Mongabay.co.id

Ecocide, dan Amandemen UU Pengadilan HAM

Dua spanduk gugatan warga dibentangkan di atas tanggul lumpur menandai peringatan 12 Tahun Tragedi Sempuran Lumpur Lapindo. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

 

Undang-undang 26 Tahun 2000 (UU 26/2000) tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Kejahatan berat HAM diatur dalam ini terdiri dari kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dan genosida (genocide).

Kejahatan pidana Internasional dalam Statuta Roma terdiri dari kejahatan perang (war crimes), kejahatan agresi (crime of aggression), genosida (genocide), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime agains humanity).

 

Perluasan genosida

Pada 1973, Richard A. Falk, professor dari Princeton University mendapat mandat menyusun kajian dan draf konvensi kejahatan lingkungan hidup dan pemusnahan ekologi sebagai perluasan dari Konvensi Genocide karena aktivitas destruktif seperti perang atau aktivitas ekonomi negara, Iinstitusi privat (korporasi) dan kelompok organisasi.

Draf konvensi selesai disusun dan diajukan ke Komisi Hukum Internasional (international law commission) PBB pada tahun sama. Draf konvensi itu berjudul Environmental Warfare and Ecocide: Fact, Apprasial and Proposal, terdiri dari sembilan pasal dan dua protokol lampiran. Draf konvensi ini kemudian dikenal sebagai Konvensi Ecocide.

Konvensi Ecocide untuk melindungi bumi dan semua spesies untuk melawan tindakan perusakan lingkungan dan pemusnahan ekologis. Seperti kejahatan genosida, darf konvensi kejahatan ecocide tidak dapat berjalan dengan mulus, banyak negara anggota, termasuk para akademisi dan korporasi yang resisten terhadap kehadiran draf itu.

Meskipun tak pernah diadopsi, belakangan jadi pertimbangan oleh Sub-Komisi tentang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kelompok Minoritas ketika mempersiapkan studi untuk Komisi Hak Asasi Manusia PBB mengenai keefektifan Konvensi Genocide.

Sub-komisi diminta mempertimbangkan penambahan ecocide dan memperkenalkan kembali budaya genosida (culture genocide) ke dalam perluasan Konvensi Genocide.

Pelapor Khusus Mr Nicode`me Ruhashyankiko menyiapkan penelitian dan menyusun draf tambahan, hasilnya terbit pada 1978. Banyak anggota sub-komisi mendukung, bahwa, instrumen tambahan tentang ecocide untuk segera diadopsi.

Bahkan, Komisi Hukum Internasional mengusulkan agar ecocide sebagai kejahatan internasional penting jadi pertimbangan kebutuhan menjaga dan melestarikan lingkungan hidup dan sumber daya alam serta mencegah kolonialisme maupun agresi ekonomi.

Konferensi diplomatik PBB di Roma pada 1998, Statuta Roma disepakati dan terbentuk Mahkamah Pidana Internasional (ICC), tanpa kejahatan ecocide sebagai kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan manusia. Kejahatan ecocide tak disepakati sebagai kejahatan yang berdiri sendiri, sebagaimana empat kejahatan internasional lain.

 

Kondisi kolam penampungan lumpur Lapindo yang terus mengeluarkan lumpur. Foto: Petrus Riski

 

Amandemen Statuta Roma

Program “The Value of Land” yang diprakarsai organisasi Economics of Land Degradation Initiative (ELDI) merilis laporan tentang kerusakan lingkungan yang dialami bumi saat ini.

Kerusakan lingkungan dampak kompotisi dan ekploitasi sejak 2000 telah menyebabkan kehilangan 75% nilai sosial dan ekonomi alam yang sejatinya dapat dimanfaatkan manusia.

Nilai sosial dan ekonomi alam yang hilang itu diperkirakan bisa mencapai Rp1 miliar per satu kilometer persegi. Satu per tiga dari kawasan di bumi kini rentan terhadap kerusakan lingkungan. Lebih parah, satu per tiga Afrika kini terancam berubah jadi gurun tandus.

Untuk mencegah semua itu, April 2011, Polly Higgins memperkenalkan kembali draf proposal tentang kejahatan ecocide ke Komisi Hukum PBB.

Proposal ini didedikasikan untuk mengamandemen Statuta Roma agar memasukkan ecocide sebagai kejahatan kelima terhadap perdamaian umat manusia, sebagaimana telah diusulkan sebelumnya.

Kalau kejahatan ecocide masuk dalam Statuta Roma, maka kasus kejahatan ecocide dapat didengar di Pengadilan Kriminal Internasional dan membuat para perusak lingkungan baik legal maupun ilegal menghentikan rencananya.

Higgins mendefinisikan ecocide sebagai “perusakan yang luas, kerusakan atau hilangnya ekosistem dari suatu wilayah tertentu, baik oleh agen manusia atau sebab lain, sedemikian rupa hingga kenikmatan damai oleh penduduk wilayah itu telah sangat berkurang.”

September 2016, dokumen kebijakan jaksa Mahkamah Pidana Internasional, menyatakan, International Criminal Court (ICC) akan memprioritaskan kejahatan berdampak pada, “perusakan lingkungan hidup (destruction of the environment).”, “ekploitasi terhadap sumber daya alam (exploitation of natural resources)” dan “perampasan tanah secara ilegal (illegal dispossession of land).”

Sekalipun dokumen itu belum memperluas yurisdiksi ICC, melainkan memberi penafsiran atau penilaian atas ecocide.

Peluang untuk terus mendorong kejahatan ecocide juga mendapatkan dukungan politik dari sejumlah negara anggota di kepulauan seperti Vanuatu, Maldif, Fiji dan beberapa dari Amerika Latin.

 

Amandemen UU

Dalam catatan hukum Uni Eropa yang diunggah oleh Environmental Justice Atlas (mapping ecocide), ada 81 aktivitas korporasi dan negara yang masuk katagori kejahatan cultur ecocide, potential ecocide dan ecocide di seluruh dunia.

Di Indonesia ada dua titik, berada di Papua. Dalam catatan hukum Uni Eropa keduanya berstatus potential ecocide.

Kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM makin parah terjadi dalam 20 tahun terakhir. Eksploitasi sumberdaya alam terus berlangsung tanpa memperhatikan norma-norma keadilan lingkungan, konflik struktural, pelanggaran HAM, dan kemiskinan.

Saat ini, Pemerintah Indonesia baru saja mengesahkan UU Minerba dan terus membahas RUU Cipta Kerja, padahal publik jamak berpendapat Undang-undang dan RUU itu merupakan liberalisasi tanah dan sumber daya alam.

Pada Agustus 2012, siding paripurna Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), memutuskan bahwa lumpur Lapindo adalah kejahatan ecocide. Karena memenuhi unsur kategori ecocide yaitu berdampak sangat panjang, luas dan tidak dapat dipulihkan.

Namun kejahatan ini tidak dapat diputus sebagai pelanggran HAM berat berdasarkan UU 26/2000, karena UU ini hanya mengakui dua kejahatan berat HAM dari empat kejahatan yang disebut dalam Statuta Roma.

Komnas HAM kemudian memutuskan, kejahatan Lapindo bisa sebagai kejahatan berat HAM berdasarkan UU kalau kejahatan ecocide telah jadi kejahatan tambahan dalam UU 26/2000.

Langkah yang diambil Komnas HAM saat itu adalah segera mengajukan draf amandemen UU 26/2000 dengan memasukkan ecocide sebagai bagian kejahatan kemanusiaan.

Hingga kini, Komnas HAM belum juga mengajukan draf amandemen itu ke pada DPR. Keadaan ini tentu mengecewakan publik terutama bagi korban lumpur Lapindo. Meskipun demikian, lembaga ini telah meletakkan jejak untuk menyuarakan ecocide sebagai kejahatan untuk ditindaklanjuti secara hukum.

 

Penulis adalah aktivis HAM dan lingkungan hidup, Wakil Ketua Komnas HAM 2007-2012. Juga penulis buku: Ecocide: politik kejahatan lingkungan hidup dan pelanggaran hak asasi manusia. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Tanggul lumpur Lapindo. Tragedi lingkungan dan kemanusiaan yang terjadi di Sidoarjo, hingga kini, belum ada penyelesaian. Foto: Petrus Riski/ Mongabay Indonesia

 

Kabut asap pekat belum juga pergi dari Pekanbaru, Riau…Foto: Nurul Fitria

 

Exit mobile version