Mongabay.co.id

Iligai, Kampung di Tengah Hutan yang Sulit Air Bersih  

 

Kampung Iligai masuk dalam kawasan Hutan Produksi Iligai di Kecamatan Nelle, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Untuk sampai ke Kampung Iligai harus melewati hutan yang terdapat puluhan pohon Ampupu (Eucalyptus urophylla) berusia puluhan tahun.

Kampung Iligai masuk dalam kawasan Hutan Produksi Iligai seluas 1.226,20 hektare meliputi kecamatan Lela, Koting, Nelle, Alok Timur, Kangae dan Bola. Sedangkan  Hutan Produksi Mbotulena Kaliwenda seluas 670 hektare melingkupi kecamatan paga dan Tanawawo. Total luas hutan produksi, 1.896,2 hektare terbentang di 8 kecamatan.

“Sejak dahulu sudah ada yang membangun rumah dan menetap di dalam hutan,” sebut Wendelimus, Ketua RT 01 RW 01 Dusun Todang, Desa Hokor Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, NTT kepada Mongabay Indonesia, Sabtu (20/6/2020) di rumahnya di dalam hutan.

Saat ini, terdapat 31 Kepala Keluarga (KK) tinggal di dalam kawasan hutan. Sisanya 10 KK di dusun Todang tinggal di Kampung Todang di bagian lembah sebelah timur kawasan hutan. Total penduduk 120 jiwa.

“Sejak terjadi gempa dan tsunami Flores tahun 1992, warga yang tinggal di Kampung Todang di bagian lembah, banyak yang bangun rumah dan memilih menetap di dalam hutan,” tuturnya.

baca : Pelibatan Masyarakat Adat Penting Dalam Kelola Hutan, Kenapa?

 

Jalan menuju Kampung Iligai Dusun Todang, Desa Hokor, Kabupaten Sikka, NTT yang berada di dalam kawasan hutan produksi Iligai. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Bertani Tradisional

Warga Kampung Iligai hidup dari bertani. Kampung dengan ketinggian ± 1.000 mdpl ini dikelilingi perbukitan. Terdapat 33 rumah tidak layak huni di dusun Todang. Hasil perkebunan seperti kakao, kopi, pala dan cengkeh jadi komoditi andalan. Mereka juga menjual talas, singkong serta sayur labu siam.

“Semua tanaman ini tanpa menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Tanah disini subur dan lembab karena selalu berkabut,” sebut Wendelimus.

Martius Masa, warga Todang bertutur setiap hari Senin malam, sekitar pukul 22. 00 WITA, warga harus berjalan kaki membelah hutan, mendaki bukit dan menuruni lembah.

Tiba di Nelle Wutung, desa di sebelah barat dusun ini sekitar jam 01.00 WITA. Setelah mobil jemputan tiba, mereka semua pun dibawa ke Pasar Alok Maumere sebab Selasa merupakan hari pasar mingguan.

“Kami membawa sayuran dan hasil perkebunan untuk dijual pagi harinya. Uang yang didapat kami beli sembako untuk kebutuhan hidup sehari-hari di dalam kawasan hutan,” ungkapnya.

Semenjak merebak pandemi Corona, pasar Alok pun sepi. Warga Todang  kian sulit. Bila stok beras habis, mereka  terpaksa mengkonsumsi jagung, singkong dan talas guna bertahan hidup.

Warga Kampung Todang dan Iligai mengetahui tentang Corona dan COVID-19 dari baliho besar yang dipasang di kampong mereka. Nomor telepon genggam kepala desa Hokor yang tercantum di baliho tidak aktif saat dihubungi.

“Petugas kesehatan pernah sekali datang ke sini sosialisasi tentang COVID-19. Tentara TNI AD, sering datang dan berbicara mengenai penyakit ini. Kami juga dibagikan masker tapi cuma 10 lembar dan lainnya beli sendiri. Kalau ke Kota Maumere baru kami pakai masker,” tutur Wendelimus.

Saat ditemui usai pemilihan Ketua Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) Desa Hokor, hampir semua warga Dusun Todang tidak menggunakan masker. Warga terlihat duduk berkumpul dan bercengkerama tanpa menjaga jarak.

baca juga : Hidup dalam Kemiskinan, Kampung ini Berada dalam Kawasan Hutan Lindung Egon Ilimedo

 

Warga Kampung Iligai yang tinggal di dalam kawasan hutan sedang berjalan ke lembah di Kampung Todang guna mengambil air hujan di bak penampung untuk dikonsumsi. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Sulit Air Bersih

Meski menetap di dalam kawasan hutan, warga Kampung Iligai ternyata kesulitan air bersih. Tidak ada jaringan pipa air. Hujan ibarat berkat yang selalu dinanti. Air hujan ditampung untuk dikonsumi saban hari.

Hampir setiap rumah terdapat bak air berukuran besar terbuat dari semen. Ini alasan utama warga mengganti atap rumah mereka dengan seng. Air hujan dari dari atap,dialirkan dengan bilah bambu ke dalam bak air.

“Tahun lalu ada bantuan 5 bak air bagi kami dari desa tetapi hanya dikerjakan 2 bak air saja. Warga tidak sanggup memikul semen, pasir dan batu bata dari desa Nelle Wutung di Repilka Kota Betlehem,” terang Wendelimus.

Saat musim kemarau, persedian air bersih menipis. Warga Iligai, kata Agnes Nona Eta Mbaru, terpaksa berjalan kaki ke Kampung Todang sejauh sekitar 2 km di lembah. Jeriken plastik ukuran 5 liter ditenteng di kedua tangan.

Terkadang kata Agnes, warga memesan air dari keluarga mereka yang mengantar menggunakan sepeda motor ke Desa Nelle Wutung. Mereka akan berjalan menuruni bukit untuk mengambilnya.

“Kadang kala usai menjual hasil pertanian di pasar, pulangnya kami membeli air bersih. Ukuran jeriken 5 liter seharga Rp.2 ribu sementara 10 liter Rp.5 ribu. Paling air tersebut hanya untuk memasak dan mencuci piring saja,” ucapnya.

Semua rumah di Kampung Iligai menggunakan penerangan panel surya (solar cell) yang diperoleh dari bantuan Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Provinsi NTT tahun 2015. Agnes mengatakan panel surya ini dibantu setelah pejabat kantor tersebut mengunjungi kampung ini.

“Satu rumah ada 3 atau 4 bola lampu. Sampai sekarang masih berfungsi dengan baik. Disini sinyal telepon genggam bisa ditangkap sehingga komunikasi lebih mudah tapi kami hanya minta pemerintah bangun jalan,” ucapnya.

perlu dibaca : Miris, Puluhan Tahun Tiap Kemarau Warga Desa Ini Potong Akar Pohon untuk Dapat Air

 

Rumah sederhana warga Kampung Iligai yang berada di dalam kawasan hutan produksi. Semuanya menggunakan panel surya sebagai penerangan di malam hari dan mengisi daya batare ponsel. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Harus Ada Izin

Kepala Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelola Hutan (UPT KPH) Kabupaten Sikka, Herry Siswadi kepada Mongabay Indonesia, Senin (22/6/2020) menjelaskan, sesuai ketentuan masyarakat tidak diperbolehkan tinggal di dalam kawasan hutan

Tetapi kata Herry, pihaknya melihat masyarakat sudah turun temurun menetap di dalam kawasan hutan. Namun kata dia, syaratnya masyarakat harus mengakui keberadaan kawasan hutan.

“Tanah yang ditempati harus diakui bukan milik mereka. Warga juga wajib menjaga kelestarian hutan  dan untuk legalitas terkait pengelolaannya harus diproses melalui izin perhutanan sosial,” jelasnya.

Menurut Herry, tahun 2015 izin perhutanan sosial di Dusun Todang, Desa Hokor sudah diproses tetapi tidak berlanjut. Saat itu kendalanya karena terjadi pengalihan kewenangan pengelolaan hutan dari kabupaten ke provinsi sehingga disampaikan untuk diproses ulang.

Mereka sedang memfasilitasi hutan produksi Iligai melalui skema perhutanan social untuk beberapa desa dan Desa Hokor. Perkampungan Iligai dan Todang jelas Herry, sudah diusulkan juga melalui Tanah Obyek Reformasi Agraria (TORA) sesuai Perpes No.88/2018 tentang Penguasaan Tanah di dalam Kawasan Hutan.

Terkait pembangunan jalan dirinya katakan bisa dilakukan tetapi melalui prosedur permohonan pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan diluar kehutanan. Setelah izin keluar tuturnya, jalan aspal pun bisa dibangun hingga ke kawasan hutan.

Hutan produksi Iligai ditumbuhi pohon johar, suren, ampupu, cendana dan kemiri. Kondisi hutan pun masih bagus. Ada satu mata air sebelah selatan Kampung Iligai tetapi airnya mengalir menuju ke pantai selatan.

“Kalau hutan produksi, masyarakat diperbolehkan memanfaatkan hasil kayu dari penanaman yang dilakukan warga. Semenetara hutan lindung,pohon yang ditanam dilarang untuk ditebang,” pungkasnya.

 

Exit mobile version