Mongabay.co.id

Seratusan Pendeta dan Berbagai Organisasi Masyarakat Tolak RUU Omnibus Law

Penggalian batu gunung dan tanah di areal perbukitan Peukan Bada Aceh Besar. Banjir dan longsor hanya menunggu waktu. Dokumen Yopi Ilhamsyah

 

 

 

 

 

 Dewan Perwakilan Rakyat akan sidang paripurna II dalam 2020 pada 16 Juli 2020. Berbagai kalangan menolak Rancangan Undang-undang Cipta Kerja, yang menyederhanakan beragam aturan (omnibus law) ini masuk pengesahan di sidang ini.

Berbagai kalangan dari organisasi masyarakat sipil, organisasi buruh, organisasi masyarakat adat, organisasi agama seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) serta Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia (Peradah Indonesia) sampai para akademisi sejak awal menolak RUU ini. RUU terus melaju, penolakan makin menguat. Pada Selasa (14/7/20), lebih seratus rohaniwati dan rohaniwan gereja di berbagai daerah membuat pernyataan sikap menolak RUU omnibus law ini. Mereka menilai, RUU ini mengabaikan lingkungan hidup dan keadilan sosial.

Baca juga: RUU Cipta Kerja Bahas Lingkungan dan Kehutanan, Berikut Masukan Para Pakar

Kamis, 16 Juli ini, berbagai organisasi masyarakat sipil pun akan turun aksi menyuarakan, tolak RUU omnibus law dan tak disahkan dalam sidang paripurna.

Kelompok rohaniawan dan rohaniawati ini sepakat, RUU ini akan memberikan dampak buruk kepada masyarakat terutama mereka yang memiliki latar belakang ekonomi sosial seperti buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota dan masyarakat adat, serta mengancam keberlanjutan lingkungan hidup.

Omnibus law RUU Cipta Kerja ini lebih mementingkan kepentingan korporasi daripada kepentingan rakyat dan keselamatan lingkungan hidup, yaitu atas nama investasi,” kata Palti Hatoguan Panjaitan, salah satu pendeta.

Menurut para pemuka agama ini, pemerintah dan DPR sepertinya tidak menghiraukan tuntutan dari kelompok-kelompok masyarakat agar menghentikan pembahasan RUU itu. Sejatinya, kata Palti, dalam sistem politik harus melibatkan partisipasi publik yang adil dan setara.

Baca juga: Was-was ‘Sapu Jagat’ Omnibus Law

Masyarakat Indonesia sedang menghadapi pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) hingga partisipasi publik sulit maksimal.

 

Saat ini ada enam rumah warga hancur akibat longsor di Sanga-sanga. Foto dok Jatam Kaltim-Istimewa

 

Pemerintah, katanya, yang mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial sebagai langkah dan upaya memutus mata rantai penularan COVID-19. “Sangat disayangkan, pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja ini tetap dijadwalkan pada 16 Juli 2020 tanpa mempertimbangkan kondisi yang dihadapi masyarakat,” kata Palti.

Dia menilai, pemerintah tampak memanfaatkan momentum pandemi untuk melakukan tindakan politis tanpa partisipasi publik. Pada 12 Mei 2020, DPR bersama pemerintah telah menyetujui RUU Minerba jadi UU. Padahal, katanya, RUU Minerba itu merugikan masyarakat dan mengancam kelestarian lingkungan dan ekosistem.

Baca juga: Horor RUU Cipta Kerja: dari Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum

Kalau DPR memiliki kehendak politik mengayomi warga negara, seharusnya RUU PKS disahkan sebagai payung hukum bagi korban yang mengalami tindak kekerasan seksual dan sebagai upaya mencegah kekerasan seksual.

“Membahas dan mengesahkan RUU yang menguntungkan korporasi mudah, tapi membahas dan mensahkan RUU untuk kepentingan luas warga negara selalu ada alasan menunda, bahkan mengeluarkan dari daftar prolegnas prioritas.”

Ratusan pendeta ini menyadari masalah RUU Cipta Kerja sangat pelik baik proses pembahasan terutama substansi. Pertama, kata Palti, pembahasan omnibus law tidak demokratis karena tak melibatkan partisipasi publik.

UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndang mewajibkan pemerintah melibatkan partisipasi publik luas dan mudah dalam pembahasan RUU.

“Publik berhak memberi masukan terhadap RUU yang sedang dibahas.”

Kedua, RUU Cipta Kerja berpotensi mengancam keselamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup terutama saat izin lingkungan diganti dengan izin usaha.

Baca juga: Omnibus Law Jangan sampai Perparah Krisis Iklim

Padahal, katanya, berdasarkan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), izin lingkungan merupakan syarat memperoleh izin usaha.

Analisis mengenai dampak dan lingkungan (amdal) bukan lagi prasyarat tetapi faktor yang harus dipertimbangkan. Menurut UU PPLH, setiap usaha yang berpotensi berdampak terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal.

“Hakikatnya izin lingkungan dan amdal harus tetap ada karena berkaitan dengan hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”

Selain itu, perusahaan pemegang izin konsesi di hutan tidak memiliki keharusan bertangggungjawab kalau terjadi kebakaran hutan di areal kerja mereka. Perusahaan, hanya wajib upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di konsesi seperti dalam Pasal 37 angka 16 RUU Cipta Kerja.

Tak hanya itu, kata Palti, pengusaha, lewat izin dari pemerintah pusat dapat memanfaatkan pantai atau lautan untuk kepentingan bisnis walaupun tanpa pertimbangan lingkungan.

 

Laut, tempat hidup orang Bajo di Sulaw,esi Tenggara sudah tercemar limbah nikel. Ada amdal saja kondisi laut tercemar seperti ini, bagaimana kalau tak ada? Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Cukup dengan dengan membuat pertimbangan bisnis dan keuntungan pengusaha seperti Pasal 19 angka 3 RUU Cipta Kerja.

“Hal ini akan berakibat pada kehancuran ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Bahkan, pasal ini bisa dengan mudah menggusur masyarakat yang tinggal di wilayah itu.”

RUU Cipta Kerja juga khawatir memperparah ketimpangan penguasaan lahan dan memperuncing konflik-konflik agraria. Sebab, dalam RUU ini kemudahan dan prioritas pemberian hak lahan untuk kepentingan investasi.

Omnibus law juga berupaya menghilangkan pembatasan luas maksimum penguasaan lahan oleh perusahaan perkebunan, industri kehutanan dan pertambangan hingga berpotensi meningkatkan monopoli atas penguasaan lahan.

“Petani, masyarakat adat, dan nelayan akan tergusur dari ekosistem mereka, karena pemerintah memberikan ruang istimewa dan prioritas kepada pemilik bisnis dan investasi untuk memiliki lahan,” katanya.

Dalam Pasal 127 ayat 2 dan 3 RUU Cipta Kerja, memberikan perpanjangan waktu hak pengelolaan tanah atau disebut dengan hak guna usaha (HGU) jadi 90 tahun. Ia lebih panjang dari masa HGU yang pernah dikeluarkan pemerintah kolonial Hindia Belanda, 75 tahun.

“Menurut kami, perpanjangan jangka waktu ini bentuk penghapusan kedaulatan negara atas tanah. Ini melukai rasa keadilan. Jelas ini menyakitkan dan menyinggung hakikat kemanusiaan.’

RUU Cipta Kerja juga menghilangkan kewenangan pemerintah daerah karena seluruh perizinan dan pengelolaan tambang minerba jadi kewenangan pusat.

Padahal, kata mereka, peran pemerintah daerah sangat penting dalam pengawasan dan pengelolaan sumber daya alam. RUU ini, katanya, juga bertentangan dengan semangat otonomi daerah, yakni penguatan dan kemandirian daerah.

“Jelas ini mengkhianati agenda reformasi. Ini mengubah konsep desentralisasi dan demokrasi di era otonomi daerah menuju negara yang sentralistik.”

Sorotan penting lain, adalah petani, buruh, kaum miskin kota, masyarakat adat, dan nelayan mudah kena proses hukum atau dikriminalisasi kalau tidak menyetujui atau menolak maupun melawan proyek pengusaha dan investor yang mendapat izin pemerintah.

“Karena itu, kami 104 rohaniwan/rohaniawati dari berbagai gereja terpanggil untuk bersuara menolak pengesahan RUU Cipta Kerja ini.”

Suara para para rohaniwan/rohaniawati gereja ini, katanya, bagian dari tanggung jawab mewujudkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan (KPKC).

Pernyataan sikap ini juga merupakan bentuk dari kepedulian gereja dan sebagai warga negara kepada sesama manusia dan lingkungan hidup, sesama ciptaan Tuhan.

Para pendeta dari berbagai gereja di Indonesia ini mendesak pemerintah dan DPR membatalkan pengesahan RUU Cipta Kerja. Juga mendesak Presiden Joko Widodo menarik RUU Cipta Kerja.

 

Penambangan batubara di Blok B milik PT Minemex. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Koalisi kirim surat terbuka

Koalisi masyarakat sipil mengirimkan surat terbuka peringatan investasi (investment warning) ke sejumlah lembaga keuangan internasional, seperti World Bank, Asian Bank Development, International Finance Corporation dan Asian Indrastructure and Investment Bank.

Surat itu juga dikirim kepada kedutaan besar negara-negara asing, terutama yang memiliki kesepakatan kerja sama bilateral dan multilateral. Mereka pun terlibat dalam kesepakatan memberikan bantuan dana dan pinjaman untuk proyek-proyek besar di Indonesia, seperti Tiongkok, Amerika Serikat, Norwegia, Jepang dan Uni Eropa.

”Kami menyampaikan investment warning ini karena omnibus law ini sangat berkaitan erat dengan investasi di Indonesia. RUU Cipta Kerja ini bisa membahayakan perlindungan sosial dan lingkungan. Ada kemunduran perlindungan lingkungan di Indonesia?” kata Jasmine Putri, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Dia contohkan, lembaga pembiayaan world bank yang memiliki kerangka social environmental safeguard, peminjam tidak hanya harus melakukan environmental social impact assessment juga environmental ans social audit.

Pada omnibus law, katanya, ada penghapusan regulasi terkait izin lingkungan akan dokumen amdal akan diperlemah. Belum lagi, perlindungan teradap buruh dan kondisi bekerja maupun meaningful public enggagement yang jadi hal wajib dalam prosedural World Bank.

Dia mengatakan, omnibus law jadi cerminan makin rendahnya komitmen pemerintah dalam melindungi sumber daya alam, hutan, lahan, dan laut Indonesia. Ada kekhawatiran, pengesahan omnibus law ini, dapat mempercepat krisis iklim di Indonesia.

Dengan fokus menggenjot investasi, katanya, akan berdampak pada kerusakan lingkungan hidup makin masif di Indonesia. Tak hanya rentan bagi lingkugan hidup, juga bagi warga terutama kelompok yang terpinggirkan seperti buruh, masyarakat adat, perempuan dan lain-lain.

“Kita harus memperhitungkan bagaimana kebakaran hutan tiap tahun berulang di Indonesia dan industri batubara yang masih mendominasi. Sangat sulit bagi Indonesia memenuhi komitmen Perjanjian Paris.”

Tak hanya itu, investasi-investasi itu menciptakan perampasan lahan masif dan menyebabkan konflik ekonomi, sosial dan lahan dengan masyarakat sekitar.

Isna Fatimah, Deputi Direktur Bidang Pengembangan Program Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) menyebutkan, pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja juga menyalahi prinsip non-regresi yang erat kaitan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Di mana, suatu negara tak boleh menentukan aturan yang berakibat kemunduran pada instrumen pengaman hak lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pencegah dan pengendali dampak lingkungan hidup.

Hal itu, katanya, diduga bisa berdampak pada ketidakpastian aturan dan implementasi uji kelayakan lingkungan hidup, melemahnya instrumen pencegahan lingkungan dengan penghapusan izin lingkungan, dan pembatasan partisipasi publik.

Koalisi meminta, para penyedia bantuan dan lembaga keuangan memastikan akuntabilitas dari pendanaan terhadap proyek-proyek di Indonesia dan melihat bagaimana seluk beluk RUU omnibus law.

Negara-negara atau lembaga pendana harus sepenuhnya peduli, mengawasi dan bertanggung jawab terhadap uang mereka digunakan secara baik dan tepat di Indonesia.

“Jangan sampai, mereka turut andil dalam kerusakan lingkungan yang akan memperparah krisis iklim global, juga ketidakadilan terhadap masyarakat dan saat bersamaan gagal berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia,” kata Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice.

Dia bilang, praktik bisnis ekstraktif di Indonesia selama ini kerap memperdalam krisis lingkungan dan perubahan iklim, serta meningkatkan ketimpangan sosial ekonomi di masyarakat.

Proses deregulasi dalam omnibus law tanpa ada komitmen membangun konsep nilai berkelanjutan. Untuk itu, pasar dunia harus mempertanyakan produk olahan industri Indonesia yang jauh dari standar pasokan berkelanjutan.

 

Jagung yang sudah banyak diproduksi warga pun masih sebagian impor.  Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

 

Impor pangan makin mudah?

Selain pada lingkungan, sosial dan ekonomi, pengesahan RUU Cipta Kerja bakal berdampak pada sektor pangan, antara lain, pertanian, peternakan dan hortikultura.

Dalam omnibus law ini melucuti UU penting sektor pangan, seperti, UU Nomor 18/2012 tentang Pangan, UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan serta UU No. 13/2010 tentang Hortikultura.

Berdasarkan draf RUU ini, presiden jadikan impor salah satu sumber penyediaan pangan dalam negeri. Ia tertuang dalam Pasal 66 dalam RUU Cipta Kerja, merevisi UU Nomor 18/2012 tentang Pangan.

Rahmat Maulana Sidik, Koordinator Riset dan Advokasi Indonesia for Global Justice menyesalkan, impor diadopsi sebagai sumber pangan dalam negeri. Padahal, perlindungan petani penting di era pasar bebas dengan peningkatan kesejahteraan dan pemenuhan terhadap haknya.

“Kami melihat dalam UU ini negara melakukan pembiaran terhadap proteksi petani, dan membiarkan petani bertarung dengan perusahaan besar.”

Said Abdullah, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan mengatakan, langkah ini menunjukkan kedunguan luar biasa. Dia mendesak, menghentikan pembahasan.

Omnibus law dalam pandangan saya justru membawa ancaman pada ketahanan dan kedaulatan pangan. Karena investasi yang didorong bukan sektor pertanian dan tidak melibatkan petani kecil, justru sebaliknya.”

RUU itu, katanya, akan memberatkan situasi kelompok rentan dan masyarakat marjinal, seperti, petani gurem dan buruh tani dan lain-lain.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari 2019, impor beras Indonesia periode Januari-November 2018 mencapai 2,2 juta ton. Jumlah ini melonjak dibandingkan periode Januari-Desember 2017), mencapai 305.750 ton. Volume impor jagung juga mengalami kenaikan 42,46% atau 737.200 ton.

Menurut data Global Hunger Index 2019, Indonesia berada di peringkat 70 dari 117 negara dengan nilai 20,1 dan masuk kategori serius.

Sementara data Kementerian Pertanian soal ketersediaan setok pangan 3,5 juta ton. April-Mei 2020 merupakan masa panen di wilayah penghasil padi di Jawa, setok produksi dipastikan melimpah hingga masa Lebaran.

Said khawatir, musim panen ini, daya beli masyarakat menurun dan menyebabkan harga panen jatuh.

“Pemerintah harus mengambil langkah startegis.”

Dia sebutkan langkah-langkah itu, pertama, penyerapan hasil panen dengan harga memadai. Terutama padi dengan harga pokok produksi (HPP) yang baru keluar. Juga memastikan Bulog menyerap hasil panen dengan HPP baru serta memastikan jalur distribusi pangan lancar hingga ke tangan konsumen.

Berbicara sistem, kata Said, ketersediaan pangan merupakan hal penting namun bukan faktor satu-satunya. Persoalan akses, distribusi dan kualitas pangan, katanya, jadi hal penting yang harus diperhatikan.

Terkait akses pangan, sebelum terjadi pandemi, sebagian masyarakat miskin menghabiskan energi dan waktu untuk bisa makan. Terlebih, mereka yang bekerja di sektor informal dan di perkotaan. Pendapatan mereka habis untuk keperluan pangan pokok.

“Kebijakan pembatasan sosial dalam skala luas membuat mereka kehilangan pendapatan secara drastis. Artinya, mengancam diri dan keluarga mereka kekurangan pangan.”

Kedua, soal distribusi pangan, pemerintah harus memastikan rantai distribusi pangan dari petani, pasar dan konsumen memiliki peranan penting dalam krisis ini. Pasalnya, produksi pangan tidak bisa tanpa kerja fisik rantai produksi dari pengolahan, distributor hingga ke tangan konsumen. Terakhir, kualitas pangan.

“Implikasi atau persoalan serius dalam situasi ini adalah spekulasi harga pangan, terganggu produksi pangan dan distribusi pangan.”

Said bilang, petani dan buruh tani harus diselamatkan pada masa krisis dan pasca krisis. Pasokan pangan dan produk pertanian jadi kekuatan pangan saat krisis tidak bisa mengandalkan impor.

 

 

Keterangan foto utama: Bisnis ekstraktif menggila mengancam bencana bagi warga. Foto: Yopi Ilhamsyah

 

 

 

 

Exit mobile version