, bersamaan mewabahnya COVID-19 di Kalimantan Tengah.
Melihat kondisi tersebut, pihak koalisi melalui penasehat hukumnya meminta dilakukan pemeriksaan kesehatan Hermanus di Rumah Sakit Murjani Sampit. Namun, hanya direkomendasikan berobat jalan, tetap ditahan di Polres Kotawaringin Timur.
Penasehat hukum Hermanus juga melakukan permohonan penangguhan penahanan kepada majelis hakim. Alasannya, kesehatan Hermanus menurun serta kondisi ruang tahanan yang melebihi kapasitas. Hal tersebut, disampaikan pada sidang lanjutan ketiga [20/4/2020], dan bahkan Hermanus juga masih dijadwalkan mengikuti sidang keempat, Senin [27/4/2020].
Sebelum meninggal, Hermanus mengalami batuk dan flu berat. Hingga kini, belum ada keterangan resmi dari rumah sakit penyebab kematiannya.
Hermanus adalah satu dari tiga pejuang agraria dan lingkungan yang dikriminalisasi atas laporan perusahaan. Mereka adalah petani yang ditangkap atas tuduhan pencurian buah sawit, meski areal tersebut berstatus sengketa dan berada di luar HGU Perusahaan PT. Hamparan Mas Bangun Persada [PT. HMBP].
Baca: Perjuangkan Tanah yang Diklaim Perusahaan Sawit, Tiga Warga Kotawaringin Timur Malah Ditahan
Sidang Eksepsi
Sebelumnya, Senin (20/4/202], sidang ketiga digelar untuk Pejuang Agraria dan Lingkungan Desa Penyang atas nama Dilik Bin Asap, Hermanus Bin Bison, dan James Watt Bin Atie. Agendanya, mendengarkan tanggapan Jaksa Penuntut Umum [JPU] terhadap eksepsi Penasehat Hukum [PH] terdakwa pada sidang sebelumnya, Senin [13/4/2020].
Dalam kesempatan itu, JPU tidak membantah eksepsi ketiga pejuang tersebut dengan alasan sudah masuk pokok perkara. Dalam eksepsi sebelumnya, Tim PH terdakwa menganggap surat dakwaan pertama JPU tidak cermat dan tidak jelas. Sebab, JPU tidak menguraikan keabsahan kepemilikan PT. HMBP atas tandan buah segar [TBS] kepala sawit seberat 4,33 ton.
Bama Adiyanto, penasehat terdakwa, memandang JPU tidak menguasai akar permasalahan kasus. “Karena JPU tidak mau membantah materi eksepsi, hal ini harus menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan eksepsi dari PH atas nama terdakwa,” terangnya, usai persidangan di Polres Kotim.
Koalisi Keadilan untuk Pejuang Agraria dan Lingkungan Desa Penyang pun sepakat dengan pernyataan penasehat hukum.
Anggota koalisi dan penasehat hukum terdakwa, Parlin Bayu Hutabarat, menilai selain tidak memahami konflik, dakwaan JPU terdengar kabur. “Tanggapan JPU yang seadanya menunjukkan, dakwaan harus dibatalkan,” katanya.
Parlin berharap, majelis hakim mengabulkan eksepsi dengan pertimbangan adil untuk para terdakwa khususnya, dan warga desa Penyang umumnya.
Persoalan sebenarnya adalah konflik lahan yang belum terselesaikan sejak puluhan tahun silam. Sehingga, warga menuntut pengembalian lahan mereka yang berada di luar Hak Guna Usaha [HGU] PT. HMBP seluas 117 hektar.
Direktur WALHI Kalteng, Dimas N. Hartono, yang tergabung dalam koalisi menganggap, fakta-fakta di lapangan belum tuntas diungkapkan. “JPU tidak menjelaskan, lahan perusahaan yang bersengketa dengan warga Desa Penyang, merupakan lahan yang diklaim sepihak PT. HMBP, di luar HGU serta izin yang diberikan,” ujarnya.
PT. HMBP melalui M. Wahyu Bima Dhakta [Manager Legal] dan M. Arif Hidayat NST [Supervisor Legal] perusahaan pernah membuat pernyataan menyerahkan/memitrakan lahan kepada warga Penyang.
Hal ini disaksikan Kepala Desa Penyang, Anggota DPRD Kotim, Kasat Intel Polres Kotim, dan General Maneger PT. HMBP. Namun, sampai saat ini lahan masih dikuasai PT. HMBP.
Baca: Sedihnya Antonius, Dituduh Bakar Lahan dan Dihukum Setahun Penjara oleh Pengadilan Muara Teweh
Kehadiran perusahaan instan
Koalisi Pejuang Agraria dan Lingkungan Warga Desa Penyang kepada Mongabay Indonesia menyatakan, sejak dipindahtangankan tahun 2005 dari PT. Karya Agung Subur Kencana ke PT. HMBP, banyak masalah muncul di perusahaan ini.
Meskipun Suandi, selaku Pelaksana Tugas [Plt] Bupati Kota Waringin Timur [Kotim] saat itu, memberikan persetujuan peralihan izin lokasi satu setengah tahun, perusahaan ini malah memperluas lahan.
PT. HMBP mengatongi izin lokasi seluas 8.200 hektar. Namun, mereka menanam di luar HGU seluas 1.865,8 hektar, yang 117 hektar merupakan lahan warga Desa Penyang, 22,8 hektar [milik Dinas Perkebunan Kotim], 1.726 hektar kawasan hutan, dan 276 hektar proses land clearing.
“Perbuatan perusahaan justru melanggar hukum,” kata Ronald M Siahaan, salah satu penasehat hukum James Watt dkk.
Menurut dia, perusahaan yang nyata melanggar hukum tidak memiliki kebebasan melapor kepolisi. Apalagi sangkaan pencurian buah. “James Watt dkk justru berjuang untuk lingkungan dan tanah adat mereka, bukan merugikan negara,” lanjutnya.
Ronald menambahkan, mereka seharusnya dilindungi Pasal 66 UU No 32 Tahun 2009 dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No 36/KMA/SK/II/2013 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.
Legal Departemen PT. HMBP, Hendri, dihubungi Mongabay Indonesia pada Sabtu [25/4/202], terkait penahanan warga tidak banyak komentar. “Untuk kasus tiga orang itu, yang dapat saya sampaikan, karena ini masalah hukum, kita serahkan semua pada proses hukum. Ini kasus pidana,” jelasnya.
Baca juga: Saprudin Bebas, Hak Berladang Masyarakat Adat Muara Teweh Tetap Diperjuangkan
Dugaan pelanggaran PT. HMBP
Dalam Berita Acara Gelar Kasus Nomor 22/BAHG/GV/2012 tanggal 2 Mei 2012, disebutkan bahwa sesuai hasil pemeriksaan dan peta hasil peninjauan lapangan Tim Panitia Khusus [Pansus] PBS terdapat indikasi penanaman di luar HGU oleh perusahaan seluas 1.865,8 hektar.
Dari luasan itu, sebesar 1.726 hektar masuk kawasan hutan. Selain itu, PT. HMBP juga diduga melakukan penimbunan danau alam, Sungai Paring Dua, dan Sungai Pinang Tunggal untuk penanaman sawit.
“Perusahaan diduga melanggar Pasal 50 ayat [3] huruf a jo Pasal 78 ayat [2] Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan melanggar Pasal 17 ayat [2] huruf b jo Pasal 92 ayat [2] Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan,” kata Safrudin, Direktur Save Our Borneo, yang juga anggota koalisi.
Menurut Safrudin, jika JPU mendakwa tiga pejuang lingkungan tersebut dengan pasal 107 huruf d UU 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, justru pelanggaran banyak dilakukan PT. HMBP. “Sudah pasti, perusahaan bersalah,” katanya.
Kami, lembaga dan individu yang tergabung dalam koalisi, menduga aktivitas perkebunan yang dilakukan PT. HMBP di luar HGU itu, tidak memiliki izin usaha perkebunan [IUP]. “Sehingga melanggar Pasal 47 ayat [1] jo Pasal 105 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan,” jelasnya.
Sebagai informasi, James Watt [47], didakwa pasal berlapis. Ia dituduh menyuruh Dilik dan Hermanus mencuri buah sawit PT. HMBP yang lokasinya diyakini milik masyarakat. Ketiganya ditahan sejak awal Maret 2020.
Senin [06/4/2020] lalu, Pengadilan Negeri Sampit menggelar sidang Perkara Pidana Nomor: 112/Pid.B/2020/PN.Spt dengan terdakwa James Watt. Agendanya, pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum [JPU], Rahmi Amalia, SH.
JPU menggunakan pasal 107 huruf d UU 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan jo. Pasal 55 ayat (1) KHUPidana dan Pasal 363 ayat [1] KUHP jo. Pasal 55 ayat [1] KHUPidana. Selanjutnya, sidang kedua, Senin [13/4/2020], tim penasehat hukum James Watt yang tergabung dalam Koalisi Keadilan Untuk Pejuang Agraria Dan Lingkungan Desa Penyang menyampaikan nota keberatan [eksepsi] atas dakwaan JPU.
“Dakwaan JPU tidak jelas, tidak menguraikan perbuatan yang dilakukan James Watt. Jaksa juga tidak menguraikan keabsahan kepemilikan tanah,” kata Aryo Nugroho Waluyo, SH, perwakilan tim kuasa hukum James Watt.
Aryo menambahkan, dakwaan JPU tidak cermat karena tidak menguraikan keabsahaan kepemilikan PT. HMBP terhadap tandan buah segar [TBS] kelapa sawit seberat 4.33 ton sebagai unsur legitimasi penerapan Pasal 107 huruf d UU 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Menurut Aryo, surat dakwaan tersebut bertentangan dan melanggar ketentuan pasal 63 ayat 2 KUHP, yang berbunyi, “Jika suatu perbuatan pidana masuk dalam suatu aturan pidana umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya khusus itulah yang diterapkan,” tegasnya.