Mongabay.co.id

Banyak Investasi, Mengapa Desa Sekitar Gambut Tetap Miskin?

Kebakaran yang terjadi di areal perusahaan sawit PT ATGA. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Desa-desa di sekitar gambut banyak terdapat perusahaan skala besar seperti hutan tanaman industri maupun kebun sawit, tetapi kehidupan warga masih tetap miskin. Berdasarkan data Indeks Desa Membangun di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, terdapat 124 desa di kawasan gambut dengan status tertinggal, ada 170 desa status berkembang, 27 desa maju serta tiga desa mandiri.

“Kenapa di desa-desa gambut ini yang ada pertambangan dan dan perkebunan masih belum ada perkembangan berarti?” tanya Ernan Rustiadi, Kepala Divisi Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, IPB University dalam diskusi daring Badan Restorasi Gambut (BRG), baru-baru ini.

Berdasarkan studi yang dia lakukan, kemiskinan melanda perdesaan gambut ini tidak lepas karena kawasan itu hanya jadi tempat pengerukan bahan mentah, sementara industri pengolahan di kawasan lain. Tidak ada perputaran uang di desa karena masyarakat yang beruang harus belanja keperluan di perkotaan.

Dampaknya, desa itu tetap miskin dan tak sejahtera sekalipun di sekitar di kawasan dikatakan memberikan nilai tambah secara ekonomi di tingkat kabupaten atau provinsi.

“Jadi, banyak desa yang miskin karena ada kebocoran, nilai tambah ekonomi ini lari ke luar desa, desa hanya jadi tempat penghasil bahan baku,” kata Ernan.

Hal ini tergambar dalam studi di kabupaten yang memiliki lahan gambut di Jambi, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur. Dalam kajian itu, Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat, menduduki peringkat pertama dan kedua sebagai kabupaten dengan persentase penduduk miskin terbanyak di Jambi pada 2018, masing-masing penduduk miskin 12,38% dan 11,1%.

Padahal, dua kabupaten ini memiliki industri pertambangan 35%-45% dan 48%-50%. PDRB kedua kabupaten ini pun tertinggi di Jambi, masing-masing Rp79.094 dan Rp89.271 per kapita. “Masalah lainnya, banyak modernisasi hadir di desa itu modernisasi yang sifatnya footloose.”

Seperti dalam sektor tambang, kata Ernan, kehadiran industri ini di perdesaan bersifat enclave atau tidak ada interaksi dengan masyarakat setempat. Kondisi ini menyebabkan desa-desa dengan kawasan sumber daya alam baik, termasuk di gambut, sulit sejahtera dengan model industri seperti ini.

Belum lagi dengan industri perkebunan atau HTI di perdesaan, kedua model ini tidak memberikan nilai tambah bagi masyarakat. “Ini yang membuat suatu daerah kelihatan pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi kalau dilihat di lapangan, pertumbuhan itu tidak dinikmati masyarakat.”

 

Orang Rimba hidup di bawah sudung, semacam tenda dari terpal dan kayu. Mereka hidup berpindah-pindah mencari apapun yang bisa untuk bertahan hidup. Foto: Human Rights Watch

 

Ketimpangan perizinan untuk komoditas kehutanan pun, katanya, sebagai satu penyebab masyarakat perdesaan tidak merasakan manfaat sektor ini. Kalau melihat dari proporsi, katanya, hanya 2% izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu buat masyarakat, korporasi 97%.

Mengenai ini, BRG juga menyatakan hal sama. Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Myrna A Safitri dalam satu diskusi daring mengatakan, selama ini komoditas budidaya di gambut tidak sesuai lingkungan.

“Ditambah belum cukup intervensi teknologi yang tepat, yang tidak membahayakan lingkungan. Maka, diversifikasi mata pencaharian (bagi masyarakat) perlu,” katanya.

 

Berujung bencana

Kesalahan dalam pengelolaan gambut ini menyebabkan ekosistem rusak. Dampak alih fungsi dan industri ekstraktif seperti pertambangan juga berdampak pada kerentanan kawasan desa bergambut ini dari bencana. Yang paling terkenal, katanya, kebakaran gambut tiap tahun.

“Di gambut ini bukan hanya masalah kemiskinan, ada masalah lingkungan, kebakaran lahan dan hutan juga banjir.”

Sebelumnya, Yayasan Madani Berkelanjutan juga kajian sama terkait bencana kebakaran ekosistem gambut di konsesi sawit di Riau. Hasilnya, kebakaran mencapai 92,88% atau seluas 14.000 hektar kebakaran ekosistem gambut di konsesi sawit.

Kebakaran di gambut dalam konsesi itu menunjukkan kalau perubahan peruntukan kawasan ini untuk industri sawit justru membuat kawasan gambut jadi rentan bencana. Dalam kajian itu, Yayasan Madani Berkelanjutan juga menemukan ada bencana ekologis selain kebakaran, yaitu kekeringan, banjir dan longsor di sekitaran pedesaan yang kawasan yang beralih fungsi jadi perkebunan sawit di Riau.

Senada dengan ini, Soeryo Adiwibowo dari Fakultas Ekologi Manusia IPB dalam satu diskusi daring menyebut, pembangunan ekosistem gambut ringkih ini seringkali hanya memperhatikan pertimbangan ekonomi politik semata. “Sering tidak mempertimbangkan aspek ekologi.”

Praktik itu, katanya, membuat Indonesia kehilangan banyak ekosistem gambut. Padahal, pada 1960an Indonesia memiliki lebih 20 juta hektar atau 20% dari hutan rawa gambut dunia.

Dia mencatat, perubahan dramatik ekosistem gambut mulai sejak 1980, dari konsesi atau hak pengusahaan hutan beroperasi di ekosistem gambut dan pembangunan kanal-kanal untuk pengangkutan kayu. Pada 1996-1998, terjadi proyek pembangunan lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan Tengah ingin mengubah ekosistem gambut jadi agroekosistem padi, dan gagal.

Praktik jutaan hektar akasia dan sawit meluas di tanah mineral dan gambut mengubah ekosistem basah ini. Saat ini, lebih satu juta hektar sawit di gambut. “Puncaknya, kebakaran hutan dan lahan dari pengelolaan yang salah dan perubahan ekosistem ini.”

 

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Jangan terjebak pasar

Salah satu cara untuk menyejahterakan masyarakat di perdesaan gambut ini dengan mengimplementasikan tata kelola yang baik, termasuk mencari komoditas baik untuk masyarakat sembari menjaga gambut tetap lestari.

“Menurut saya, dimensi lingkungan ini tidak cukup, harus ada fungsi dimensi sosial dalam konsep pengembangan kawasan pedesaan gambut ini,” kata Ernan.

Menurut dia, apapun produksi atau ekonomi untuk pengembangan perdesaan gambut harus tak boleh hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi juga bersifat inklusif hingga manfaat jelas bagi kesejahteraan masyarakat.

“Menurut saya ke depan pengelolaan gambut ini tidak boleh lagi terjebak di target pasar atau produksi semata, jasa lingkungan dan jasa sosial harus jadi ukuran di sini.”

Myrna Safitri menyatakan hal sama. BRG memandang desa di gambut bukan berdasarkan batas administrasi, tetapi melihat satu kesatuan hidrologis gambut. Sebab itu, katanya, corak ekonomi yang didorong kegiatan tak merusak ekosistem gambut tetapi dapat memberikan tambahan pencaharian pada masyarakat.

Saat ini, katanya, yang didorong pencegahan karhutla dengan berbasis pembangunan perdesaan. Dalam rencana pembangunan hangka menengah nasional 2020-2024, Desa Mandiri Peduli Gambut diinisiasi BRG jadi indikator pencegahan karhutla.

BRG menargetkan, setidaknya ada 1.200 desa dicegah dari kebakaran hutan dan lahan dalam RPJMN itu.

“Ini menunjukkan ukuran pemulihan gambut menempatkan desa atau kelurahan sebagai unit sosial ekologis yang berisikan ruang hidup, komunitas, serta relasi yang membentuk kelembagaan,” kata Myrna.

Untuk mewujudkan ini, yang dilakukan BRG mendorong pertanian alami dan tanpa bakar. Tercatat, sudah ada 265 demonstration plot (demplot) di tujuh provinsi yang dibentuk dengan melibatkan 799 petani. Demplot ini belum seluruhnya paludikultur, karena masih tahap transisi dari ekonomi konvensional masyarakat yang masih mengandalkan monokultur.

“Paludikultur secara scientifik sudah diuji dan cocok.”

 

Banjir bandang yang menerjang Tangse. Daerah ini dulunya disebut sebagai wilayah makmur di Aceh, namun kini akrab dengan bencana. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah

 

 

Keterangan foto utama: Kebakaran yang terjadi di areal perusahaan sawit PT ATGA. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version