Mongabay.co.id

Terasi Toboali Bergantung pada Kelestarian Laut Bangka

 

 

Pagi itu Saiful Bahari [63] mendorong sungkurnya [alat tangkap udang], menyusuri garis pantai Batu Perahu, Kelurahan Tanjung Ketapang, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung.

Hingga siang, tidak banyak udang didapat lelaki yang sudah 40 tahun berprofesi sebagai pembuat terasi. Udang merupakan bahan baku utama “belacan” sebagaimana orang Bangka menyebut.

“Tidak sampai satu kilogram, tapi lumayan, bisa buat terasi lima hingga tujuh ons. Heran juga, sudah masuk musim angin tenggara, yang biasanya banyak udang, sekarang malah sedikit,” tuturnya kepada Mongabay Indonesia, Senin [22/6/2020].

Saiful bergegas pulang ke rumahnya di Dusun Air Aceng, sekitar satu kilometer dari bibir pantai, saat melihat awan mulai gelap. Begitu tiba, di segera menjemur udang gerancet, di halaman belakang rumahnya.

Udang dijemur hingga kering, lalu ditumbuk sampai halus. “Biasanya, penumbukan dua kali, hingga halus. Dijemur lagi, kemudian dijual sebagai terasi,” kata Saiful.

Ada empat jenis udang yang sering digunakan Saiful: kampat, mayang, bubuk, dan gerancet.

“Yang paling bagus itu kampat, udangnya bersih dan lembut. Tetapi musimnya tidak menentu, kalau beruntung saya bisa dapat dua hingga tiga karung,” urainya.

Baca: Sungai di Bangka Rusak Akibat Tambang Timah dan Sedimentasi

 

Saiful Bahari mendorong sungkur di pinggiran pantai Batu Perahu, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Jaga kualitas

Asian, istri Saiful, yang membantu suaminya mengatakan, “Dua tahun lalu, kami mendapatkan banyak udang, kisaran 3-4 karung [20-30 kilogram] sehari. Saya sempat sakit karena kelelahan. Beda dengan sekarang, musim tidak menentu, sehari hanya bisa dapat lima hingga tujuh ons terasi,” katanya.

Meskipun udang mulai sulit, Saiful tetap memproduksi terasi, sekitar 30 hingga 50 kilogram sebulan. Terasi buatan Saiful terkenal, sehingga banyak pelanggan.

“Saya berkomitmen menjaga kualitas, udangnya harus bersih. Tidak dicampur ikan atau bahan lainnya,” lanjutnya.

Baca: Saat Air Kolong Jadi Andalan Masyarakat Bangka

 

Saiful menunjukkan hasil tangkapan udangnya di sekitar pantai Batu Perahu, Toboali, Kabupaten Bangka Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Saiful membandrol produknya seharga Rp80 ribu per kilogram, bila berbahan udang kampat. Untuk terasi dari udang jenis lain kisarannya Rp60-70 ribu per kilogram. “Tetapi, jika niat pembeli itu untuk dijual lagi, biasanya harganya saya kurangi lima atau sepuluh ribu Rupiah dari harga normal,” jelasnya.

Selain Tanjung Ketapang, sentra terasi di Toboali adalah Desa Bukit dan Desa Padang. Wisatawan yang datang bahkan menjadikan terasi ini sebagai oleh-oleh.

“Terasi dari Toboali memiliki aroma khas udang, bahan utamanya tanpa campuran. Warnanya tidak gelap, jadi orang tertarik,” kata Buce, distributor terasi di Toboali kepada Mongabay Indonesia.

Baca juga: Sampah yang Merusak Pesona Pantai Bangka

 

Saiful menjemur udang gerancet yang ia dapat setelah menyungkur. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tambang timah laut

Pada 2015, aktivitas tambang timah laut sempat marak di sekitar pantai Batu Perahu. Jaraknya sekitar 200 meter dari bibir pantai. “Dampaknya, pendapatan kami berkurang. Udang kampat yang biasa menepi tidak kunjung datang, terganggu suara mesin yang beroperasi,” kata Saiful.

Agustus 2015, nelayan yang marah membakar sejumlah tambang timah apung itu. Sebelum aksi dilakukan, mereka telah melakukan pertemuan dengan Kepolisian dan kelurahan guna mencari solusi permasalahan.

“Namun, sampai batas waktu yang ditentukan tidak ada upaya hukum, akhirnya pembakaran terjadi,” kata Kodi Midarhi, nelayan Pantai Batu Perahu, seperti dikutip Bangka Pos, Jumat [28/8/2015].

Sejak saat itu hingga sekarang, tidak ada lagi kegiatan tambang di sepanjang pantai. Kelompok nelayan Batu Perahu pun berkomitmen menjaga laut mereka dari kehadiran tambang timah apung.

“Tidak ada tambang saja susah, apalagi ada, bisa-bisa kami mati kelaparan. Semua nelayan di sini berkomitmen menjaga kelestarian laut,” tutur Jamil, anggota kelompok nelayan Batu Perahu.

“Kalau ada tambang, kami tidak bisa nyungkur dan pastinya akan sulit buat terasi,” kata Rudi, anggota kelompok nelayan lainnya.

 

Proses pencetakan terasi sebelum dipasarkan di Desa Tanjung Ketapang, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ekosistem laut Bangka-Belitung rusak

Dr. Arief Febrianto, Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepualauan Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia mengatakan, laut di Bangka, dari jarak nol – dua mil dari bibir pantai, mengalami kerusakan ekosistem. Salah satunya, akibat aktivitas pertambangan.

“Sudah banyak penelitiannya. Sudah selayaknya, pertambangan timah dikelola, terlebih yang ilegal. Pertambangan dibolehkan di laut, asal sesuai peraturan. Kerusakan ekosistem di laut mayoritas disebabkan pertambangan ilegal selain penggunaan alat tangkap seperti trawl, di Bangka Selatan,” katanya, Rabu [08/7/2020].

 

Terasi yang sudah dikemas, siap dijual. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Arief mengatakan, Kepulauan Bangka Belitung masuk wilayah pengelolaan perikanan [WPP] 711. “Berkaitan kelestarian laut, ketersediaan stok ikan pun harus dijaga secara berkelanjutan atau sustainable. Skemanya, ada pengaturan kuota tangkap yang dilakukan bersama perizinan,” katanya.

Ada tiga potensi besar yang perlu dikembangkan di laut Kepulauan Bangka Belitung untuk meningkatkan perekonomian: perikanan, pariwisata, dan pertambangan.

“Tiga sektor tersebut perlu dikelola dengan baik agar tidak overlaping kepentingan, sehingga menimbulkan gejolak di masyarakat. Bidang perikanan, opsi budidaya ikan kerapu dan lobster layak dicoba, karena penangkapan ikan tidak bisa kita lakukan berlebihan. Ikan bisa habis dan ekosistem bakal terganggu,” tegas Arief.

 

 

Exit mobile version