Memilih profesi sebagai petani bukan merupakan sebuah keterpaksaan atau nasib. Menjadi petani merupakan sebuah pilihan profesi dan jika ditekuni bisa memberikan kesejahteraan. Setidaknya ini moto hidup yang dipercayai oleh Ignasius Leta Odja atau Sius (52 tahun). Petani dari desa Waturaka, Kecamatan Kelimutu, Ende, yang meski difabel tapi mampu mengembangkan pertanian organik.
Menurut Sius, yang berperawakan sedang langsing ini, masih banyak lahan yang belum digarap di Flores. Asalkan ada kemauan dan dampingan dari dinas maupun LSM, maka hasil yang baik dapat diraih.
“Kalau petani mau berusaha pasti bisa hidup makmur. Apalagi pariwisata di Flores mulai bergeliat sehingga peluang pertanian semakin besar. Petani jangan pernah malu untuk belajar dari pengalaman petani lain yang sukses,” tuturnya saat dijumpai Mongabay akhir Juni lalu di rumahnya, yang sekaligus dijadikan home stay wisata.
Sius memang bukan sosok petani biasa. Sejak belajar ilmu pertanian di Boawae, Nagekeo, atas fasilitasi dari Keuskupan Agung Ende pada tahun 1990, dia mulai menjadi petani pionir hortikultura dengan menanam berbagai sayuran seperti sawi, buncis, tomat, cabe, seledri hingga buah-buahan seperti stroberi, buah naga hingga jeruk.
Tanaman sayuran ini dirotasi setelah panen padi, sehingga pendapatan yang diperoleh oleh petani dapat meningkat.
Sejak tahun 2013, Sius mulai mengembangkan pertanian organik. Awalnya banyak yang meragukan apa yang dilakukan Sius. Apalagi bentuk tanaman yang dihasilkan oleh Sius ukurannya lebih kecil, dan tidak laku saat dijual ke pasar.
Sius pun tidak putus asa, dia lalu mulai mencari pasar sendiri. Dia memberi penjelasan kepada pembeli bahwa meski tomat dan sayuran yang dia jual kecil dan berlubang namun lebih baik bagi kesehatan.
“Kalau hama saja tidak mau makan sayur [yang disemprot zat kimia], masa manusia mau makan, jelas-jelas itu racun. Berarti kita tidak mau hidup sehat, Akhirnya banyak yang membeli sayuran kami,” ujar Sius menjelaskan kiat menjual produk sayuran organiknya.
Hingga kini dirinya tetap bertahan dengan tanaman organik. Dalam sebulan, Sius memperoleh pendapatan antara 8-9 juta rupiah dari menjual sayur, tomat dan stroberi. Khusus stroberi, dia mengembangkan tiga ribu bibit stroberi di kebunnya.
“Saya ingin mengembangkan stroberi. Potensinya sangat besar karena belum ada yang kembangkan di Flores,” paparnya.
Menjadi Teladan
Buah kerja keras Sius rupanya terpantau dan mendapat apresiasi pemerintah. Tahun 2009 ayah empat orang anak ini terpilih menjadi petani teladan tingkat Kabupaten Ende. Tahun 2011 dia terpilih menjadi petani sukses provinsi NTT, dan 2015 meraih predikat petani teladan tingkat nasional.
Satu yang dia tak lupakan adalah ketika diundang makan malam bersama Presiden Jokowi di Jakarta. Momen yang paling berkesan adalah ketika Presiden memberikannya baki berisi bendera merah putih.
“Saya tidak pernah bermimpi menjadi orang yang terkenal dan mendapat penghargaan. Mungkin ini balasan Tuhan pada saya,” ungkapnya.
Kesuksesan bagi Sius memang tidak datang dengan sendirinya, namun dilakukan tanpa kenal lelah. Apalagi untuk orang yang berkekurangan fisik seperti dirinya.
Saat itu Sius masih bersekolah di kelas lima sekolah dasar, dia sedang bekerja di penggilingan padi. Saat itu dirinya mengangkat karung beras yang terlalu berat, lalu terdengar bunyi di bagian pinggang yang disebabkan bergesernya tulang pinggang. Meski sempat dibawa ke RS Ende, kesehatannya semakin parah hingga mengalami kelumpuhan di kedua kaki.
Selama dua tahun, Sius berbaring di tempat tidur, setelah itu baru dia belajar berjalan memakai tongkat. Hingga akhirnya dapat berjalan kembali, meski tidak bisa normal seperti sediakala. Saat itu, meski kedua orangtuanya mencoba menyekolahkannya kembali, Sius merasa kondisi tidak memungkinkan. Dia memutuskan berhenti sekolah dan turut membantu orangtuanya bertani.
Meski telah dianggap berhasil, Sius tidak pelit berbagi ilmu. Dia selalu berpikir positif. Baginya ilmu harus dibagikan kepada orang lain. Saat ini, Sius sering diundang menjadi pelatih di beberapa kabupaten di Flores seperti Ende, Sikka, Ngada, Nagakeo, Manggarai, bahkan hingga pulau Sumba.
Dia mengajari petani dari mulai pengolahan tanah, penanaman, pemberian pupuk, perawatan tanaman hingga pasca panen. Ilmu pun dia bagikan hingga para petani itu berhasil.
“Saya hanya ingin berbagi ilmu yang saya dapat saja, tidak meminta imbalan,” tuturnya perlahan.
Saat ini, Sius masih berobsesi agar desanya Waturaka dapat menjadi desa percontohan untuk pelatihan petani swadaya. Khususnya, agar orang-orang muda tidak lagi merantau ke tempat jauh, tapi bisa bekerja di kampung menjadi petani yang berhasil.
“Tahun 2006 rumah petani di desa Waturaka masih berdinding bambu dan beratap ilalang, namun saat ini sudah banyak yang berdidinding tembok dan memiliki mobil pick up untuk menjual hasil pertaniannya,” ujarnya.
Sebagai koordinator, Sius membagi kelompok tani di desa Waturaka dengan membuat jadwal tanam sayur dan melakukan rotasi agar semua petani dapat menanam komoditi lain. Rotasi dilakukan tiap tiga bulan yang diikuti diskusi kelompok rutin setiap bulannya.
Aloysius Jira Loi (57) kepala desa Waturaka kepada Mongabay mengatakan, Sius merupakan sosok petani yang pantang menyerah. Sius selalu membagi ilmu yang didapat dan memberikan nilai tambah bagi petani. Sius pun selalu mencari terobosan agar petani bisa hidup sejahtera.
“Dirinya bisa menjadi contoh bagi petani lain dan menjadi motor penggerak kegiatan di desa. Konsep Agro Wisata yang dikembangkan juga membuat wisatawan tertarik,” ujar Loi.