Mongabay.co.id

PT. Kallista Alam Tetap Melawan, RAN: Perusahaan Masih Beroperasi di Rawa Tripa

PT. Kallista Alam tetap didenda Rp366 miliar atas kejahatan lingkungan yang dilakukannya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Kallista Alam telah divonis bersalah oleh pengadilan karena membakar hutan gambut Rawa Tripa di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Perusahaan ini diharuskan membayar ganti rugi dan biaya pemulihan lahan yang jumlahnya mencapai Rp366 miliar.

Vonis tersebut tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 12/Pdt.G/2012/PN.Mbo jo Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 50/PDT/2014/PT.BNA jo Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor 651 K/PDT/2015 jo Putusan Peninjauan Kembali Nomor 1PK/PDT/2015 tanggal 18 April 2017.

Namun, PT. Kallista Alam enggan memenuhi putusan hukum itu, meski Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, telah mengeluarkan penetapan lelang lahan yang pelaksanaannya didelegasikan ke Ketua PN Suka Makmue, Kabupaten Nagan Raya. Proses eksekusi itu berupa pelelangan sebidang tanah, bangunan, dan tanaman di atasnya seluas 5.769 hektar.

Baca: Tidak Terima Putusan Pengadilan, PT Kallista Alam Balik Gugat Pemerintah

 

PT. Kallista Alam didenda Rp366 miliar atas kejahatan lingkungan yang dilakukannya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pada 26 Juli 2017, PT. Kallista Alam balik menggugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], Pemerintah Indonesia, Cq, Kementerian Agraria/Tata Ruang/Kepala BPN, Cq, Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh, serta Ketua Koperasi Bina Usaha Kita.

Dalam gugatannya, perusahaan ini menyebut, koordinat gugatan perdata yang dicantumkan KLHK dan juga dalam putusan hukum pengadilan tidak sesuai dengan kenyataan lapangan, atau error in objekto. Perusahaan ini juga menggugat adanya pihak ketiga atau Koperasi Bina Usaha Kita di lahan 1.605 hektar yang telah dicabut izinnya oleh Gubernur Aceh.

Pengadilan Negeri Meulaboh mengabulkan gugatan tersebut, namun Pengadilan Tinggi Banda Aceh kembali dalam perkara dengan Nomor: 80/PDT-LH/2018/PT.BNA, 4 Oktober 2018, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor: 16/Pdt.6/2017/PN.Mbo, terkait gugatan PT. Kallista Alam yang bebas dari segala tuntutan hukum.

Baca: Putusan Pengadilan Dieksekusi, Aset PT. Kallista Alam akan Dilelang

 

Inilah kebun Sawit PT. Kallista Alam, meski dinyatakan bersalah Pengadilan Negeri Meulaboh karena membakar hutan gambut Rawa Tripa namun perusahaan ini terus melawan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

PT. Kallista Alam belum menerima kekalahan ini, mereka kembali melakukan perlawanan. Gugatan eksekusi telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Suka Makmue, Kabupaten Nagan raya dengan Nomor: 6/Pdt.Bth/2019/PN.Skm, Senin, 22 Juli 2019.

Dalam pokok perkara, PT. Kallista Alam yang diwakili penasehat hukum dari Duta Keadilan, meminta Pengadilan Suka Makmue menyatakan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh tanggal 22 Januari 2019 tentang Eksekusi Putusan No: 12/Pdt.G /2012/PN-MBO Jo. No. 50/PDT/2014/PT.BNA Jo. No. 651 K/Pdt/2015 jo No. 1 PK/PDT/2017 tidak mempunyai kekuatan hukum. Serta menyatakan pula, dengan segala akibat hukumnya, PT. Kallista Alam tidak bertanggung jawab atas kebakaran lahan.

“Dalam aturan hukum, pihak yang dikalahkan harus dipanggil secara patut untuk diberikan peringatan menjalankan putusan, dan dengan tegas disebutkan, penetapan menjalankan putusan ditentukan setelah delapan hari pemanggilan. Tapi, PT. Kallista Alam maupun kuasa hukumnya tidak pernah menerima panggilan sah dan patut sehingga tidak pernah menerima peringatan,” terang kuasa hukum perusahaan yang diwakili Sri Yuni Hartati, dalam gugatannya.

Menanggapi perlawanan tersebut, pegiat lingkungan dari Gerakan Masyarakat Aceh Menggugat, Fahmi menilai, seharusnya eksekusi terhadap PT. Kallista Alam dilakukan. Alasannya, semua upaya hukum telah dilakukan dan perusahaan divonis bersalah.

“Mereka telah selesai dalam upaya mencari keadilan. Sudah tidak ada lagi hukum lanjutan,” uajr Fahmi, baru-baru ini, yang menerangkan tahap persidangan sudah mencapai proses pembuktian surat.

Pada 23 September 2019, tim dari KLHK didampingi kepolisian dari Polres Nagan Raya masuk perkebunan PT. Kalista Alam untuk melakukan Peninjauan Penilaian Aset [Apraisal] guna pelaksanaan eksekusi lelang.

Namun, tim tidak bisa masuk perkebunan karena tidak diberikan izin oleh perwakilan PT. Kalista Alam. Kuasan hukum perusahaan tersebut beralasan sengketa KLHK dengan PT. Kalista Alam masih proses hukum.

Baca: Kasus Pembakar Rawa Tripa, PT. Kallista Alam Terus Melawan

 

Rawa Tripa yang dibakar oleh PT. Kallista Alam. Foto: Paul Hilton/SOCP/YEL

 

Temuan RAN

Selain melakukan perlawanan proses hukum, PT. Kallista Alam juga tetap beroperasi. Hasil investigasi Rainforest Action Network [RAN] menunjukkan, perusahaan ini memasok minyak kelapa sawit produksi mereka ke Nestlé dan Mars.

Gemma Tillack, Direktur Kebijakan Hutan RAN, pada 15 Juni 2020 mengatakan, tim investigasi RAN menemukan PT. Kallista Alam terus memanen tandan buah segar yang ada di kebunnya. Perusahaan ini juga aktif menjual minyak sawit mentahnya ke kilang minyak Permata Hijau di Belawan, Sumatera Utara, yang diketahui memasok minyak sawitnya ke merek-merek global.

Permata Hijau memiliki perusahaan cabang di Singapura bernama Virgoz Oil and Fats, menjadi satu di antara sepuluh perusahaan pengolah dan pedagang minyak sawit terbesar di Indonesia yang memasok ke pasar dunia. Termasuk Amerika, India, China, Bangladesh, Pakistan, dan Rusia.

“Harusnya Permata Hijau memiliki komitmen berarti melindungi Kawasan Ekosistem Leuser. Sistem pemantauan dan kepatuhan untuk memastikan tidak menerima minyak sawit dari perusahaan yang menghancurkan hutan hujan dataran rendah dan lahan gambut Leuser harus diterapkan,” terangnya.

Gemma menambahkan, kebijakan dan kode etik pemasok menyatakan bahwa setiap perusahaan mewajibkan pemasoknya mematuhi praktik Nol Deforestasi, Nol Gambut, dan Nol Eksploitasi.

“Penyelidikan RAN menemukan, mereka terus memproses dan menjual minyak sawit bermasalah yang diproduksi PT. Kallista Alam,” urainya.

Gemma menyatakan, pihaknya telah meminta pihak Nestlé dan Mars melindungi lahan gambut Aceh di Kawasan Ekosistem Leuser dari minyak sawit bermasalah.

“RAN menyerukan agar merek-merek besar dan pedagang minyak sawit mendukung upaya Pemerintah Indonesia menegakkan sanksi PT. Kallista Alam agar segera membayar denda karena membakar lahan gambut secara ilegal,” tuturnya.

 

Peta tutupan hutan Rawa Tripa hingga September 2018. Sumber: HAkA

 

Permata Hijau Group dalam situs resminya, menanggapi temuan RAN itu. Dalam pernyataannya, Permata Hijau mengakui telah membeli CPO dari PT. Kalista Alam.

“Kami telah melakukan tinjauan internal menyeluruh terhadap daftar pemasok dan menemukan, kami membeli CPO dari PT. Kallista Alam pada semester kedua tahun 2019. Berlanjutnya pembelian CPO dari PT. Kallista Alam dan kegagalan untuk memasukkannya dalam daftar kami adalah pengawasan yang tidak menguntungkan dan tidak dapat diterima. Seharusnya tidak terjadi sejak awal dan kami sangat menyesal,” terang pihak Permata Hijau.

Permata Hijau menyebutkan, kejadian tersebut merupakan penghinaan terhadap visi dan nilai-nilai yang selama ini mereka pegang. Dipastikan, kejadian tersebut tidak terjadi lagi.

Permata Hijau mengaku, mereka telah menghentikan semua hubungan komersial dengan PT. Kallista Alam pada 10 Juni 2020. Selain itu, Permata Hijau juga akan menyelidiki kenapa hal tersebut terjadi dan memastikan tidak terulang di masa mendatang.

“Kami akan meninjau keseluruhan daftar pemasok, memastikan transparansi penuh sehingga kami tidak memiliki hubungan komersial dengan perusahaan bermasalah,” jelas Permata Hijau.

 

 

Exit mobile version