Mongabay.co.id

Kisah Anak Muda Sikka Gelorakan Budidaya Holtikultura : Dobrak Tradisi Bertani  [Bagian 1]

 

Tahun 2017 boleh dikata menjadi titik awal menggeliatnya pertanian holtikultura di Sikka, Nusa Tenggara Timur. Sebelumnya semua jenis holtikultura didatangkan dari Makasar, Sulawesi Selatan dan Bima, Nusa Tenggara Barat.

Sejak turun temurun, petani di Kabupaten Sikka terutama Kecamatan Nita sudah menjadi petani holtikultura. Hasilnya hanya sebagian kecil saja untuk memenuhi kebutuhan pasar. Petaninya pun awal tahun 90-an mulai beralih ke tanaman perkebunan seperti kakao, mete dan kelapa yang dianggap lebih menjanjikan.

Tulisan ini ingin melihat bagaimana petani muda di Sikka yang sebelumnya tidak tertarik terjun di dunia pertanian bisa menguasai pasar holtikultura di Sikka bahkan produknya dijual ke kabupaten lain di pulau Flores.

Tulisan ini merupakan bagian pertama dari dua tulisan bagaimana anak muda di Sikka bertani holtikultura serta bertahan di tengah pandemi Corona.

***

Ribuan pohon tomat siap panen terbentang di lahan seluas 4 hektare milik KSP Kopdit Pintu Air di desa Nitakloang. Ribuan pohon tomat di ratusan bedeng ini hanya ditanam di hampir 1,5 Ha lahan. Sisa lahan lainnya sudah dibersihkan dan ada yang telah dipasangi mulsa.

Sebuah tempat persemaian benih dipenuhi bibit tomat yang siap disemai. Beberapa perempuan terlihat sedang memanen tomat yang dikumpulkan di bale-bale bambu (tedang) di pondok yang ada di tengah kebun.

“Kami terpaksa menjual murah tomat ini. Biasanya satu kilogram dijual paling murah Rp10.000/kg di pasar Alok, tapi sekarang kami hanya jual Rp5.000/kg. Kami dapat uang Rp.50 juta,” kata ketua kelompok tani Sinar Bahagia desa Nitakloang, kecamatan Nita, kabupaten Sikka, NTT, Eustakius Bogar (47) saat ditemui Mongabay Indonesia, Kamis (21/5/2020).

baca : Kisah Sukses Eustakius Kembalikan Kejayaan Holtikultura di Sikka

 

Eustakius Bogar (kiri) Ketua Kelompok Tani Sinar Bahagia, Desa Nitakloang, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, NTT bersama sekretaris kelompok Albertus Marianus Moa Desa di lahan pertanian milik kelompok tani. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Eus sapaan petani pelopor dan penggerak budidaya tanaman holtikultura ini mengaku sedih.Pasalnya musim panen tomat dan lombok sejak awal April justru saat pandemi Corona mulai merebak.

Dia mengaku kehilangan pendapatan ratusan juta rupiah dari ribuan pohon tomatnya yang siap panen. Belum lagi pohon tomat di lahan milik 20 anggota kelompok taninya. “Situasi ini tidak terduga dan kami terpaksa memanen dan menjual seadanya saja. Harganya pun jatuh karena pembeli juga menurun drastis,” sebutnya.

  

Tertular Virus Bertani

Kebutuhan produk holtikultura di kabupaten Sikka tercatat cukup besar. Untuk tomat saja sebanyak 20 ton didatangkan dua minggu sekali dari Makasar, Sulsel.

Sedangkan data Dinas Pertanian Kabupaten Sikka menyebutkan, jumlah produksi tomat di Kabupaten Sikka tahun 2018 sebesar 1.733 ton dari lahan seluas 96 hektare.

Semangat bertani holtikultura diprakarsai Eus sejak 2017 rupanya menjadi magnet bagi anak-anak muda di Kecamatan Nita dan kecamatan lainnya. Perlahan anak muda yang mencari uang dari perjudian dan pekerjaan serabutan mulai tertarik.

Verentinus Wenger (37), salah seorang yang tertular virus dari Eus. Sang adik ini awalnya bekerja sebagai penjudi dan penjual ikan. Setelah ikut membantu sang kakak, tahun 2018 dirinya pun mulai terjun di bisnis holtikultura.

Kalau berjudi kata Veres sapaannya, hari ini menang besoknya belum tentu menang. Menjual ikan pun belum tentu meraih untung.Veres pun banting setir menaman tomat sebanyak 6 ribu pohon.

“Saya melihat kakak saya tanam banyak kenapa saya tidak bisa. Pertama saat panen awal harga tomat jatuh Rp3.000/kg dapat hasil sekitar Rp.20 juta. Saya merasa senang sekali dapat uang banyak dan uangnya bisa dipergunakan lama,” tuturnya.

Veres mengaku sudah ratusan juta rupiah didapat dan uangnya buat biaya kebutuhan keluarga dan bayar hutang. Ia juga kontrak lahan dua tempat seluas satu hektar Rp.2 juta setahun setiap kebunnya.

baca juga : Sius, Petani Difabel Pelopor Pertanian Organik yang Diundang Makan Malam Jokowi

 

Para petani sedang memanen tomat di lahan milik bersama Kelompok Tani Sinar Bahagia di Desa Nitakloang, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Albertus Marianus Moa Desa (34) pun ikut tertular. Alumnus sekolah pertanian SPMA Boawae kabupaten Nagekeo ini mengaku kuliah perpajakan. Sering mengunjungi kebun milik Eus dan berdiskusi, namun belum tertarik bertani.

Meski bekerja di sektor lain kata Albertus, namun ada satu masa dimana timbul kejenuhan apalagi dia tipe orang yang tidak mau diperintah orang. Bulan Mei 2019, dia mulai menanam sawi.

“Pertama panen sawi dapat uang Rp.5 juta. Setelah itu tanam tomat 3.000 pohon lebih dapat uang Rp.22 juta dan baru panen bulan Januari lalu. Selama 8 bulan saya sudah dapat untung bersih Rp.50 juta,” sebutnya.

Albertus mengenang, pertama kesulitan menjual hasil panen di pasar Alok  karena minder dan takut dilihat teman dan keluarganya. Sayur sawi 6 karung diletakan di tanah dan dirinya duduk beberapa meter dari lokasi sayur diletakkan.

“Saya malu dan minder takutnya ada teman atau saudara yang melihat saya berjualan di pasar dan mengetahui saya jadi petani. Setelah beberapa kali,s aya menikmati karena bisa memegang uang dalam jumlah banyak,” tuturnya tergelak

menarik dibaca : Sukses Kembangkan Sorgum di NTT, Maria Akui Jatuh Cinta pada Rasa Pertama

 

Seorang petani sedang memanen tomat di kebun sayuran bersama milik Kelompok Tani Sinar Bahagia di Desa Nitakloang Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Berkat Sekolah Lapang

Eus mengaku pendampingan dari Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Nita turut andil membuat petani bersemangat menanam holtikultura. Petani pun memahami bagaimana sistem pertanian budidaya modern.

Kepala Desa Koting B Kecamatan Koting Fransiskus Yamance Wolo saat ditemui Mongabay Indonesia, Senin (20/4/2020) mengatakan terinspirasi setelah melihat kesuksesan petani holtikultura di wilayah lain.

Dia berpikir harus ada kesibukan bagi petani di musim panas setelah panen yang selama ini lahan dibiarkan kosong. Meski tanahnya subur, tetapi hanya jagung dan singkong saja setahun sekali saat musim hujan

Untuk itu, dia menggandeng BPP Koting dan mengadakan Sekolah Lapang (SL). “Semoga dengan banyaknya warga yang mulai menanam lombok dan tomat, masyarakat ikut menanam holtikultura,” harapnya.

Sejak Agutus sampai November tahun 2019, jelas Yamance, dilaksanakan SL yang diikuti 25 orang tapi yang aktif hanya 20 orang. Petani sekaligus praktek dan ada kebun praktiknya hingga diajari pembuatan pupuk bokasi.

Dalam SL, petani diajari tanam tomat, lombok dan sayuran. Setelah itu ada satu kelompok tani lagi yang tertarik ikut SL pada akhir bulan Maret.

“Saya membuat sekolah lapang dengan modal Rp40 juta di bulan Agustus dan bulan Oktober hingga November sudah panen tomat. Hasilnya lumayan sehingga selepas SL satu orang petani yang ikut pelatihan bisa dapat uang Rp3 juta,” terangnya.

perlu dibaca : COVID-19 Berdampak pada Petani dan Ketahanan Pangan di NTT. Apa Solusinya?

 

Pengurus Kelompok Tani Sinar Bahagia di Desa Nitakloang, Kecamatan Nita,Kabupaten Sikka, NTT sedang memasukan tomat yang baru dipanen untuk dijual kepada pembeli. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

 

Pembelajaran Androgogik

 Kepala BPP Kecamatan Nita, Manserius Menga (53) kepada Mongabay Indonesia, Senin (20/4/2020) mengatakan SL penting mengubah mindset petani. Manse sapaannya mengatakan meski sudah berkelompok, petani yang ikut SL masih sangat terbatas. Selain itu, para penyuluh di Kabupaten Sikka sedikit mendapat intensif dari pemerintah sehingga terbatas turun ke lapangan.

Manse sepakat pelaksaan SL dialokasikan dari dana desa sebab pihaknya hampir tidak ada anggarannya. Agar efektif, setiap SL diikuti 15 – 20 orang petani saja.

“Kalau petani bergabung dalam kelompok tani masih bagus karena kunjungan penyuluh pertanian terjadwal. Yang jadi soal petani yang tidak bergabung di kelompok,” sebutnya.

Manse melihat kemauan petani untuk mencari inovasi masih sangat rendah. Hal itu menjadi tantangan karena penyuluh tidak bisa mengajari petani secara individu.

Selain itu, SDM petani minim sehingga perlu mengubah mindset  petani dari kebiasaan lama beralih menjadi petani sukses. “Bertani bukan hanya sekedar untuk makan saja saat ini. Makanya perlu merubah mindset petani dan pendekatannya melalui sekolah lapang dan petani kunci,” terangnya.

Semua petani peserta SL diharapkan menjadi petani kunci yang akan menularkan inovasi yang bisa meningkatkan produktivitas pertanian. “Kami di SL mengajarkan juga Analisis Kelayakan Usaha (AKU) sehingga petani kerja tidak ragu dan bisa menghitung berapa untung yang didapat. Kami menerapkan pola pembelajaran androgogik. Penyuluh datang memfasilitasi, melengkapi yang masih kurang, bukan menggurui,” pungkasnya.

 

Exit mobile version