Mongabay.co.id

Kala Gubernur sampai Mahasiswa Gugat UU Minerba

 

 

 

 

 

Delapan orang dari berbagai elemen, ada gubernur, anggota DPD, sampai mahasiswa mengajukan permohonan pengujian UU No 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) ke Mahkamah Konstitusi 10 Juli lalu. UU yang baru sah 12 Mei 2020 ini dinilai mengandung potensi pelanggaran moralitas pembentukan hukum, baik formil amupun materil. Yang ‘jahat’ bagi pembangunan nasional bidang pertambangan minerba sesuai sila ke lima Pancasila, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Dalam gugatan tercatat delapan warga dari elemen berbeda jadi pemohon uji materi. Mereka yakni Erzaldi Rosman Djohan (Gubernur Kepulauan Bangka Belitung), Alirman Sori (Ketua Panitia Perancang Undang-Undang DPD RI), Tamsil Linrung (anggota DPD RI). Kemudian , Hamdan Zoelva (Perkumpulan Serikat Islam), Marwan Batubara (Indonesia Resources Studies/IRESS), Budi Santoso (Indonesia Mining Watch/IMW), Ilham Rifki Nurfajar (Sekjend Perhimpunan Mahasiswa Pertambangan) dan M. Andrean Saefudin (Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia).

“UU Minerba ini muatan materi menegasikan kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kewenangan pertambangan minerba karena seluruh kewenangan ditarik ke pemerintah pusat,” kata Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Erzaldi Rosman Djohan.

Dia bilang, UU ini bentuk pendegradasian Pasal 18 dan Pasal 18A UUD 1945 dan semangat reformasi 1998 yang mendudukkan pemerintahan daerah sebagai daerah otonomi yang menolak kekuasaan sentralistik.

Baca juga: UU Minerba Ketok Palu: Jaminan Korporasi, Ancaman bagi Rakyat dan Lingkungan

Didampingi 10 kuasa hukum, pemohon menilai, sejak awal UU Minerba ini menuai masalah dan kontroversial karena sangat dipaksakan dan terburu-buru.

“Nampak jelas, pembahasan RUU ini tidak untuk kepentingan rakyat, namun pihak tertentu, terutama sebagian pelaku usaha pertambangan batubara,” kata Ahmad Redi, kuasa hukum warga.

 

Para penggugat UU MInerba. Tim Kuasa Hukum Uji Materi UU Minerba

 

RUU Minerba dinilai tidak memenuhi kualifikasi sebagai RUU yang dapat lanjut (carry over). RUU Minerba, katanya, merupakan inisiatif DPR dengan penyusunan draf sejak dewan periode 2014-2019, sampai masa jabatan periode lalu berakhir September 2019, belum pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM).

Menurut Redi, berdasarkan Pasal 71A UU Nomor 15/2019 tentang Perubahan atas UU No 12/2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan bahwa carry over pembahasan RUU harus memenuhi syarat, telah pembahasan DIM.

“Padahal, DPR periode lalu belum satupun membahas DIM RUU Minerba,” katanya.

Alasan lain pengajuan uji materi ini adalah pembahasan RUU Minerba tertutup dan tidak dilakukan di Gedung DPR Pembahasan, katanya, melalui rapat kerja dan rapat panitia kerja (panja), seharusnya terbuka untuk umum.

Hal ini sesuai UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan tata tertib DPR yang menyatakan semua rapat DPR bersifat terbuka, bisa tertutup hanya terkait rahasia negara atau kesusilaan.

Baca juga: Pengesahkan UU Minerba dan Potensi Besar Korupsi di Sektor Energi dan Pertambangan

Pembahasan RUU Minerba juga dinilai melanggar Pasal 5 huruf g UU Nomor 12/2011 tentang pembentukan perundang-undangan terkait azas keterbukaan. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan, bersifat transparan dan terbuka.

Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya memberikan masukan.

Pemohon juga menilai, UU ini dikerjakan dengan sangat “kilat” tanpa keterlibatan publik atau masyarakat sebagai pemegang utama kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi.

“Pembahasan sangat dipaksakan dengan materi sangat banyak, terdiri dari 938 DIM dan lebih dari 80% materi perubahan, dalam waktu sekitar dua minggu, tertutup di hotel tanpa ada partisipasi masyarakat.”

Selain itu, katanya, pengambilan keputusan juga saat pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Kala masyarakat tak bisa keluar rumah dan pada masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) April-Mei 2020.

Menurut para pemohon, pembahasan UU Minerba terkait pengelolaan sumber daya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, seharusnya melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan.

“Sama sekali tidak terdapat audiensi dengan stakeholder, tidak ada penerimaan aspirasi dari kelompok masyarakat, tidak melibatkan pakar dan perguruan tinggi, tidak ada rapat dengar pendapat umum, serta tidak ada pengambilan aspirasi ke daerah. Bahkan, beberapa kelompok masyarakat dan perguruan tinggi mengajukan audiensi untuk memberikan masukan diabaikan,” katanya.

Pembahasan ini juga tak melibatkan DPD. Padahal, dalam Pasal 22D UUD 1045, Pasal 249 UU No 17/2014 serta putusan MK No 92.PUU-X/2012, DPD mempunyai kewenangan membahas RUU yang berkaitan hubungan pusat daerah. Juga soal pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lain.

“Pembahasan RUU Minerba yang tidak melibatkan DPD jelas pelanggaran terhadap UUD dan inkonstitusional.”

Pengambilan keputusan tingkat satu dan dan dua pada rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mewakili pemerintah pada 11-12 Mei 2020 secara virtual. Kehadiran fisik anggota DPR, hanya diwakili perwakilan fraksi.

 

 

***

Akhir Mei lalu, Jatam bersama jarngan mengadakan acara bertema Sidang Rakyat, dengan menghadirkan warga yang hidup di sekitar pertambangan di berbagai daerah, sampai para pakar. Warga memberikan kesaksian mereka kesusahan hidup dekat tambang atau perusahaan di hilir pengguna bahan tambang, seperti PLTU batubara. Dengan UU Minerba yang baru, mereka lebih khawatir, akan tambah sengsara.

Warga dari di Sulawesi Tengah, cerita soal pembangunan PLTU di Palu, yang membuat warga sekitar mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Arzad Hasan, warga Mpanau, Palu Utara mengutip data Puskesmas setempat, sekitar 60% penduduk di sekitar PLTU terjangkit ISPA. Kondisi ini mulai terjadii saat pengoperasian PLTU unit III dan IV pada 2015.

Ruang hidup terenggut, ekonomi terrampas, kesehatan terabaikan, mata pencarian warga pun hancur.

“Ini mengerikam. Rakyat ditumbalkan demi keuntungan pengusaha yang merusak lingkungan dan mengancam hidup. Kami tak setuju UU Minerba baru itu. Tolak dan tutup perusahaan-perusahaan tambang mineral dan batubara di Indonesia,” katanya.

Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), juga juru bicara #BersihkanIndonesia berpendapat, pemerintah dan DPR tidak mengatur klausul hak veto, atau ‘hak mengatakan tidak’ bagi warga yang menolak tambang. Bahkan, katanya, tak melibatkan masyarakat saat UU Minerba ketok palu.

Merah menyatakan, UU Minerba tidak berangkat dari permasalahan konkret dari aktivitas eksploitasi pertambangan. Banyak masalah seputar pertambangan, seperti banyak izin tambang terbit di hutan lindung, dan menyisakan lubang tambang. Juga, terus memberi insentif pada energi kotor fosil, baik batubara hingga minyak bumi yang menyebabkan bencana, seperti banjir, pencemaran ladang, dan sumber air bersih.

Ada 1.710 izin tambang di hutan lindung, 3.712 izin di hutan produksi, 2.200 izin di hutan produksi terbatas. Belum lagi, katanya, 3.092 lubang tambang batubara dampak ekspansi energi yang menyebabkan konflik meluas hingga banyak anak-anak meninggal dunia.

UU Minerba, katanya, harus batal karena tidak sejalan, bahkan kontraproduktif dengan kepentingan rakyat, hanya menguntungkan raksasa pertambangan batubara yang akan habis masa berlaku.

“Ketika memutuskan, UU Minerba lebih layak kita sebut sebagai memo jaminan keselamatan terhadap para pengusaha, bukan keselamatan rakyat,” kata Merah.

 

 

Tambang batubara terbuka di hulu Sungai Bengkulu. Foto: Dok. Genesis
Exit mobile version